Lima

97 15 8
                                    

Hyunjin membayar harga cukup murah untuk mereka bisa menempati satu kost di sana. Mereka sengaja memilih Kost yang dekat dari rumah orang tua Lino, mengingat tujuan awal mereka adalah ingin kenal lebih jauh siapa mereka.

Kini kepindahan mereka masih diproses oleh kepala Kost, dan transaksi baru saja selesai.

Si kepala kost menatap tamunya intens, perlahan ia bentangkan beberapa koran lama di atas meja. "Jadi kalian yakin mau tinggal di sini? Sudah dengar semua rumor ini belum?"

Lino beralih mengambil lembar yang paling atas, tertulis dalam headline berita mengenai kasus aborsi massal 17 tahun silam, dan setelah melihat tumpukan di bawahnya ada lebih banyak berita miring yang penuh dengan gidik ngeri.

"Maksud semua ini apa, Om?" tanya Hyunjin mewakili kebingungan mereka.

Terdengar tarikan napas berat dari yang paling tua. "Tempat ini adalah pelarian bagi mereka yang kecewa pada dunia. Banyak yang mencari tempat ini, tapi jarang ada yang sampai."

"Om pemilik Kost ini?"

"Bukan, saya hanya orang yang terpilih sebagai penanggung jawab. Tidak ada yang tau siapa dia, orang-orang hanya menyebutnya 'Anonim'."

Lino tiba-tiba mendekat ke kuping Hyunjin. Rautnya tidak enak. "Kita pulang aja, yuk."

Gelengan kecil Hyunjin perlihatkan. "Kita udah sejauh ini, masa mau mundur? Ibu kamu juga perlu pertolongan dari suaminya yang brengsek itu."

Setelah bersepakat, mereka pamit membawa kunci Kost yang akan mereka tempati. Namun di perjalanan yang tinggal beberapa meter lagi, mereka malah melihat komplotan rentenir di pinggir jalan, tampak asik bercengkrama sehabis menagih hutang dari pelanggan mereka.

Itu adalah jalan yang hendak Hyunjin dan Lino lewati, tak ada jalan lain selain menunggu hingga komplotan itu lewat. Dilanda bingung dan heran, akhirnya mereka berjongkok agar dapat bersembunyi di balik tembok. Kepala mereka mengintip ke atas, agar mata mereka bisa mengawasi dari jauh.

"Akhirnya semua sudah bayar hutang, gaji kita bisa turun hari ini, kan, Bos?"

Bos mereka melirik curiga karena biasanya selalu ada satu atau dua orang yang nakal dan perlu diberi pelajaran. "Yang bener kamu? Coba lihat sini."

Dari bawah ke atas, matanya memindai nama-nama dalam list jasa pinjamannya. Hingga sampai di mana matanya berhenti tepat pada satu nama terbawah.

"Lino." sebutnya, geram. Bukunya hampir jatuh jika saja anak buahnya tak sigap menangkap dengan baik. "Anak monyet sialan ini lagi? Kenapa kalian tidak cari ke rumahnya?!"

Bawahannya tertunduk gelisah. "S-sudah, Bos. Tapi dia gak pernah ada."

"Sudah jelas kalian itu dibohongi! Dibohongi kok sama anak SMA." Ia menempeleng kepala dua pria itu. Tarikan napasnya terdengar gelisah. "Bunganya besar, dia tidak akan sanggup membayar. Dan sekarang kita mau cari dia ke mana?!"

"Gimana kalau kita beri pelajaran dulu, Bos?"

Atasan mereka tiba-tiba terpikir sesuatu, jarinya belai dagunya sendiri hingga terbit senyum nakal. "Aku pernah melihatnya sekali, dia memang manis. Bibirnya merah, kulitnya putih bersih, bokongnya juga lumayan berisi untuk ukuran pria. Dia bisa jadi lacurku, atau bisa jadi bisnisku kalau aku sudah bosan, aku yakin dia akan laku di mana-mana."

"Aishh.., Bos yakin dia akan seenak perempuan?"

"Entahlah, sesekali aku mau coba rasanya menunggangi seorang pri-"

Buaakhh!

Bagai sebuah dentuman keras, semua orang di sana kaget melihat satu orang tumbang ke tanah.

When The Summer Ends; HyunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang