24 || Tinggalkan rumah ini

77 2 0
                                    

Di sebuah pagi yang cerah, Aksara berdiri di depan cermin, merapikan dasinya. Hari ini adalah hari yang penting baginya—meeting terkait pemilihan model untuk perusahaan yang telah lama direncanakan. Pikirannya penuh dengan strategi dan keputusan penting yang akan dia ambil, namun ia tahu bahwa ada satu hal yang lebih penting sebelum meninggalkan rumah yaitu, berpamitan dengan kedua istrinya.

Chayra, istri pertamanya, menghampiri Aksara lebih dulu. Wanita itu mengenakan baju gamis berwarna biru muda, dengan senyuman lembut menghiasi wajahnya.

“Semoga meeting hari ini berjalan lancar, kak,” ucap Chayra dengan suara yang lembut. Dia merapikan kerah baju Aksara dengan tangan yang penuh kasih. Ini kali pertamanya ia melakukan seperti itu.

“Terima kasih, Chay” balas Aksara sambil menatap Chayra dengan keheranan.

Tak lama kemudian, Putri, istri keduanya, datang menyusul. Perutnya yang sudah besar menandakan bahwa masa kelahiran bayinya sudah semakin dekat. Ia tersenyum hangat sambil meletakkan tangan di atas perutnya, memberikan restu yang sama.

“Hati-hati di jalan, Mas. Kami menunggumu di rumah,” ujar Putri dengan suara yang sedikit lelah tapi tetap penuh kehangatan.

Aksara mengangguk, mengusap lembut perut Putri, lalu mencium keningnya. “Aku akan segera kembali,” ucapnya, lalu mengalihkan pandangannya ke Chayra.

Chayra mendekat lagi, kali ini dengan sedikit ragu-ragu. Ia menatap perut Putri sejenak sebelum akhirnya berkata kepada Aksara, “kak, kapan kita bisa membicarakan soal keturunan? Aku juga ingin merasakan menjadi seorang ibu, seperti Putri…”

Ruangan yang tadinya dipenuhi dengan kehangatan pagi tiba-tiba terasa hening. Putri terdiam, menatap Chayra dengan ekspresi yang sulit diterka. Sementara Aksara merasakan amarahnya perlahan naik, bukan karena permintaan Chayra, tetapi karena waktunya yang sangat tidak tepat.

“Chayra,” Aksara berkata dengan nada yang tegas, berusaha menahan emosinya. “Ini bukan waktu yang tepat untuk membahas itu, apalagi di depan Putri yang sedang hamil besar. Tolong hargai keadaan.”

Chayra tersentak, wajahnya memucat seketika. Apakah itu salah pikirnya dan menunduk, Chayra langsung menyesali kata-kata yang terlontar begitu saja dari mulutnya.

“Maaf, kak … Aku tidak bermaksud seperti itu…” ucap Chayra pelan, suaranya bergetar.

Putri yang melihat situasi ini berusaha tersenyum untuk meredakan ketegangan. “Sudahlah, mas … Tidak apa-apa,” katanya dengan lembut, meski ada rasa tidak nyaman di hatinya.

Aksara menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya. Ia tahu bahwa ini bukan masalah yang bisa diselesaikan sekarang. “Kita bicarakan ini nanti,” katanya dengan nada yang lebih tenang. “Sekarang aku harus pergi.”

Dengan itu, Aksara mengambil tas kerjanya dan menuju pintu. Namun, saat hendak melangkah keluar, ia berhenti sejenak, berbalik, dan menatap kedua istrinya. “Jaga diri kalian berdua, ya.”

Keduanya mengangguk, dan Aksara pun pergi, meninggalkan rumah dengan perasaan campur aduk. Meski amarahnya belum sepenuhnya reda, entah apa yang Aksara pikiran sehingga membuatnya menarik napas sebanyak-banyaknya.

Setelah Aksara meninggalkan rumah, keheningan yang canggung menyelimuti ruangan. Chayra duduk di sofa, menatap kosong ke arah pintu yang baru saja ditutup oleh suaminya. Sementara itu, Putri, yang masih berdiri, merasa ada sesuatu yang harus diselesaikan sebelum perasaan tidak nyaman ini menjadi lebih besar.

Putri menarik napas dalam-dalam, kemudian mendekati Chayra. Ia duduk di sebelahnya, menatap Chayra dengan tatapan penuh pertanyaan.

"Chayra, aku ingin tahu," Putri mulai berbicara dengan suara lembut namun tegas, "Seberapa serius kamu tentang keinginanmu untuk memiliki anak?"

Chayra mengangkat wajahnya, terkejut dengan pertanyaan Putri. Mata mereka saling bertemu, dan Hafsah bisa melihat bahwa Putri benar-benar ingin mendengar jawabannya, tanpa ada niat untuk menghakimi.

Chayra terdiam sejenak, menimbang kata-katanya sebelum menjawab. "Aku… aku serius, Putri. Sudah lama aku memikirkan ini. Aku ingin merasakan menjadi seorang ibu sekaligus istri di mata suami aku sendiri, seperti kamu sekarang."

Putri mengangguk pelan, mencoba memahami perasaan Chayra. "Tapi mengapa kamu mengungkapkannya sekarang, saat aku sedang hamil besar? Apakah kamu tidak khawatir itu akan membuatku merasa tidak nyaman? Dan bisakah kamu menunggu aku lahiran terlebih dahulu atau setidaknya sampai anak ini besar"

Chayra menunduk, merasa bersalah dicampur juga kesal. "Aku… aku tidak bermaksud membuatmu merasa tidak nyaman, Putri. Aku hanya… aku merasa tersisihkan, melihat kamu begitu bahagia dengan kehamilanmu. Aku juga ingin merasakan kebahagiaan itu."

Putri menatap Chayra dengan empati. Dia tahu bahwa keinginan Chayra untuk memiliki anak bukanlah sesuatu yang bisa diabaikan begitu saja. "Aku mengerti perasaanmu, Chayra. Tapi mungkin kita bisa membicarakan ini dengan mas Aksara di waktu yang lebih tepat. Ketika semua ini bisa dibahas dengan tenang dan tanpa ada tekanan."

Cahyra menatap Putri dengan mata berkaca-kaca. "Dan sampai kalian berbahagia selamanya tanpa memperdulikan aku."

Putri meraih tangan Chayra dan menggenggamnya erat. "Kita semua ingin didengar, Chayra. Dan aku yakin mas Aksara akan mendengar kamu, aku tidak pernah berniat mengambil kebahagiaan mu. Suatu saat nanti kamu pasti tau jawabannya sendiri."

Cahyra merasakan ada sesuatu yang di sembunyikan dari pasutri ini. Perasaan kepo-nya mulai  menyelimuti hatinya.

Putri tersenyum hangat, menepuk tangan Chayra. "Kita ini keluarga, Chayra. Apapun yang terjadi, kamu berhak mengetahuinya. Tapi tolong berikan mas Aksara kepada ku sampai aku melahirkan setelah itu kamu boleh mengambil kebahagiaan kamu dengan mas Aksara."

Permohonan macam apa ini. Pikir Chayra, bisa-bisanya ia harus berbagi kebahagiaan kepada orang lain terlebih dahulu.

"Bisalah kamu pergi dari rumah ini sementara waktu. Untuk kali ini, aku ingin tinggal berdua saja dengan mas Aksara"

"Hah!" Chayra terkejut dengan permintaan putri yang mengusirnya secara spontan.

"Kenapa kamu jadi bar-bar Putri. Bukankah kamu yang meminta aku pulang ke rumah ini" tanya Hafsah dengan wajah yang terlihat marah.

"Itu sebelum kamu dan mas Aksara menginap di kontrakan. Tapi, setelah melihat kalian pulang bersama dan ada tanda-tanda yang membuatku sakit hati. Aku merasa aku benar-benar tidak ingin berbagi kebahagiaan suami dengan siapapun termasuk kamu istri pertamanya" jawab Putri membuat Chayra menyingkirkan tangan putri yang menggenggam tangannya sedari tadi.

"Kamu egois, Putri!" hardik Chayra.

"Aku tidak egois Chayra. Aku hanya ingin kamu lebih mengerti dengan keadaan ku" ucap putri.

"Lalu bagaimana dengan ku? Apa kamu pikir aku juga tidak membutuhkan kebahagiaan dari suami ku sendiri. Kamu benar-benar selfish!" ucap Chayra dengan emosi yang meluap-luap.

"Aku mohon Chayra. Pergi dari rumah ini setidaknya untuk anakku buka diriku" ucap putri dengan deraian air mata.

"Baik kalo itu kemauan kamu. Tapi ingat, jangan cari aku lagi dan meminta aku kembali ke rumah ini sampai kapanpun!" balas Chayra.








°°°°°°°°°°°
Ma'af yah jika ada nama Chayra jadi Hafsah itu kesalahan author karena sedang menulis juga di cerita satunya lagi.

 Btw, cerita ini beberapa bab lagi mau selesai dan seharusnya sih lumayan panjang cuma, hehhehe author masih ada dua cerita yang belum selesai tapi otak udah cepet-cepet mau selesaikan semua ceritanya huhuhu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Btw, cerita ini beberapa bab lagi mau selesai dan seharusnya sih lumayan panjang cuma, hehhehe author masih ada dua cerita yang belum selesai tapi otak udah cepet-cepet mau selesaikan semua ceritanya huhuhu.

Bye-bye 🤗

Berbagi Suami [THE END]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang