Empat

96 16 10
                                    

Bulan dengan indahnya menghiasi langit kota Seoul. Sinar redupnya setia temani kedua insan yang baru pulang di kala orang-orang nikmat beristirahat. Sudah banyak sekali yang mereka antar hari ini, tapi untungnya tak pulang dalam keadaan babak belur seperti kemarin.

Lino pun langsung beranjak ke kamar untuk beristirahat. Sementara Hyunjin masih punya keperluan yang harus ia lakukan. Ia menemui ruang Ibu Panti yang tampak masih didiami pemiliknya.

"Permisi, Bi."

Wanita setengah baya yang sedang duduk di depan monitor laptop mengangguk pelan. "Ada apa, Hyunjin? Silahkan masuk."

Berbekal pesan dari wanita asing kemarin, Hyunjin kini berani menghadap wanita itu. Ponselnya diletakkan di hadapannya. "Jadi ada seseorang yang menghubungi saya kemarin. Dia bilang saya anaknya, maksudnya apa?"

Ibu Panti mengangkat kepalanya, menatap Hyunjin yang masih berdiri di tempat. Ia pun mengusap dua tangannya sebelum menjelaskan. "Kelihatannya ini menganggu pikiranmu. Tapi baiklah, Bibi akan jelaskan."

Wanita itu menatap intens. "Ibumu datang ke sini dan memberikan banyak sumbangan, dia ingat persis tanda lahirmu dan semua tentangmu saat dia meninggalkanmu dulu kecil. Jadi dia kembali ke sini untuk menebus dosa," jawabnya antusias, senyumnya terasa getir.

Hyunjin sama sekali tak senang mendengarnya, ia ingin jawaban yang lebih kompleks. "Kenapa Bibi menjual privasi saya tanpa seizin saya?"

"Ibumu kaya raya, apa ruginya kenal dia? Dia bisa mengeluarkan kamu dari gubuk ini." Tangannya terbuka ke seluruh ruangan. Tersarat keserakahan dari matanya, namun tetap ditutupi oleh bualan manis.

Mata Hyunjin menggelap, tangannya cengkeram kedua sudut meja. "Tapi bagi saya dia bukan siapa-siapa! Dan saya gak butuh uang sepeser pun dari dia."

Ibu Panti berdecih mendengar intonasi lawan bicaranya mulai menaik. "Kamu sangat tidak tahu untung. Banyak dari mereka yang ingin diadopsi, tapi kamu malah gak menghargai ibumu yang sudah mati-matian mencarimu."

Dengkus lucu terdengar, Hyunjin mundur beberapa langkah sebelum tatap wajahnya lagi dengan kesal. "Dia bahkan gak peduli aku mati atau hidup saat itu. Terus terang aja sekarang, dia gak datang sendiri, kan? Bibi yang mencari tahu dan menghubunginya, kan?"

"Nggak, Jin. Bibi mau kamu punya keluarga yang-"

"Persetan dengan keluarga, siapa juga yang mau punya?!" bentak Hyunjin, buat rahang si lawan bicara jatuh ternganga.

"Karena dia berani menjamin keuangan Panti, Hyunjin! Dia donatur yang kita cari selama ini!" bentaknya, karena tak tahan lagi terus didesak. "Kamu pikir kami gak butuh imbalan dari mengurus kalian sejak kecil? Hanya kamu yang bisa menyelamatkan Panti ini. Jangan seperti Lino yang gak bisa apa-apa."

Hyunjin menggeram kesal saat nama Lino disebut, terlebih dengan alasan yang masih tak diterima akalnya. Tangannya terkepal hingga buku-buku jarinya memutih. "Kalau gitu biarkan saya mati aja waktu itu."

Pemuda itu meninggalkan ruangan. Tak mau lagi mendengar sepatah katapun. Ia benci keadaan yang terasa seperti menelan ludahnya sendiri. Sejak dulu, Hyunjin tak sudi mengenal siapa orang tuanya. Dan sampai kini pun tak akan, tak akan pernah mau.

Sesampainya di kamar, Hyunjin naik ke atas kasur tingkat, tatapannya penuh arti saat melewati Lino yang sudah terlelap di kasur bawah.

Lino, keputusan yang ku ambil ini nggak salah, kan?

Lino, keputusan yang ku ambil ini nggak salah, kan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
When The Summer Ends; HyunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang