07. Life Goes On

49 9 2
                                    

Beberapa tahun berselang, dan beberapa tahun belakangan ini juga Sunghoon tengah sibuk berkuliah pun harus sembari merintis usahanya, setahun yang lalu ia telah lulus dan mendapatkan gelarnya di bidang sipil tepat waktu. Untuk urusan sang nenek, ayah dan ibunya sempat memaki Jiwoo melalui telfon karena sudah melempar Sunghoon dengan gelas secara sengaja.

Ayahnya, Park Chanyeol, sangat marah dan membawa sang ibu, Roséanne Park, untuk tetap menetap di Busan dan sudah beberapa tahun mereka tak pulang ke Seoul. Hanya Sunghoon yang sering kali bolak-balik dari Seoul ke Busan untuk menemui keluarganya.

Namun, kedua orang tuanya beserta sang adik sering kali berlibur ke luar negeri atau sekitar Korea. Sunghoon memiliki seorang adik laki-laki bernama Ni-ki, saat ini umurnya menginjak lima belas tahun, terpaut jarak delapan tahun dengan Sunghoon.

"Kau lihat." Heeseung melemparkan setumpuk berkas di meja Sunghoon.

"Apa ini?" tanya Sunghoon penasaran.

Heeseung mendengus. "Tentu saja berkas dari berbagai perusahaan untuk bekerja sama."

Lee Heeseung, pria kelahiran Namyangju itu merupakan sekretaris Sunghoon sejak enam tahun lalu. Sudah lama bukan? Sunghoon merintis usaha yang di berikan oleh direktur Kim sejak ia berusia delapan belas tahun, dan saat itu juga ia merekrut sahabatnya tersebut sebagai sekretaris di tengah kesibukanya sebagai mahasiswa di Global Cyber University.

Jay ikut andil di balik perusahaan yang Sunghoon pimpin, berkat pelajaran yang di berikan oleh pria berdarah campuran Amerika itu, perusahaan Sunghoon bisa terus menanjak setiap tahunnya. Itu semua tak jauh dari bantuan kedua sahabatnya dan dirinya sendiri. Sunghoon ada di titik ini tidaklah mudah, ia harus membuka berbagai platform iklan dengan budget yang fantastis untuk mencari klien.

Rugi ratusan, bahkan hingga miliaran itu sudah biasa untuk Sunghoon dalam enam tahun belakangan ini. Mentalnya sudah terlatih untuk hal-hal menyakitkan seperti itu, dia bisa merasakan hasil kerja kerasnya baru dua tahun belakangan ini. Banyak karyawan yang harus di bayar membuat Sunghoon merelakan bagiannya sekali pun untuk membayar mereka, karena itu merupakan tanggung jawabnya sebagai pemimpin.

"Urus saja, aku sedang tidak mood."

Heeseung menghela nafas pasrah, Sunghoon jika sudah tidak mood memang sulit untuk di ajak bekerja sama. Apakah Heeseung juga harus mendirikan perusahannya sendiri agar bisa bekerja sesuai mood-nya? Sepertinya itu ide yang bagus.

"Apa kau sudah menemui nenekmu?" tanya Heeseung sembari mendaratkan pantatnya pada sofa mahal yang berada di pojok ruangan.

Sunghoon yang sedang memejamkan matanya hanya menggeleng. "Biarkan saja, seluruh orang yang berada di dekatnya selalu di hancurkan olehnya."

"Bagaimana dengan keluargamu yang lain?" Heeseung mengambil sebatang rokok, ia kemudian memantik api untuk membakar batangan nikotin tersebut.

Sunghoon beranjak dari kursinya, ia ikut duduk di sebelah Heeseung dan Heeseung dengan peka memberikan sekotak rokok dan korek api. Kepulan asap tampak menyatu dengan udara di sudut ruangan, keduanyanya membiarkan keheningan mengisi sejenak di antara mereka.

"Belum, walaupun berada di kota yang sama, aku memilih untuk menyewa apartemen setelah kejadian itu."

"Kau bodoh, kenapa kau harus keluar dari rumah itu? Rumah itu di beli oleh ayah dan ibumu dari kerja keras mereka," ucap Heeseung.

Sunghoon mengidikan bahunya acuh. "Suatu hari tetap akan ku ambil, itu hak keluargaku. Hanya saja, untuk sekarang aku ingin damai dahulu. Biarkan saja mereka berbahagia terlebih dahulu."

"Jadi, kau ingin membawa mereka terbang tinggi lalu kau jatuhkan ke bumi?" sindir Heeseung dengan senyum sinis. "Keluargamu itu bagaikan burung gagak yang bersarang di pohon rapuh, mematuk remah-remah kebahagiaan dari dahan yang retak, tak peduli bahwa akarnya tenggelam dalam lumpur penderitaan orang lain. Mereka menari di atas panggung kerapuhan orang lain, bersorak sorai seolah dunia milik mereka sendiri, sementara bayang-bayang kesedihan orang lain menjadi lantai yang mereka injak tanpa rasa peduli. Seperti tamu tak diundang yang berpesta di rumah yang runtuh, mereka meminum kebahagiaan dari gelas yang penuh air mata, buta terhadap retak yang perlahan menghancurkan fondasi di bawah kaki mereka sendiri."

Behind Every ScarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang