12 | Perjalanan yang Baru Dimulai

125 89 41
                                    

Hai guys~
Terima kasih dukungannya untuk Shafira dan Barra ><
Semoga part kali ini nggak ngebosenin yaa

Happy reading 📚

~●●●~

Berkas pengajuan pelatihan Shafira telah diserahkan oleh Pak Maherza ke tim HRD. Hari ini adalah hari penting bagi Shafira, karena ia dijadwalkan untuk mengikuti wawancara dengan beberapa eksekutif terkait proposal pelatihannya. Jantungnya berdebar kencang saat ia melangkah keluar dari lift di lantai 15, lantai yang jarang ia kunjungi karena ruangan di sini biasanya hanya digunakan oleh para eksekutif. Pak Maherza mendampinginya menuju ruang meeting yang megah, dengan dinding berlapis kayu dan lantai berkarpet tebal.

Ketika Shafira melangkah masuk, terlihat tiga orang duduk santai di sofa sambil berbincang. Dua di antaranya berusia sekitar lima puluh tahun, sementara yang ketiga lebih muda, sekitar awal tiga puluhan. Shafira mengenali wajah mereka dengan baik. Sosok tinggi besar yang duduk di tengah adalah Agus Pangestu Adikusuma, CEO PT. Pandawa Nusantara Pacific, yang tak lain adalah ayah dari Barra. Di sampingnya, seorang pria yang tampak lebih tua sedikit, adalah Hanif Tirto Adikusuma, wakil direktur utama dan kakak dari Agus. Dan yang terakhir, pria termuda di antara mereka, adalah Bramantyo Damar Adikusuma, direktur HRD, yang juga merupakan tunangan Rayya.

Agus membuka wawancara dengan nada tenang namun tegas. “Selamat pagi, Shafira. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk datang hari ini. Kami sudah meninjau proposal pelatihan yang diajukan. Bisa ceritakan lebih lanjut motivasi kamu untuk mengikuti pelatihan ini?”

Shafira mengangguk, menatap langsung pada ketiga pria di depannya. “Selamat pagi, Pak Agus, Pak Hanif, Pak Bram. Terima kasih atas kesempatan ini. Motivasi utama saya adalah untuk meningkatkan kompetensi di bidang HSE, terutama dalam penerapan standar keselamatan internasional. Saya ingin membantu perusahaan mencapai standar yang lebih tinggi dalam keselamatan kerja dan lingkungan. Pelatihan ini akan memberi saya kesempatan untuk mempelajari lebih dalam bagaimana standar tersebut diterapkan di berbagai negara. Dengan begitu, saya bisa membawa dampak positif di sini.”

Shafira berusaha menjawab dengan penuh keyakinan, meski dadanya masih berdebar kencang. Hanif, yang duduk di sebelah Agus, kini angkat bicara. Suaranya terdengar tenang namun penuh kewibawaan.

“Kamu sudah berada di divisi HSE selama beberapa tahun, bukan? Apa tantangan terbesar yang kamu hadapi selama ini di lapangan?”

Shafira berpikir sejenak sebelum menjawab. “Ya, Pak. Saya sudah di divisi ini selama lima tahun. Tantangan terbesar adalah memastikan semua pihak mematuhi prosedur keselamatan. Kadang-kadang, pekerja merasa terlalu berpengalaman dan cenderung mengabaikan aturan. Saya sering kali harus menemukan cara baru untuk memastikan bahwa mereka benar-benar memahami pentingnya keselamatan. Pelatihan ini, saya percaya, akan membantu saya menemukan metode yang lebih efektif dalam mempromosikan kepatuhan dan meningkatkan keselamatan kerja.”

Bram yang duduk di ujung meja, mengamati Shafira dengan pandangan tajam namun tidak mengintimidasi, akhirnya membuka mulut. “Pelatihan ini berlangsung selama 18 bulan. Bagaimana kamu akan menyeimbangkan waktu antara pelatihan, pekerjaan, dan tanggung jawab sebagai seorang ibu tunggal?”

Pertanyaan Bram membuat Shafira menegakkan punggung. Ini adalah topik yang sudah ia antisipasi. Dia menarik napas panjang, menyiapkan jawaban dengan hati-hati. “Saya sudah memikirkan hal itu dengan matang, Pak Bram. Sebagai ibu tunggal, saya memang memiliki tanggung jawab besar. Namun, saya sudah menyiapkan dukungan di rumah. Keluarga saya sangat mendukung dan bersedia ke Singapura jika dalam keadaan darurat. Saya juga sudah berbicara dengan atasan langsung mengenai kemungkinan penyesuaian jadwal agar saya bisa tetap produktif. Saya yakin, dengan manajemen waktu yang baik, saya bisa menjalani keduanya.”

TWENTY-FIVE VS THIRTY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang