24 ┆ Matrimony
Karena gue dan Bima sepakat mau pake baju yang sederhana aja, gue pun hunting baju pernikahan yang simple aja, berharap bisa dipakai lagi di kemudian hari. Karena kakak ipar gue -yang baru pertama kali ketemu tapi ternyata baik- gabut banget, dia pengen jalan jalan sekalian. Jadilah kita berdua berkeliling kota Bandung buar nyari baju untuk nikahan gue.
"tapi dulu baju pernikahan awak sangat sederhana, awak ni apalah ya kan" ucap kak Dara dengan logat Batamnya yang kental kadang bikin gue mengernyit, harus translate dulu takut salah arti.
"tapi Abang aku ngasih uang pernikahan kan?" tanya gue sesaat kami berdua berhenti di lampu merah.
Ia mengangguk, "iyalah, Abang ko tu orang baik, bahagia aku jadi bininya" serunya sembari tertawa.
Kami pun berkeliling ke beberapa tempat sampai akhirnya memutuskan untuk membeli baju di salah satu toko. Baju dress panjang putih bersih berhiaskan sedikit payet berwarna putih tulang menghasilkan gradasi warna yang cantik. Gue juga membelikan Bima kemeja putih beserta jas berwarna hitam yang serasi dengan baju yang gue pilih. Setelahnya kita pun makan siang di sebuah rumah makan sunda di tengah kota.
"awak sampai sekarang belum juga bisa buat sambal terasi seenak disini" ucap kak Dara sembari melahap ayam goreng beserta lalapannya, "enak kali" lanjutnya membuat gue terkekeh
"kalo mau nanti aku kirim terasi kesana, biar rasanya mirip sama yang disini" ujar gue menawarkan dan tentu saja disambut anggukan olehnya.
Setelah kenyang kami pun langsung beranjak pulang, karena ponakan gue sudah kangen dengan Ibunya.
"nanti setelah kau menikah, kadang memang hidup kau terasa sulit, bosan, tak punya duit" ucapnya membuat gue mefokuskan diri pada ucapannya, "tapi, asal suami kau tak selingkuh, tak main perempuan, masih sholat, masih memberi kamu makan yang sehat, syukurilah, jangan lupa bersyukur" lanjutnya
Gue sangat berterimakasih ketika seseorang memberi gue nasehat seperti ini, apalagi di waktu genting seperti sekarang, "makasih ya kak" ucap gue membuat kak Dara tersenyum.
Tak terasa tinggal 3 hari pernikahan gue yang akan diadakan di salah satu KUA yang nggak jauh dari sini. Gue baru tau ternyata cukup ribet ya ngurusin berkas sebelum nikah kaya gini. Untungnya Ayah punya orang dalam, jadi lebih cepat diproses.
"make up sendiri aja?" tanya Mami ketika melihat gue sedang merapikan make up yang akan gue pake saat akad nanti.
"iya, soalnya aku nggak mau yang menor too much, Mi" ucap gue dan mengatur letak peralatan make up gue berdasarkan urutan pakai.
Hari -2 sebelum acara, masih nggak nyangka dan semakin deg-degan. Karena gue akan rehat mulai besok sampai seminggu kedepan, gue pun menyerahkan urusan toko roti ke asisten kepercayaan gue. Sekalian uji coba dilepas, siapa tau dia bisa handle sepenuhnya kedepannya.
"Raya.. kata Bima mau cincin nggak? atau emas aja?" tanya Mami sesaat masuk ke kamar gue.
"gatau, Mi, terserah dia aja" ucap gue
Mami pun mendudukkan dirinya di kasur gue, "kamu mau pake nggak cincinnya? kalo nggak mah ya mending emas aja" beliau memberi saran.
"yaudah emas aja, cincin biar aku beli di marketplace aja" ujar gue dan diiyakan oleh Mami, lalu beliau kembali ke ruang keluarga.
Tapi tak berselang lama, Mami kembali ke kamar gue lagi, "ini Bima nanya lagi, alat sholatnya mau beli sendiri atau dibeliin?" tanya Mami, "aduh pusing banget, kenapa nggak kalian aja chattingan langsung sih" lanjutnya
Keluhan Mami terdengar lucu di telinga gue, betapa sibuknya Mami harus jadi penerima pesan antara gue dan Bima. "Bima aja, Mi yang beli" ucap gue, "nanti kalo dia tanya lagi bilang terserah Bima aja" lanjut gue dan diiyakan Mami
KAMU SEDANG MEMBACA
When Bima Met Raya [Tamat]
ChickLitBima, si cowok yang selalu bilang dirinya an Ordinary guy. Merasa kehidupannya biasa aja dan mulai mensyukurinya saat bertemu sama Raya, si cewek yang pengen hidupnya biasa biasa aja. "Ray, gue harap hati lo bisa lebih luas dan lapang, lo bisa berb...