Chapter 5

118 19 0
                                    

Malam itu, suasana di area parkir bawah tanah gedung kantor Poompat terasa sangat sepi. Lampu-lampu neon yang dingin memancarkan cahaya temaram, menciptakan bayangan panjang dari pilar-pilar beton. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, waktu di mana sebagian besar karyawan sudah meninggalkan kantor, menyisakan hanya kesunyian dan gemuruh samar mesin pendingin udara.

Poompat, dengan gaya berjalan yang selalu tenang dan penuh percaya diri, memasuki area parkir tersebut. Setiap langkahnya menggema di ruang kosong itu, menunjukkan aura elegan yang tak terbantahkan. Wajahnya tetap dingin dan tanpa ekspresi, memperlihatkan kesan angkuh yang tak mudah ditembus oleh siapa pun. Ia mengenakan setelan formal yang sempurna, mencerminkan statusnya sebagai CEO perusahaan besar.

Tujuannya jelas, menuju Mercedes hitamnya yang diparkir agak ke tengah area parkir. Kendaraan itu berdiri sendirian di tengah keheningan, hampir seolah-olah sedang menunggu tuannya untuk pulang. Poompat, yang tenggelam dalam pikirannya sendiri tentang perkembangan kasus yang sedang ditangani oleh asistennya, Jim, dan Kapten Poom, tidak menyadari bahaya yang mengintainya.

Namun, ketika ia semakin mendekati mobilnya, sesuatu menarik perhatiannya. Gerakan cepat di pinggir penglihatannya membuatnya waspada. Tanpa mengubah ekspresinya, Poompat dengan cepat memeriksa sekelilingnya, dan saat itulah ia melihat mereka—dua pria berpakaian jas hitam, berkacamata hitam meski di dalam ruangan yang redup. Keduanya bergerak cepat ke arahnya, dengan niat yang jelas untuk menyergapnya.

Refleks Poompat segera bereaksi. Ia tidak berpikir dua kali, dan tanpa ragu, berbalik dengan cepat dan mulai berlari. Kakinya bergerak cepat melintasi lantai beton, berusaha menjauh dari para pengejar yang terlihat sangat terlatih. Jantungnya berdebar kencang, namun wajahnya tetap tanpa ekspresi, seperti biasa. Pikirannya berpacu, mencari cara untuk mendapatkan pertolongan.

Area parkir yang sepi itu berubah menjadi arena kejar-kejaran. Poompat tahu bahwa ia harus menemukan tempat aman atau seseorang yang bisa membantunya, tetapi di tengah malam seperti ini, harapan tampak tipis. Namun, ia tidak bisa menyerah. Dengan setiap langkah, ia mencoba untuk mengingat jalur keluar tercepat dan di mana biasanya ada penjaga atau kamera pengawas yang mungkin bisa menangkap kejadian ini.

Sementara itu, kedua pria berbaju hitam itu semakin mendekat, langkah mereka tak terhentikan. Mereka tahu bahwa mereka harus menangkap Up sebelum ia berhasil melarikan diri atau mendapatkan bantuan.

Poompat, meskipun terlihat tenang di luar, merasakan lonjakan adrenalin yang mendorongnya untuk berlari lebih cepat. Di pikirannya, satu nama terus berulang—Kapten Poom. Hanya Poom yang ia percayai untuk melindunginya dalam situasi seperti ini. Ia segera menghubungi Kapten Poom. Ia merasa bersyukur telah meminta nomor kapten muda itu meskipun dengan perjuangan berat menurunkan egonya. Langkah Poompat membawa dia ke sudut lain area parkir, yang lebih gelap dan kurang terlihat. Meski kelelahan mulai menggerogoti tubuhnya, ia tetap berlari dengan tekad bulat untuk bertahan hidup dan mengatasi ancaman ini. 


#####

Di ruangannya yang penuh dengan berkas-berkas berserakan, Captain Poom duduk dengan fokus pada laptop yang menyala di depannya. Pemandangan berkas yang menumpuk, catatan-catatan yang tersebar di seluruh meja, dan diagram yang tertempel di dinding menunjukkan betapa rumitnya kasus yang sedang ia kerjakan. Di salah satu sudut meja, sebuah cangkir kopi yang sudah dingin terabaikan, menandakan berjam-jam kerja tanpa henti yang telah ia lalui.

Poom sedang terbenam dalam analisisnya, mencoba mengaitkan berbagai petunjuk dan kemungkinan yang menghubungkan kematian Nona Zein dengan situasi yang melibatkan Up Poompat. Ia sudah sangat familiar dengan setiap detail kasus ini, tetapi tetap saja, ada sesuatu yang mengganjal, seolah ada bagian dari teka-teki yang masih belum ditemukan.

The SurrenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang