07 | Keheningan Yang Menggetarkan

165 118 42
                                    

Setelah mengetahui rahasia yang disimpan oleh Barra, Shafira merasakan pergolakan dalam dirinya. Ketertarikan yang selama ini ia coba redam kini semakin membingungkannya. Dia tahu bahwa Barra bukanlah pria biasa—dia adalah anak dari direktur utama PT. Pandawa Nusantara Pacific. Fakta itu membuat Shafira merasa bahwa dia harus menjaga jarak, harus menahan diri agar perasaan yang mulai tumbuh tidak berubah menjadi sesuatu yang lebih dalam. Shafira tidak ingin memberikan harapan kepada Barra, atau bahkan kepada dirinya sendiri.

Syukurlah, rotasi selanjutnya memberikan Shafira alasan untuk menjauh sejenak dari Barra. Dalam satu bulan ke depan, ia akan menjadi mentor bagi trainee dari divisi keuangan, yaitu Rayya dan Febriana. Pekerjaan baru ini menjadi pelarian bagi Shafira dari gejolak perasaannya sendiri.

Hari itu adalah hari Senin yang mendung. Awan tebal menggantung di langit, mencerminkan suasana hati Shafira yang masih dibayangi oleh kebingungan. Shafira menemani Rayya dan Febriana untuk menghadiri rapat bulanan divisi HSE. Rapat ini dihadiri oleh direktur HSE dan beberapa eksekutif lainnya. Shafira tetap berusaha fokus dan mencatat hal-hal penting yang bisa membantu dalam evaluasi dan penilaian Rayya serta Febriana.

Rapat berlangsung cukup lama, dan Shafira merasa lega saat akhirnya selesai. Ketiganya kemudian berjalan beriringan menuju lift untuk kembali ke ruangan mereka. Saat mereka menunggu lift, tiba-tiba terdengar suara pria dari belakang.

"Rayya!"

Shafira dan Febriana menoleh, mencoba mencari tahu siapa yang memanggil. Namun, Rayya tetap diam, matanya terpaku pada tombol lift seolah mencoba menghindari sesuatu.

Laki-laki yang memanggil Rayya ternyata adalah Bram, yang Shafira kenali sebagai salah satu eksekutif di perusahaan serta sepupu Barra. Shafira terkejut melihat kedekatan antara Bram dan Rayya, sementara Rayya tampak ingin menghindar.

"Rayya, please. Kita perlu bicara," ucap Bram sambil menggapai jemari Rayya.

"Mbak Shaf, Feb, kalian duluan aja, ya. Nanti aku menyusul," ujar Rayya singkat sebelum berjalan mendahului Bram. Bram tersenyum singkat ke arah Shafira dan Febriana, kemudian segera menyusul Rayya.

Dalam lift, Shafira dan Febriana saling berpandangan, bingung dan penasaran. Ada sesuatu yang jelas terjadi antara Rayya dan Bram, tetapi mereka hanya bisa menduga-duga.

***

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore ketika Shafira duduk di dalam kereta menuju kontrakannya. Namun, tiba-tiba dia teringat bahwa ada laporan penting yang harus dikirimkan ke Pak Maherza hari itu juga, dan laptop kerjanya tertinggal di kantor. Dengan sedikit panik, Shafira segera turun dari kereta dan kembali menuju kantor.

Sesampainya di lantai empat, Shafira memperhatikan bahwa lampu ruangan masih menyala. "Mungkin ada yang lembur," pikirnya. Tanpa berpikir panjang, Shafira langsung masuk ke ruangannya dan membuka laptop. Dia memeriksa ulang laporannya dengan hati-hati. Setelah memastikan semua sudah lengkap, Shafira mengirimkan laporan tersebut melalui surel kepada Pak Maherza.

Saat akan meninggalkan ruangan, Shafira melihat dua sosok memasuki ruang meeting di ujung koridor. Shafira spontan berjongkok, merasa tidak enak mengganggu dua orang tersebut meskipun dia tidak sempat melihat wajah mereka. Namun, suara mereka terdengar jelas karena pintu ruang meeting tidak tertutup rapat.

"I'm a bad person. Aku sudah membatalkan pertunanganku dengan Bram," suara itu jelas milik Rayya. "Aku langsung pergi meninggalkannya tanpa penjelasan apapun."

Shafira menahan napas. Dia tidak menyangka akan mendengar percakapan pribadi seperti ini. Kemudian, dia mendengar suara lain, suara yang sangat familiar—Barra.

"Dia berhak tahu, Ray."

Tubuh Shafira tanpa sadar bergerak untuk mengintip. Di dalam ruangan, ia melihat Rayya dalam pelukan Barra. Hatinya mencelos melihat pemandangan itu.

TWENTY-FIVE VS THIRTY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang