Star in My Heart # part 2

7 0 0
                                    

Aku masuk ke aula kurang lebih jam setengah 9. Sudah terlambat nyaris setengah jam dari waktu yang telah aku dan Albert rencanakan untuk berkumpul dan mulai latihan. Ini karena bu Tanti, guru kewarganegaraan yang paling susah diajak kompromi. Padahal 'kan yang kulakukan untuk membantu sekolah juga. Apa salahnya coba keluar kelas untuk cek sound dan latihan untuk pentas buat pensi besok...??


Menurut Bu Tanti anak- anak SMA seperti akulah yang menjadikan Indonesia tidak maju-maju karena kecintaannya terhadap negara kurang. Yang dipentingkan hanya musik yang baginya cuma ecek-ecek saja. Bagi Bu Tanti sekolah dan belajar itu perlu. Tapi kenapa anak-anak OSIS yang jadi panitia Open House boleh keluar dari tadi sementara aku tidak. Tujuan kami'kan sama? Dasar pilih kasih!


Di dalam aula sudah ada Albert dan Miko yang sedang mengutak-atik alat musik mereka. Aku sendiri membawa gitar akustikku. Segera kuhampiri mereka "Pagi Ko!" sapaku pada Miko. Ia adalah sahabat karib Albert yang berarti ia adalah kakak kelasku. Tapi sama dengan Albert, aku tidak memanggilnya Kakak, tapi langsung namanya.


Miko sedang sibuk mengelap stick drumnya yang berukiran salib dan beberapa lengkungan tidak jelas. Ukiran itu hasil karyanya sendiri. Aku dan Albert menyebutnya stress saat kami melihat ia menandai bentuk ukiran itu dengan cutter. Hasilnya sangat berantakan. Tapi keesokan harinya stick drum itu sudah berubah menjadi indah karena ukiran cutter yang berantakan itu jadi lebih rapi seakan dibuat oleh pemahat ahli. Mungkin aku sedikit berlebihan, bukan pemahat ahli, hanya lebih rapi setelah ia bor dengan bor listrik lalu memvernishnya dengan warna coklat gelap.


"Hai!" sahut Miko menanggapi secukupnya. Ia masih sibuk dengan sticknya. Tapi ia kembali menatapku sedetik kemudian. Entah apa yang ia lihat. Tapi pancaran matanya menunjukan kalau ia sangat penasaran. Perlahan ia menggerakan tangannya dan menyentuh telingaku. "Kenapa nih telinga loe? Kayak baru direbus..." ia memberi komentar.


Spontan aku bergerak mundur agar ia tidak dapat menyentuhnya. Ternyata apa yang menarik perhatiannya adalah telingaku yang masih merah bekas jeweran Mama tadi. Kupikir tanda merah itu sudah hilang.


Mendengar komentar Miko, Albert yang sedang mencoba beberapa chord pada keyboardnya langsung berhenti dan mulai tertawa. Aku langsung menatap Albert tajam.


Miko pun bingung melihat apa yang dilakukan Albert "Kenapa Bert?" tanyanya. Hanya ia satu-satunya orang di antara kami bertiga yang tidak mengetahui hal ini. Ia orang luar dan tidak ada hubungan darah dengan kami.


Albert masih tertawa saat menjawab pertanyaan Miko. "Itu.." tawa " tadi di rumah" tawa "dia dijewer Mama..." tawa lagi. Kali ini tidak hanya ia yang tertawa Miko pun ikut menertawakanku.


Aku yakin saat ini mukaku pasti sudah semerah kepiting rebus. Memang itu kebiasaan genku ketika aku merasa tidak suka. "Sudah...?" tanyaku. Mereka terlalu lama menertawakanku dan itu membuatku benar-benar kesal.


Mereka berhenti.


Sepertinya mereka sudah hafal benar tabiatku kalau sudah kesal. Aku pasti tidak mau latihan padahal aku adalah vokalis sekaligus gitaris dari band kami. Tetap saja, biarpun aku cinta musik, tapi di antara musik dan harga diri, biasanya yang menang tetaplah harga diriku. Kan tadi sudah kubilang tidak ada yang bisa mengalahkan egoku.

Alice - Di antara dua waktu yang berbedaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang