13 | Curahan Hati

158 87 49
                                    

Meski Barra dan Shafira telah memutuskan untuk menerima perasaan mereka masing-masing, keduanya tetap menjaga profesionalitas saat berada di tempat kerja. Tidak ada yang tampak mencurigakan. Bahkan, rekan-rekan di kantor pun tidak menyadari adanya hubungan istimewa di antara mereka. Barra masih sibuk dengan divisi R&D, sementara Shafira tetap fokus sebagai mentor para trainee di tim lain. Sesekali mereka pulang bersama, namun Shafira bersikeras untuk tidak terlihat bersama Barra di depan kantor. “Aku akan menemuimu di halte saja,” kata Shafira suatu malam ketika mereka hendak pulang.

“Kenapa tidak kita langsung pergi saja dari kantor?” tanya Barra sedikit heran.

Shafira menggeleng pelan. “Aku lebih nyaman begini. Aku tidak ingin orang-orang membicarakan kita,” ujarnya dengan serius.

Barra tersenyum tipis, memahami kekhawatiran Shafira. “Baiklah, kalau itu yang membuatmu tenang,” jawabnya sambil melirik jam tangannya.

Dan seperti malam-malam sebelumnya, mereka berjalan ke halte dengan menjaga jarak. Mereka berusaha menjaga agar hubungan mereka tetap rahasia—setidaknya sampai Shafira merasa siap.

~●●●~

Akhir pekan tiba, dan kali ini Shafira memiliki janji penting. Bersama kedua orang tuanya, ia mengantar Al untuk konsultasi dengan dokter Vera. Al dijadwalkan untuk kontrol pada siang hari, tapi meski mereka tiba di rumah sakit pukul satu, mereka baru mendapatkan giliran terakhir dan baru dipanggil pukul tiga sore. Saat mereka memasuki ruangan, Shafira merasa sedikit gugup.

“Bagaimana perkembangan Al?” tanya dokter Vera dengan ramah sambil mempersilakan mereka duduk.

Shafira tersenyum, sedikit lebih lega dengan keramahan dokter Vera. “Al menunjukkan perkembangan yang sangat baik setelah kami mengenalkannya pada piano. Sejak itu, dia tampak lebih tenang dan fokus. Bahkan, dia sudah bisa membaca meski kami tidak pernah mengajarinya secara langsung.”

Dokter Vera tampak terkesan. "Itu luar biasa! Anak-anak dengan kondisi spektrum autisme sering kali memiliki bakat tersembunyi. Saya juga sudah berdiskusi dengan psikolog yang menangani Al di pusat tumbuh kembang. Kami menduga Al bukan hanya memiliki spektrum autisme, tapi ada kemungkinan dia adalah gifted child, atau anak berbakat. Ini memang fenomena yang cukup umum. Anak berbakat sering kali dibarengi dengan kondisi neurodivergent, seperti autisme, ADHD, atau gangguan sensori lainnya. Namun, untuk memastikan, kami masih perlu melakukan serangkaian tes dan wawancara mendalam sebelum memberikan diagnosa akhir.”

Shafira terdiam, kata-kata dokter Vera seolah mengguncang perasaannya. Tiba-tiba ingatan masa lalunya kembali, ketika mantan suaminya, Adam, beserta keluarganya, membuang dirinya dan Al. Mereka menganggap Al sebagai anak yang tidak sempurna, sebuah beban. Betapa salahnya mereka.

“Shafira, apa kamu baik-baik saja?” tanya dokter Vera dengan lembut ketika menyadari perubahan ekspresi Shafira.

Shafira tersenyum tipis sambil menyeka air matanya yang mulai menetes tanpa ia sadari. “Maaf, dokter. Saya… saya hanya sedikit emosional. Rasanya campur aduk mendengar kabar ini,” lirihnya sambil menunduk.

Dokter Vera mengangguk dengan penuh pengertian. “Tidak perlu meminta maaf, Bu Shafira. Ini adalah proses yang sangat emosional bagi semua orang tua. Saya bisa memahami perasaan Anda.”

“Saya tidak akan pernah memberitahukan hal ini pada Adam atau keluarganya,” ujar Shafira setengah berbisik, suaranya terdengar sedikit getir. “Mereka tidak pernah peduli pada Al, bahkan setelah kami bercerai.”

“Sudah berapa lama mereka tidak menemui Al?” tanya dokter Vera dengan hati-hati.

“Sejak perceraian, Adam tidak pernah mencoba untuk bertemu Al. Dia hanya menjalankan kewajiban hukumnya dengan mengirimkan sebagian dari gajinya setiap bulan, tapi tidak lebih dari itu,” jawab Shafira dengan suara pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

TWENTY-FIVE VS THIRTY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang