Tujuh

73 11 4
                                    

"Kanker hati yang dialami pasien Yang Jeongin sudah mencapai stadium lanjut dan harus segera dilakukan kemoterapi. Cuci darah saja tidak memberi efek yang banyak dalam pemulihannya."

Apa yang baru saja dijelaskan dokter membuat Hyunjin tercengang. Tak menyangka penyakitnya akan separah itu, di mana berarti obat terlarang yang selama ini dipesan, dipakainya untuk meredam penyakitnya tanpa harus melalui proses kemoterapi.

"Anda walinya?"

Hyunjin terlonjak dari tempat. Pertanyaan itu buatnya tertegun cukup lama, hingga akhirnya terpaksa mengangguk pelan.

"Kalau begitu saya lega, karena selama ini dia selalu datang sendirian."

"Sendirian?" Di rumahnya yang sebesar itu, tapi gak ada satupun yang menemaninya datang ke sini?

Berkas berisi grafik kondisi Jeongin yang terus menurun saat cek up buat Sang dokter berhembus berat. Ia tutup map itu, suaranya memelan pilu. "Jaga dia, ya. Temani dia dan buat dia bahagia. Maaf harus mengatakan ini, tapi mungkin hidupnya tidak lama lagi." Bahu Hyunjin ditepuk yakin, kiranya tersalur kekuatan dari sana.

Meski pada awalnya sempat termenung, Hyunjin mulai kuatkan diri untuk tidak membawa perasaan sedihnya saat dengar kondisinya di hadapan Jeongin. Ia coba terbitkan senyum saat muncul dari pintu masuk.

"Maaf udah buat kamu dengar semua itu. Kamu bisa pulang sekarang." Baru ingin tebarkan lelucon santai, Jeongin sudah mempersilahkannya keluar dengan wajah murung. Seperti orang putus asa yang tak takut lagi pada kematian.

Namun Hyunjin tak bisa meninggalkannya begitu saja setelah pesan dokter tadi. Entah mengapa ia iba pada orang yang sebentar lagi akan menemui ajalnya ini.

Hyunjin berdehem canggung sebelum langsung ke intinya. "Kenapa nggak pernah mau kemo?"

Jeongin menoleh lambat. Ia raba surainya yang sudah agak panjang. "Biar rambutku tetap indah, biar manusia di luar sana gak perlu kasihanin aku karena rambutku botak."

Hyunjin beranjak duduk di samping ranjangnya. Tangannya menggaruk tengkuk bingung, ia tak pernah diperhadapkan dengan situasi seperti ini. "Lakukan sekali, ya? Setelah itu terserah mau lakuin apa aja."

"Untuk apa? Semua orang pada akhirnya akan mati. Bedanya aku tahu kapan aku akan mati, kata dokter sekitar 6 bulan lagi dengan kemo dan 4 bulan lagi tanpa kemo." Jari-jari Jeongin menghitung acak. "Cuma selisih 2 bulan, aku gak mau mayatku nanti botak dan jelek."

Terdengar tawa miris dari pemilik bibir pucat di sampingnya, matanya menjelajah ke ruangan yang baginya terasa sangat familiar. "Lucu ya, tinggal sebentar lagi tapi hidupku masih berputar di ruangan ini terus. Aku tambah yakin, sebenarnya kita bukan apa-apa di dunia. Kita hanya akan terlupakan dan membusuk sendirian di tanah.... " racau Jeongin dengan tatapan kosong ke tembok. Saat melihat Hyunjin terdiam tanpa membalas, ia kembali tersadar. "Eh maaf, aku terlalu banyak cerita padahal kamu juga gak peduli."

Lagi-lagi Hyunjin merasa tak berguna. Ia tidak begitu tahu soal kematian, yang ada dalam pikirnya hanya mengapa orang asing ini tak memiliki satupun orang di sisinya? Di saat kematian hampir meraupnya, mengapa tak ada yang menghabiskan waktu bersamanya?

Hyunjin diam sesaat sebelum akhirnya ulurkan tangan ke pria itu. Ia buang jauh-jauh rasa bimbangnya, gantikan dengan senyum cerah yang terpancar bahkan dari matanya. "Namaku Hwang Hyunjin, mungkin akan sopan jika panggil aku dengan sebutan 'kak', karena umurmu satu tahun di bawahku." Hyunjin terkekeh pelan karena ucapannya sendiri. "Apapun keputusanmu sekarang, aku dukung. Ayo nikmati hidup yang indah ini."

"Gak bisa, gak ada orang yang mau-"

"Jeongin, mari berteman. Mulai sekarang, kita teman, ya," potong Hyunjin tak beri kesempatan lawan bicaranya untuk mengeluh. Jari kelingkingnya siap menerima tautan kelingking Jeongin. Sementara Jeongin hanya menatapnya tak percaya.

Ini kali pertama Lino pulang sendirian tanpa Hyunjin

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ini kali pertama Lino pulang sendirian tanpa Hyunjin. Biasanya pria itu semangat mainkan skate di sampingnya, membuntutinya sampai ke rumah sambil merayu di sepanjang jalan. Sejujurnya, Lino cemas sejak tahu pria itu bolos di pelajaran terakhir, tapi gengsinya terlalu besar untuk menanyakan kabar lewat pesan, mengingat ia baru saja memarahi Hyunjin tanpa alasan jelas.

Menyusuri kostnya, Lino sempatkan diri untuk mengintip saat wanita yang ia yakini adalah ibunya sedang termenung seorang diri di depan teras. Entah berpikir apa, kaki Lino sudah berintuisi mendekat ke arahnya dan turut duduk di sampingnya.

Wanita itu menyambut baik, "Oh, anak muda yang kemarin, ada apa? Suamiku menyakitimu? Dia mengancam mu? Maaf ya.... "

Lino tersenyum samar. Dia menebak seperti itu pasti karena sudah terlalu sering disakiti suaminya.

"Nggak, Bi. Hanya ingin di sini menikmati udara segar."

"Kamu baru pulang sekolah?"

Lino mengangguk. Diam-diam matanya turun ke tempat di mana lebam-lebam itu menyebar tutupi kulitnya yang putih bersih, beberapa lukanya juga terlihat masih baru. Tanpa sadar Lino meringis sembari memilin ujung seragamnya.

"Kalau dulu aku tidak membuangnya, mungkin dia juga sudah sebesar kamu sekarang," sambung Si wanita, buat perasaan Lino bergemuruh tak enak. Sakitnya mencuat keluar.

Ingin sekali ia berterus terang bahwa ia adalah orang yang sedang mereka bicarakan. Tapi Lino masih perlu waktu untuk bisa menerima orang tuanya ini pelan-pelan. "Bibi punya anak? Di mana sekarang?" Kepalanya pura-pura celingak-celinguk ke dalam rumah, padahal hanya kosong yang didapatnya.

Wanita itu menjawab sendu, "Aku merasa menjadi manusia paling buruk setiap kali mengingatnya. Kamu mungkin juga akan ikut menyerapahi ku jika tau."

"Maksudnya membuang itu... membuang anak Bibi?" perjelas Lino, bermaksud menggali lebih dalam.

Di sisi lain, wanita itu terkejut Lino bisa mengetahui isi pikirannya.

Lino ikut menunduk pilu. "Itu lebih baik daripada aborsi. Meski keduanya tetap sama-sama bejat, tapi setidaknya anak itu sekarang bisa menikmati napas yang Bibi hirup juga."

Keadaan kembali diliputi canggung, hingga akhirnya Lino kembali buka suara, "Apa yang akan Bibi lakuin jika suatu saat dia datang kepadamu?"

"Jangan."

Lino menunggu alasannya, namun bicaranya tak kunjung dilanjutkan. Hanya tersisa sorot yang tak Lino mengerti artinya.

Di seberang, datang sesosok pria familiar tengah membawa sekantung plastik besar di tangannya. Rahang Lino sontak mengeras setelah pastikan itu benar ayahnya. Ia pun segera keluarkan beberapa lembar uang yang dimilikinya untuk diberikan pada wanita itu.

"Pakai uang ini buat obati luka Bibi, ya." Lino pamit dari sana sebelum pria itu sempat melihatnya.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
When The Summer Ends; HyunhoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang