~~
Gauri terduduk lemas diatas ranjang kamarnya setelah membuka pesan dari Sabian yang mengatakan jika Kakeknya kembali kritis tak sadarkan diri sudah hampir seminggu. Gadis itu menggigit bibirnya sendiri berulang-ulang, berpikir keras apakah ia harus benar-benar menemua Ayah dari Ibunya itu?
Baru saja akan beranjak dari ranjang tiba-tiba Nindi dan Winola masuk ke dalam kamar dengan nafas memburu, "Kalian kenapa?" Tanya Gauri bingung.
"Di depan ada supir Garyatama, lo mau ke SG?" Tanya Nindi buru-buru.
Gauri menggeleng ragu, "Aku masih nggak yakin."
"Gak! Lo harus berangkat. Pokoknya lo harus berangkat, Bang Jo bilang mereka udah urus tiket lo. Tinggal berangkat, ayo sini gue bantuin packing." Ucap Winola mutlak, gadis itu berjalan menurunkan koper besar Gauri dari atas lemari. "Toko sama pesenan biar jadi urusan kita dulu."
"Tapi la-"
"Ri." Winola menatap sahabatnya tajam, "Kakek lo kritis. Mungkin setelah ini gak akan ada kesempatan lagi lo bisa ketemu sama dia, sekarang lo nggak akan ngerasa nyesel kalo gak ketemu dia. Tapi pegang omongan gue, kalo sekarang lo gak pergi nemuin kakek. Lo bakal nyesel."
"Winola bener Ri, ada Sabian sama Bang Jo disana. Lo nggak perlu takut." Nindi ikut menambahi.
Gauri mengusap wajahnya frustasi, mungkin benar ia akan menyesal jika tidak menemui Kakeknya sekarang juga. Namun apakah dengan datang kesana adalah satu-satunya solusi? Bagaimana kalau itu justru akan membuat penyesalan lain?
"Aku kabarin Jevan-" Belum selesai Gauri berucap, Nindi sudah lebih dulu meraih ponselnya kasar.
"Jevan bisa dikabarin nanti, sekarang yang penting packing karena penerbangan lo sebentar lagi."
"Tap-"
"Nggak ada tapi-tapi cepetan sana mandi, nanti gue yang chat Jevano." Nindi mendorong Gauri ke dalam kamar mandi sedangkan Winola sudah sibuk dengan koper gadis itu.
Winola menatap Nindi sebentar kemudian berbisik, "Lo yakin ini nggak apa-apa?"
Nindi mengangguk mantap, "Gapapa! Biar mampus Jevano!"
~~
Hanan mengatur nafasnya yang memburu setelah memukul Jevano habis-habisan dengan tangannya sendiri.
"Gauri kurang apa sih? Bukanya badannya juga udah dikasih ke lo? Masih kurang aja? Bosen lo cuma make dia-"
"Jaga omongan lo!" Jevan bangkit dengan cepat kemudian meraih kerah baju Hanan kasar, "Gue gak pernah bosen dan jangan pernah bilang gue make dia bangsat!"
Hanan berdecih, "Udah kayak gini aja tingkah lo baru jadi sok pahlawan buat Gauri." Lelaki itu mendorong kasar tubuh tegap Jevano, "Kalo lo udah bosen tinggalin Van. Dia gak punya siapa-siapa anjing! Mau lari kemana kalo lo yang dia percaya aja nyakitin dia segininya!"
Jevan tidak menjawab, video tak senonoh dirinya dengan Clarine tiba-tiba saja tersebar tengah malam tadi. Ia juga tidak tahu-menahu mengapa bisa tiba-tiba videonya tersebar tanpa sensor sama sekali.
Meskipun hanya beberapa detik, melihatnya saja rasanya ingin membakar dirinya sendiri.
"Coba lo jelasin! Apa maksud video semalem? Muka lo aja keenakan dicupang Clarine. Disepong juga ya? Masuk nggak? Jangan-jangan lo juga yang merawanin-"
Jevan membasahi bibirnya sendiri, nafasnya memburu menahan emosi untuk tidak menonjok sahabatnya itu.
Pagi tadi saat membuka pintu apartemen, dirinya sudah menemukan Hanan berdiri disana kemudian menyerangnya tanpa ampun.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pottery
RomanceJevano Diratama adalah putra pertama dari pengusaha ternama Hardi Diratama yang namanya sudah sangat dikenal di dunia bisnis. Seperti konglomerat pada umumnya, dari kecil Jevan selalu diajarkan untuk bersikap terhormat. Belajar bisnis sejak kecil da...