Episode I : Yang Tidak Nyata Adalah Nyata, Tetapi Yang Nyata Tetaplah Nyata

987 138 86
                                    

Kegelapan menyelimuti sekelilingnya, menghadirkan hampa tanpa batas yang memenjarakan kesadaran batinnya. Dalam kekosongan yang sunyi itu, dia jatuh ke dalam pusaran mimpi tak berujung. Perlahan namun pasti, dia membuka matanya, dan seberkas cahaya menembus ke dalam kelopak matanya, menusuk kornea dengan kehangatan yang tajam. Cahaya itu muncul untuk mengusir bayang-bayang pekat, menciptakan penglihatan baru di tengah kegelapan yang tersisa. Dia terbangun, merasakan dinginnya embun pagi yang menyelusup kulitnya. Memunculkan kebingungan yang memutar otaknya.

Pemandangan yang terhampar di depannya adalah sebuah hutan lebat yang sangat asing dan misterius, penuh dengan pepohonan menjulang dan rerumputan hijau yang berkilau diterpa sinar jingga sang fajar. Dia meraba alasnya, menyentuh tanah yang dipenuhi dedaunan basah dan merasakan kelembutan kehidupan yang mengalir melalui akar-akar di bawahnya. Dengan langkah engah, dia berdiri, merasakan setiap otot, sendi, dan indera yang kembali merasakan keberadaan dunia yang nyata.

Langkah-langkahnya membawa dia lebih dekat menuju pohon besar yang meneduhnya. Tangan kanannya meraba-raba permukaan kasar batang pohon besar di depannya. Sensasi nyata dari tekstur kulit kayu itu memberikan kenyamanan yang aneh, seolah-olah pohon itu sendiri berusaha menenangkannya. Tubuhnya, yang semula lemah dan kebingungan, perlahan-lahan mendapatkan kembali kesadarannya, setiap gerakan membawa dia semakin dekat pada realitas yang penuh teka-teki.

Fenomena ini, begitu abnormal, penuh ambiguitas, memicu pertanyaan yang membakar di pikirannya. "Aku... di mana?" suaranya bergetar dengan campuran kebingungan dan kekaguman. Kata-kata itu seolah menguap di udara pagi yang segar, lalu menghilang di langit bersama suara burung-burung yang mulai berkicau, senada dengan gemerisik daun yang digerakkan oleh angin pagi untuk menyambut dirinya.

Di tengah-tengah keanehan itu, dia mencoba untuk kembali merangkai potongan-potongan ingatannya yang terbagi-bagi menjadi banyak fragmentasi dalam benaknya. Setiap sudut hutan ini tampak seperti labirin yang penuh dengan rahasia tersembunyi. Pohon-pohon tua dengan akar yang menjalar seperti cakar, batu-batu besar yang tertutupi lumut tebal, serta harumnya bunga-bunga liar yang mekar dengan warna-warna cerah, sangat kontras dengan kehijauan di sekitarnya.

Semuanya terasa begitu nyata, begitu hidup, namun juga penuh dengan misteri yang mengundang rasa ingin tahu yang mendalam. Dia melangkah lebih jauh, mendengar desiran angin yang membawa bisikan samar, seolah-olah hutan ini memiliki cerita yang ingin disampaikan. Setiap langkahnya terasa seperti penelusuran dalam dunia yang penuh teka-teki, di mana setiap sudutnya menyimpan rahasia yang menunggu untuk diungkapkan.

Beberapa jam sebelum kejadian itu, di pinggir sebuah jalan. Terdapat seorang laki-laki yang begitu berat ia melangkahkan kakinya di bawah cahaya mentari. Dengan keringat yang membasahi sekujur tubuhnya. Terlalu letih dan lemah terasa. Napasnya yang tersengal-sengal membuat tubuhnya membungkuk ke arah depan. Laki-laki itu bernama Kalopsia Ken Aletheia. "Hah... huh... panas banget dah... jauh, capek banget. Kenapa sih, sekolah menengah atasku jauh banget dari rumahku?? Padahal dulu pas waktu menengah pertama gak sampai sejauh ini juga!?" keluh Aletheia yang sangat lunglai.

Menit demi menit berlalu. Hingga akhirnya, Kalopsia Ken Aletheia tiba di depan rumah. Rumah yang tidak terlalu besar maupun kecil. Di samping dekat pintu rumah itu, terdapat sebuah papan nama. Tertulis sebuah nama "Ken" di bidangnya. Ken, itu adalah nama marga Kalopsia Ken Aletheia. Sampailah dia masuk ke dalam rumah itu, dengan membawa rasa penat yang luar biasa. "Haahh... akhirnya pulang juga!" lega Aletheia. Kakinya yang masih terasa berat pun mulai berjalan ke kamar tidurnya. Sesampai di kamarnya, dia terjatuh ke dalam kelelahan di kasur tidurnya. Lelap sudah dia dalam tidurnya.

Kalopsia Ken Aletheia, dia adalah anak yatim piatu. Hanya dia satu-satunya yang tinggal di rumah ini. Segala kegiatan dan kewajiban hanya dia seorang yang mengerjakannya. Tak jarang, dia dibantu oleh seseorang yang sudah dianggap layaknya keluarga. Satu-satunya orang terdekatnya hanyalah teman masa kecilnya. Teman yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri, keluarga dia satu-satunya, kakak perempuan bagi Aletheia.

Dream WorldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang