Tempat itu, hanya ada sedikit cahaya yang merambat masuk di antara celah-celah lubang pintu di atas. Aletheia, terbangun di dalam sebuah ruangan yang memiliki dinding batuan tersusun yang melingkari mereka. Mereka bangun dengan pakaian yang masih sama, namun lebih lusuh. Tapi, mereka hanya berdua, tanpa ada sosok ketiga yang begitu penting bagi mereka. Karena, hanya ada satu lelaki saja yang berambut kuning pendek dan bermata hitam gelap, berada di samping Aletheia.
Ruangan itu sangatlah suram, begitu pengap. Bebatuan penuh lumut hijau yang basah menjalar liar, tersusun sangat tidak rata di setiap sisinya. Aroma bangkai juga tercium menyengat, seolah menusuk hidung dengan penuh siksaan, bau yang bercampur dengan kelembapan ruang. Alas tanah yang terasa kasar, hanya memperburuk suasana. Sebuah penjara bawah tanah yang begitu sempit dan menyesakkan. Tetesan kecil air dari atas menjadi pengingat detik mereka terus berlalu.
Di sebelahnya, Aletheia melihat Hiro yang sudah terlebih dahulu bangun. Mereka berdua disekap, tangan mereka terikat dengan tali kasar yang membuat kulit terasa sakit. Aletheia mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi rasa nyeri dan ketidaknyamanan segera menghentikan usahanya. Tali itu juga sepertinya dilapisi dengan anti sihir. Sehingga mereka tidak bisa menggunakan sihir.
“Apa yang terjadi...?” tanya Aletheia, dia mengingat kembali kejadian terakhir yang dialaminya sebelum terjatuh ke dalam situasi mencekam ini. Gambar-gambar kabur tentang sergapan para bandit dan sihir tidur yang dilontarkan ke arahnya dan teman-temannya. Ia memandang Hiro yang berada di sebelahnya, hatinya dipenuhi kekhawatiran dan rasa bersalah.
“Sepertinya kita berdua ditahan di dalam ruangan bawah tanah ini. Dan tali ini membuatku tidak bisa menggunakan sihirku,” jelas Hiro, sambil berusaha menggerakkan tubuhnya yang terikat kuat.
Aletheia sejenak melihat ke arah sekitar, tapi hanya ada satu pemikiran janggal yang menggangu dirinya, “Akiko? Di mana Akiko?” tanya Aletheia, berseru panik, hatinya tiba-tiba terasa berat saat menyadari ketidakhadiran sosok yang seharusnya ada di sana, sosok yang lebih utama kepentingannya. Suaranya bergema di antara dinding-dinding ruangan, namun yang ia terima hanyalah keheningan.
Hiro hanya diam membisu, matanya menunduk dalam bayangan, wajahnya suram dan penuh rasa bersalah yang tak bisa ia sembunyikan. Ekspresinya sudah cukup menjawab pertanyaan Aletheia—sebuah kebenaran yang lebih menyakitkan dari kata-kata.
Aletheia pasrah menerima kekosongan yang tiba-tiba menyerang jiwanya. “Dasar mereka itu!!” jeritnya, suaranya dipenuhi dengan kemarahan yang meledak seperti api liar. Tangannya terkepal erat, menggigil antara marah dan putus asa, giginya berseteru satu sama lain, dan tubuhnya semakin mengeras di antara lilitan tali yang kasar,.
“Maaf... maaf, ini semua karena aku yang kurang teliti. Aku yang salah karena tidak memperhatikan jalurku dengan aman. Aku membawa kalian ke jalan yang salah,” penyesalan Hiro terlihat dari wajahnya yang mengkerut, matanya yang tertutup, badannya yang henti bergetar, dan keringat dingin yang terus membanjiri tubuhnya. Serta air mata yang mulai mengalir di wajahnya.
Di sisi lain, Aletheia berusaha menenangkan paniknya sendiri agar tetap fokus. Mengambil napas panjang, juga berusaha menenangkan Hiro yang terus menyalahkan dirinya sendiri. “Hiro, jangan salahkan dirimu sendiri. Tidak papa, semuanya pasti akan baik-baik saja. Aku yakin dengan itu. Percayalah kepadaku, kepadamu, dan kepada Akiko,” ucap Aletheia sambil menepuk pundak Hiro untuk menenangkan dia.
Mata Hiro terbuka, hanya ada lautan penyesalan yang terlukis di sana, mulutnya bergetar penuh kepenanggungan besar. “Ta-tapi....”
“Gak ada kata tapi-tapian! Percayalah!” Aletheia yang sudah mulai fokus, menatap Hiro dengan penuh serius. Suaranya kini menggelegar dengan kepercayaan diri.
Hiro yang awalnya terus bergetar badannya, kini mulai lebih tenang lagi. Dia perlahan mengusap air matanya di bahu Aletheia, dan mencoba untuk berusaha kembali untuk tidak menyerah. Menumbuhkan kembali semangat yang bercahaya di dalam dirinya. “Ya, kamu benar. Yosh! Saatnya memikirkan apa yang harus kita lakukan,” semangat Hiro kini sudah sepenuhnya pulih.
Aletheia perlahan mulai mengamati dan menganalisis keadaan sekitar lebih tajam lagi. “Dari kapan kamu bangun, Hiro?” tanya Aletheia, mencari setiap detail informasi yang ada.
Hiro mendongak sedikit, kini ia sudah sedikit tenang. “Baru saja juga,” jawab Hiro sedikit lebih teratur suaranya. “Jadi aku tidak mengetahui siapa sekelompok itu. Mungkin memang bandit, tapi kita tetap harus waspada dan hati-hati.”
“Sebelum itu, kita harus melepas tali ini dan keluar dari sini,” kata Aletheia, suaranya penuh tekad meskipun tubuhnya terikat erat. Dia lalu mulai memutar-mutar tubuhnya, mencari celah tersembunyi di antara simpul-simpul kasar yang membelenggunya. Tali itu terasa kasar dan ketat, menekan kulitnya dengan kuat, tetapi Aletheia tidak menyerah.
“Tapi gimana caranya? Kita terikat sepenuhnya loh, Aletheia! Talinya juga besar dan kasar. Aku kurang yakin dengan kekuatan fisik saja bisa cukup.”
“Tenang aja. Aku bisa melakukannya. Yakinkan saja!”
“Yang... yang bener saja?!”
“Percaya padaku!” dengan senyuman di wajahnya bersamaan dengan matanya yang fokus tajam ke Hiro, menunjukkan keseriusannya. Hiro yang melihat itu pun mulai percaya dengan Aletheia.
Tetapi, sebelum Aletheia memulai penjelasannya, sebuah suara berat terdengar dari atas ruangan itu. “Oh ya... ya, sang tikus-tikus got menjijikkan itu sudah terbangun sepertinya. Bagaimana? Tempat yang lebih cocok untuk kalian bukan? Huahahaha!!” suara pria itu menggema keras dari atas. Nada tawa yang kasar dan penuh penghinaan itu menusuk telinga, seolah melucuti harga diri mereka dengan setiap kata yang diucapkannya.
Amarah Aletheia langsung meluap mendengar ejekan itu. Hatinya terasa membara, seperti api yang meletus tanpa bisa dikendalikan. Darahnya menggigil kencang, penuh emosi. “SIAPA YANG KAMU PANGGIL TIKUS GOT, HAH??!! SIAPA KAMU!!” perasaan direndahkan dan dipermalukan itu mengalir cepat seperti racun, memicu hasratnya untuk melawan, untuk menghancurkan setiap jejak penghinaan yang dilemparkan padanya.
“Ih... mengerikannya, hahaha. Tikus yang berada di bawah kakiku ini bicara sombong sekali. Justru kamu harus bersyukur, karena kalian semua tidak aku siksa dulu sebelum menjual kalian. Tidak seperti gadis yang kalian bawa bersama itu. Huahahaha!!” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih kejam, disertai tawa yang sangat mencemooh.
Kata-kata itu memukul keras, menyayat hati Aletheia dan Hiro seperti belati yang tajam tanpa ampun. Detak jantung Aletheia berhenti sejenak, membuatnya wajahnya memucat saat mendengar sosok gadis yang tersembunyi di balik ejekan itu. “Akiko?! Kamu apakan dia?? Tidak akan kami maafkan kalian semua!”
“Itu benar!! Tunggu sampai kami semua lepas dari sini!” Hiro ikut terbakar oleh emosi yang memuncak. Mata Hiro memancarkan kemarahan yang sama seperti Aletheia, siap untuk menghancurkan siapa pun yang menghalangi jalan mereka. “Kamu pikir kami akan diam saja? Tunggu sampai tali ini lepas, kami akan membuatmu menyesal!” Hiro menggertakkan giginya, suaranya mengandung ancaman yang nyata.
Mata Aletheia menyala penuh kebencian. “Tidak akan kami maafkan kalian semua!” lanjutnya, suaranya semakin menggema, bagaikan kilat yang menyambar di tengah malam gelap. Seluruh tubuhnya dipenuhi oleh keinginan untuk membalas dendam, untuk menyelamatkan Akiko, dan menghancurkan semua yang berani menyentuh mereka.
“Huhh, mengerikan. Huahahaha!!”
“Jawan pertanyaanku!!” teriak Aletheia, amarah dan ketakutan bergabung menjadi satu, suaranya menggema dalam ruangan yang mencekam. Tubuhnya bergetar, tidak hanya karena ketakutan, tetapi juga oleh kemarahan yang mulai menguasainya.
“Tikus got rendahan gak usah sok mengatur!” pria itu pun pergi, terdengar dari suara langkah kakinya yang semakin kecil terdengar. Setelah suara langkah kaki lelaki itu semakin menjauh, ruangan bawah tanah kembali hening, hanya diiringi suara tetesan air yang berirama. Aletheia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum memulai rencana pelarian mereka.
Aletheia dan Hiro yang awalnya memanas emosinya mulai menenangkan dirinya masing-masing agar tidak berbuat ceroboh. “Aletheia, sepertinya kita harus berbisik agar mereka tidak mendengar pembicaraan kita. Aku sudah mendengar banyak langkah kaki terdengar di luar sana. Sepertinya mereka semua juga sudah terbangun,” bisik Hiro kepada Aletheia.
“Yah... kamu benar, kita harus bisa menahan suara kita,” balas Aletheia dengan berbisik juga. Seluruh percakapan kali ini akan dilakukan dengan berbisik-bisik guna menghindari perhatian orang-orang di atas. “Aku yakin, sepertinya aku bisa melepaskan tali ini.”
“Kamu yakin? Kekuatan fisik biasa tidak akan cukup loh!”
“Tenang saja. Aku punya caranya.”
“Emm.. baiklah,” Hiro mengangguk pelan, matanya menunjukkan kepercayaan dan harapan. “Aku percaya padamu, Aletheia. Lakukan yang terbaik, dan aku akan mendukungmu.”
“Terimakasih.”
Aletheia menutup matanya sejenak, memusatkan seluruh kekuatannya. Di dalam pikirannya, dia mencoba untuk membayangkan dirinya adalah seseorang yang mempunyai kekuatan seperti makhluk raksasa yang kuat dan penghancur segalanya seperti dalam game-nya. Dengan penuh kekuatannya, dia mulai tergambar sebuah visualisasi dari bayangan itu. Sekaligus, dia berharap apa yang dikatakan Yuki itu beneran terjadi.
Dia pun terus melanjutkan bayangan imajinasinya, memperkuatnya. Merubahnya menjadi kekuatan dengan keyakinan. Hingga sesuatu hal terjadi di dalam dirinya. Dia merasakan setiap serat ototnya menegang, energi dari dalam dirinya mulai mengalir ke seluruh tubuh. Dengan tekad yang bulat, dia mulai menggerakkan tangannya yang terikat, perlahan tapi pasti.
Saat Aletheia mulai menggerakkan tangannya yang terikat, Hiro menatap dengan penuh keheranan. Matanya membulat dan bibirnya sedikit terbuka, menunjukkan ketidakpercayaan akan apa yang dia saksikan. Dia tahu, bahwa Aletheia itu kuat, tapi dia tidak menyangka kekuatannya begitu luar biasa hingga mampu mematahkan tali kasar yang melilit tangan mereka.
Tali kasar itu menggores kulitnya, menciptakan luka-luka kecil yang merah, namun Aletheia tidak menghiraukannya. Dengan gigih, dia menekan dan menarik simpul-simpul yang menjeratnya, mengerahkan seluruh tenaga yang masih tersisa dalam tubuhnya. Peluh mulai mengalir, namun perlahan dia merasakan tali itu mulai terasa sedikit longgar, dan dia terus memberikan paksaan hingga akhirnya terdengar suara robekan kecil. Ikatan pada tangannya mulai terlepas.
Tidak disangka, bahwa teori Yuki beneran terjadi—bahwa dirinya bisa menggunakan kekuatan imajinasi dan pemikirannya menjadi hal nyata di dunia mimpinya.Perlahan dengan kuat agar tidak menimbulkan suara gaduh, Aletheia mulai meregangkan dan melepas talinya. Tidak hanya meregang, tali itu bahkan putus dan hancur, seperti rantai yang tak lagi bisa menahan kekuatan tekadnya. Akhirnya, dia bebas, dan kini siap melancarkan serangan balasan.
Ketika Aletheia berhasil melonggarkan dan menghancurkan tali itu, lalu melepaskannya sepenuhnya, ekspresi terkejut Hiro semakin jelas. Alisnya terangkat tinggi dan mulutnya terbuka lebih lebar. Dia mengedipkan mata beberapa kali, seolah mencoba memastikan apa yang dilihatnya bukanlah ilusi. Hiro sangat terkejut melihat betapa kuatnya Aletheia. “Aletheia, apa yang kau lakukan?” bisiknya dengan nada terkejut dan khawatir.
“Ka-kamu benar-benar melakukannya?!” bisik Hiro lagi dengan nada suara yang penuh kekaguman. Dia menggelengkan kepala perlahan, masih tidak percaya pada apa yang baru saja terjadi. Perasaanya penuh dengan campuran kekaguman dan rasa hormat yang mendalam terhadap Aletheia.
“Sudah aku bilang, bukan? Percayalah padaku! Sekarang aku akan melepaskan ikatanmu juga,” Aletheia sendiri sebenarnya juga tidak percaya dengan apa yang dia lakukan baru saja. Kekuatan imajinasi benar-benar bisa dia lakukan, dan ini menjadi senjata penting untuk dirinya nanti ke depannya.
Saat Aletheia mulai melepaskan ikatan pada tangan Hiro, Hiro merasakan ketegangan di tubuhnya perlahan-lahan mengendur. Dia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. Setelah bebas, dia menatap Aletheia dengan senyum lebar, matanya yang sebelumnya penuh ketakutan kini memancarkan semangat dan keyakinan.
“Kamu luar biasa, Aletheia,” ucap Hiro dengan suara yang penuh kehangatan. “Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan tanpa kekuatanmu,” dia meraih tangan Aletheia dan menggenggamnya erat, sebagai tanda terima kasih dan kepercayaan.
“Ya... ini bukan apa-apa. Mari kita keluar dari sini dan menemukan Akiko,” mata Aletheia menatap tajam Hiro dengan penuh semangat dan keseriusan di dirinya. Serta senyuman kecil yang menandakan senangnya pada ketegangannya akan hal yang menantang itu. “Dan juga, sekarang kamu bisa menggunakan sihir kamu tidak, Hiro?”
“Yah, untungnya ruangan ini tidak berada di lapisan anti sihir. Sepertinya anti sihir itu cuman ada di talinya. Aku juga bisa mengamati keadaan luar dengan kemampuan ‘Koshikai’ ini. Dengan meminjam penglihatan dari cahaya sekitarnya, aku bisa mengamati pergerakan mereka.
“Itu bagus! Coba kamu cari Akiko dia sedang berada di mana.”
Koshikai, sebuah kemampuan yang membuat penggunanya memanifestasikan penglihatannya pada sebuah cahaya di area sekitar. Artinya, selama ada cahaya di suatu tempat, pengguna dapat melihat di suatu tempat itu dengan cahaya di sekitarnya itu. Cahaya sekitar akan diubah menjadi seakan-akan mata milik pengguna sihir tersebut.
Sihir ini adalah salah satu sihir dasar yang dipelajari klan Hikari dari Hiro. Sehingga ia dapat mudah menggunakannya tanpa membuat lingkaran sihir. Kemampuan ini hanya akan terjadi jika ada cahaya di tempat yang ingin dilihatnya. Hiro bisa melakukan sihir karena kalung kristal yang ia pakai masih terpasang di lehernya. Kalung tidak akan bisa dilepas oleh siapapun, karena memiliki hubungan yang erat dengan penggunaannya. Sementara, peralatan lainnya sudah disita para bandit itu.
“Bagaimana? Kamu menemukan sesuatu tidak?” tanya Aletheia.
“Eemm... tidak ada hal yang mencurigakan. Kebanyakan dari mereka seperti seorang bandit biasa yang sedang mengatur barang-barang bawaan. Di sekitarnya banyak tenda-tenda, orang-orang di luar sibuk ke sana kemari membawa barangnya. Dan aku tidak menemukan seseorang yang sepertinya pemimpin mereka, seperti yang berbicara di atas tadi. Tapi semua orang memegang senjata. Kita tetap harus hati-hati.”
“Coba lebih amati lagi isi semua tenda-tenda itu.”
Hiro mulai memusatkan matanya pada suatu tempat yang paling mencurigakam. “Hmm... ada yang aneh, dari sekian banyak tenda, hanya satu tenda yang terlihat mencurigakan. Itu tenda yang paling besar dari semua tenda. Ditambah....”
“Kenapa??”
“Benar dugaanku. Tenda itu adalah satu-satunya tenda yang tidak bisa aku amati. Antara tidak memiliki cahaya di dalamnya. Atau tenda itu dipasang dengan sebuah lapisan anti sihir di luar dan dalamnya. Yang pasti, kemungkinan sang pemimpin dan Akiko berada di dalam sana. Karena mereka tidak ada di tenda lainnya.”
“Yosh!! Kerja bagus Hiro. Mari kita selamatkan Akiko bersama-sama!” mata Aletheia kini semakin penuh dengan kobaran api semangat yang membara. Keberanian dan keyakinannya akan menyelamatkan Akiko terus menyala tanpa padam.
Di sisi lain, Hiro juga ikut semakin menjadi-jadi semangatnya. Mereka akhirnya berdiskusi sebentar untuk mencari strategi yang terbaik dalam misi penyelamatan Akiko. Kali ini, mereka akan keluar dengan selamat dan melanjutkan misi sebenarnya mereka.
Aletheia dan Hiro duduk bersebelahan di lantai dingin, membicarakan rencana mereka dengan bisikan penuh kehati-hatian. Mereka menyadari bahwa satu-satunya jalan keluar adalah melalui lubang di atas, dan itu bukanlah tugas yang mudah.
“Jadi, menurutmu apakah kita harus menyerang secara langsung atau diam-diam?” tanya Aletheia ke Hiro yang sedang mengawasi keadaan sekitar dengan kekuatan cahaya.
“Hmm... sejauh ini, kita masih belum mengetahui kekuatan musuh seperti apa. Kita juga tidak tahu apakah ada jebakannya di luar atau tidak. Jadi menurutku, kita harus hati-hati terlebih dahulu,” jawab Hiro dengan yakin sambil terus menavigasi penglihatannya.
Aletheia mengangguk, menyetujui saran Hiro. Mereka berdua tahu bahwa setiap langkah harus diambil dengan penuh perhitungan. Aletheia memandang sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membantu mereka dalam situasi ini. Dia melihat bahwa dinding batu di sekitar mereka memang keras, tebal, dan licin, tetapi ada beberapa bagian yang terlihat agak longgar.
Aletheia lalu menyampaikan satu ide, setelah mengamati lagi sekeliling ruangan mereka. “Jalan keluar satu-satu ini hanya dari pintu atas itu. Kalau kita memaksa lewat jalur samping, kita harus menghancurkan dinding batu ini. Sudah pasti akan membuat kegaduhan. Hiro, bagaimana dengan sihir kamu yang bisa membuat kita terbang?”
“Untuk memakai sihir yang mempengaruhi pergerakkan penggunanya, aku harus mengumpulkan konsentrasi energi sekitar, dan itu membutuhkan lingkaran sihir. Sihir milikku ini menggunakan energi cahaya. Jika aku sembarangan membuat lingkaran, tentu juga akan membuat kegaduhan karena lingkaran ini memancarkan cahaya. Dan juga hanya beberapa orang saja yang setiap melakukan sihir, tidak perlu menggunakan sihir lingkaran.”
“Bagaimana dengan sihir terbangku yang menggunakan energi angin dan udara? Ini tidak akan membuat gaduh sekitar, yakan? Karena energinya tidak terlihat dan mencolok,” usul Aletheia. Sihir terbang adalah sihir dasar yang tidak memerlukan alat-alat atau mantra khusus untuk mengaktifkannya.
Hiro mengangguk setuju. “Itu ide yang gak terlalu buruk,” katanya sambil merencanakan langkah-langkah mereka dengan hati-hati. “Kalau begitu kita harus lebih hati-hati lagi saat sampai di luar.”
Aletheia mencoba berpikir lebih dalam lagi. Dirinya terus menggali-gali lagi ingatannya dia selama ini saat bermain game. Sampai dia melihat sebuah harapan. Dia mengingat, bahwa di salah satu karakter yang dia mainkan, ada yang memiliki kemampuan tubuh tembus pandang. Aletheia sempat sedikit ragu, tapi dia akan mencobanya terlebih dahulu.
“Bagaimana dengan sihir tembus pandang atau tak terlihat?” saran Aletheia.
“Tapi... memangnya kamu bisa melakukannya?” Hiro sempat meragukan saran Alethei. “Itu sudah termasuk salah satu sihir tingkat atas, loh? Harus butuh Energi Kehidupan yang banyak buat jangka panjang, terus harus menggunakan lingkaran sihir dan mantra yang cukup rumit.”
“Emm... entahlah... lebih baik kita coba dulu.”
“Tapi gimana?? Kamu tidak membawa buku sihir kamu. Semua barang kita tersita semua.”
“Sudah, diam saja. Aku akan mencobanya.”
Aletheia sejenak memejamkan matanya, membiarkan dunia di sekelilingnya memudar, mengalihkan fokusnya ke dalam kedalaman lautan imajinasinya yang tak terbatas. Dalam hening yang menyelimuti, dia membayangkan kemampuan luar biasa—sebuah kekuatan untuk terbang, melayang bebas di angkasa dengan bentuk tubuh fisik yang transparan, tidak terlihat oleh mata manusia.
Semakin dalam dia menyelam dalam imajinasinya, semakin kuat aliran energi yang meresap ke dalam dirinya. Kekuatan itu seakan menggetarkan setiap sel dalam tubuhnya, seperti di aliri sebuah energi yang sangat luar biasa. Dalam bayangannya, ia juga menggambarkan Hiro yang berada di sampingnya, merasakan kekuatan yang sama mengalir, seolah mereka terhubung satu sama lain.
Dia terus-menerus berusaha menarik bayangan tersebut menjadi kenyataan. Gambar-gambar tentang kebebasan dan kekuatan semakin hidup dan asli, membangkitkan semangat yang terpendam dalam dirinya. Dalam dunia yang diciptakannya, tidak ada batasan, tidak ada rasa takut—hanya ada keinginan untuk terbang dan meraih segalanya. Dia bisa merasakan sekolah ada sayap yang membentuk, membentang lebar, dan mengangkat mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream World
خيال (فانتازيا)Kalopsia Ken Aletheia tak pernah menyangka hidupnya yang biasa bisa berubah menjadi misteri yang menjangkau dua dunia. Sebagai seorang pemuda yang yatim piatu, ia terlempar ke dalam dunia mimpi-tempat di mana kenyataan terdistorsi, dan rahasia terse...