"Kamu secemas itu kah sama aku?"
Serena membantu mengusap basah di wajah lelaki itu di saat Sebastiannya sendiri tengah menunduk sembari menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan pernapasannya.
"Iya, sih, aku juga takut. Akan lebih takut lagi kalau aku melewati ini sendirian. Untungnya ada kamu — "
"Ser?"
"Iya?" Serena menyahut lembut. Terlalu lembut.
Sebastian menelan saliva kasar. Tidak hanya hatinya, tenggorokannya pun terasa sakit.
"Aku senang kalau kamu merasa beruntung memiliki aku di samping kamu." Suaranya sedikit tercekat. "Aku berharap kamu memang sungguhan bersyukur... dicintai aku." Kepalanya sejenak menunduk. Ingatan Serena yang bertanya penuh kepahitan kenapa dia harus mencintainya kembali terlintas dalam benak.
Saat Sebastian sedang mengambil jeda untuk kembali melanjutkan ucapannya, Serena sudah lebih dulu menanggapi. "Aku emang beneran bersyukur kok. Kenapa kamu — "
"Ser." Sebastian kembali menyela. Sebelum dia semakin kesusahan untuk mengungkapkan kebenarannya. "Kamu sebelumnya pernah tanya... kenapa aku harus mencintai kamu?"
Sebastian amati ekspresi wajah ayu itu. Wajah yang beberapa waktu ke belakang ini tidak bisa dia lihat dalam jarak sedekat ini.
"Aku pernah tanya begitu? Kenapa?" Serena menelengkan kepala kecil. Tampak kebingungan.
Sebastian hanya menggeleng lemah.
"Kamu pernah menolak aku temani dalam proses penyembuhan kamu ini. Karena aku pernah menjanjikan kamu boleh pergi setelah tahu... selama ini aku banyak memanipulasi kamu."
"Memanipulasi aku? Maksud kamu apa?"
Sebastian tidak akan sanggup jika harus menjelaskan lebih detail lagi.
"Kamu ngomong apa sih, Bas? Memanipulasi aku bagai — " Kalimat Serena terhenti begitu saja. Seiring dengan gurat-gurat di wajahnya yang beberapa saat sebelumnya begitu hangat, lembut, tulus... perlahan-lahan berubah.
Ekspresinya itu terlihat kebingungan. Lalu, tampak mencoba mengingat-ngingat sesuatu. Lalu, terlihat ingat tapi tidak yakin. Sampai akhirnya, tubuhnya begitu pun wajahnya menegang.
Serenanya telah mengingat kembali.
Mengambil langkah mundur dengan lemas. Serena tampak linglung untuk sesaat. "Kenapa kamu melakukan itu, Bas?" Sampai pertanyaan itu meluncur keluar. Bibirnya tampak sedikit gemetar. "Kenapa kamu jahat sama aku? Salah aku apa?" Pertanyaan itu baru mendapatkan momennya untuk dikeluarkan.
"Kamu nggak salah apa pun, Ser. Aku yang jahat."
"Terus kenapa kamu jahatnya sama aku?" tanyanya pilu. "Apa aku terlihat gampangan bagi kamu? Apa aku terlihat sangat mudah kamu permainkan?"
Sebastian ingin menyanggah. Tapi, lidahnya terlalu kelu. Mungkin karena teringat awal mula mendekati Serena memang karena itu. Saat dia merasa hidupnya begitu membosankan, radarnya menemukan Serena yang saat itu... terlihat menarik untuk dipermainkan.
"Kamu pasti bahagia ya mempermainkan orang yang tahu nggak pernah bisa memperjuangkan harga dirinya sendiri? Pasti menyenangkan bagi kamu... melihat aku begitu bodoh. Yang selalu percaya... yang selalu yakin kamu bisa jadi tempat aman...." Serena melipatkan bibirnya yang bergetar ke dalam. "Aku salah apa, Bas?" Kepalanya menunduk, "aku salah apa sampai kamu harus... sejahat itu?"
"Ser — "
"Kenapa, Bas?!!"
Sebastian tersentak ketika seruan itu melengking keluar. Terkejut. Serena tidak pernah berbicara sekeras itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta Lama yang Belum Usai
Teen FictionDulu, mereka pernah saling menyukai. Ironisnya, tidak ada yang berani lebih dulu mengakui. Sekarang, mereka kembali dipertemukan. Bukan jenis pertemuan membahagiakan yang membawa mereka pada happy ending yang diinginkan. Melainkan pertemuan yang me...