Chapter 11

105 16 0
                                    


Di dalam kamar tidur yang luas dan mewah, Poompat terlelap dengan damai. Lampu tidur yang redup memberikan cahaya lembut, menerangi ruangan dengan sentuhan hangat. Tirai-tirai tebal menutupi jendela, menutup dunia luar dan menciptakan suasana yang tenang dan nyaman. Poompat, dengan wajah yang tenang dan damai, berbaring di atas ranjang king-size dengan seprai putih bersih. Nafasnya teratur, seolah tanpa beban, tak menyadari ancaman yang mendekat.

Di luar, malam yang gelap mengelilingi rumah besar Poompat. Sebuah van hitam dengan jendela yang tertutup rapat, terparkir diam-diam di halaman belakang rumah. Di dalam van itu, tiga pria berpakaian serba hitam duduk dengan tegang, menunggu dengan cemas. Salah satu dari mereka, seorang pria berwajah keras dengan sikap dingin, mengawasi jam di pergelangan tangannya. Mereka adalah tim profesional yang telah menerima tugas untuk menculik Poompat atas perintah Jean-Luc.

Di atap rumah, seorang pria berpakaian serba hitam dengan topeng yang menutupi wajahnya mengendap-endap, bergerak dengan kelincahan dan ketenangan seorang profesional. Tangannya yang terlatih dengan cekatan membuka pintu loteng yang telah ia rencanakan untuk digunakan sebagai titik masuk. Dengan hati-hati, dia menuruni tangga yang menuju ke dalam rumah, memastikan tidak ada suara yang mengganggu keheningan malam.

Setelah memasuki rumah, pria itu bergerak dengan keahlian tinggi, menghindari setiap sensor keamanan dan kamera yang ada. Dia tahu rute ini dengan baik, karena dia sudah mengintai area rumah Poompat dan mempelajarinya selama berminggu-minggu. Langkah-langkahnya nyaris tidak terdengar saat dia mendekati pintu kamar Poompat. Saat pria itu membuka pintu kamar dengan perlahan, dia melihat Poompat yang masih tertidur dengan damai. Matanya yang tajam mengamati targetnya. Dia kemudian mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisi cairan bius dari saku jaketnya, siap untuk menuntaskan tugasnya.

Namun, saat dia hendak mendekati Poompat, sebuah suara lembut namun penuh ketegasan terdengar dari sudut kamar yang gelap. "Berhenti di tempat, atau kau tidak akan pernah keluar dari sini hidup-hidup."

Pria berpakaian hitam itu langsung menoleh, terkejut. Dari bayangan gelap, Kapten Poom muncul, wajahnya keras dan penuh kewaspadaan. Pistol di tangannya diarahkan langsung ke penyusup itu, tak ada keraguan sedikit pun dalam tatapannya.

Penyusup itu tahu bahwa misi mereka telah gagal. Tanpa membuang waktu, dia mencoba melarikan diri, tetapi Poom jauh lebih cepat. Dalam sekejap, dia meringkus pria itu dengan gerakan tangkas, menjatuhkannya ke lantai dan menahannya dengan kuat. Pistol yang dipegang Poom tetap terarah ke kepala pria itu, siap untuk menembak jika perlu namun Poom lebih memilih untuk melumpuhkannya dan memanggil anggotanya untuk melakukan penyidikan dan mencari otak penculikan Poompat.

Di luar, ketiga rekan pria itu di dalam van menunggu tanda dari rekannya yang ada di dalam rumah. Namun, saat detik demi detik berlalu tanpa ada kabar, mereka mulai merasa gelisah. Salah satu dari mereka memutuskan untuk menghubungi rekannya melalui radio, namun tidak ada jawaban. Mereka menyadari bahwa misi mereka telah gagal lagi lalu mereka melarikan van masuk ke kebun karet yang gelap, kempali ke markas untuk melapor. 

Poompat, yang terbangun oleh keributan itu, duduk di tempat tidur dengan mata yang masih setengah terpejam. "Poom? Apa yang terjadi?"

Poom, yang masih menahan penyusup di lantai, menoleh ke arah Poompat dan mencoba menenangkan CEO muda itu. "Jangan khawatir, Poompat. Kau aman sekarang. Hanya ada sedikit gangguan."

Poompat yang mulai sadar sepenuhnya, merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia terdiam sejenak, memandang Poom dengan campuran perasaan antara takut dan kagum. "Mereka... mereka mencoba menculikku?"

"Lagi", Poom mengangguk, tatapannya penuh keseriusan. "Ya, mereka mencoba lagi, tapi aku sudah mengantisipasinya. Kau tidak akan pergi ke mana pun tanpa perlindunganku."

The SurrenderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang