08 | Keberanian Rayya

168 114 40
                                    

Author's corner

New achievement! Big thanks untuk kalian semua yang mau meluangkan waktu baca, vote, dan comment. Mohon dukungannya dan bimbingannya yaa~



Oiyaa, kemungkinan part 8 dan 9 full aku dedikasikan untuk kisahnya Rayya dan Bram. Selamat menikmati dan semoga suka~^^

~○○○~

Rayya & Bram POV

Setelah berpikir panjang dan mempertimbangkan segala kemungkinan, Rayya akhirnya memutuskan untuk jujur pada Bram. Tidak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Shafira benar, Bram berhak mendapatkan penjelasan, meski keputusan ini terasa begitu berat.

Cuaca hari ini sangat cerah, langit biru tanpa awan, seakan-akan alam sedang merayakan sesuatu. Namun, suasana hati Rayya justru sebaliknya. Gundah, cemas, dan ketidakpastian menghantui pikirannya sejak pagi. Waktu terasa berjalan begitu cepat, seperti pasir yang meluncur dari sela-sela jari, membuatnya semakin gugup.

Seperti biasa, setelah pekerjaannya dan Febriana selesai, Shafira melakukan pengecekan dan mengirimkannya ke kepala bagian keuangan. Mereka lalu merapikan barang bawaan untuk bersiap pulang.

Rayya, yang melihat Shafira sudah siap untuk pergi, segera memanggilnya. "Mbak Shaf, apa aku boleh minta waktu sebentar?" tanyanya dengan nada yang sedikit tegang.

Shafira menoleh, sedikit terkejut dengan permintaan Rayya. "Ada apa, Ray?"

Rayya melirik ke arah Febriana yang masih bersama mereka. Dia sengaja tidak menjelaskan maksudnya karena tahu Febriana ada di sana. Namun, Rayya yakin Shafira pasti mengerti maksudnya. "Mau minta tolong tentang yang waktu itu, Mbak."

"Oh… oke," jawab Shafira singkat, meski merasa sedikit tidak enak dengan Febriana yang mungkin saja merasa terasing. Febriana dan Rayya memang terlihat dekat sejak awal program Management Trainee (MT) mereka.

Febriana, yang mendengar percakapan singkat itu, tampak penasaran. Namun, dia tidak bertanya apa-apa. Mungkin karena sudah lelah setelah seharian bekerja dan mengkhawatirkan Rayya yang terlihat tidak fokus. "Kamu baik-baik saja, Ray?" tanyanya sekali lagi, mencoba menyelami suasana hati temannya.

Rayya hanya mengangguk. "Aku baik-baik saja, itu mungkin hanya perasaanmu," jawabnya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke mata. Namun, Febriana tampaknya menangkap ada sesuatu yang lebih dari sekadar kelelahan biasa. Tapi, dia memutuskan untuk tidak memaksa.

Setelah Febriana pulang tanpa banyak bicara, Rayya segera membereskan barangnya dan berjalan beriringan dengan Shafira menuju lift. Ketika Rayya buru-buru menekan tombol lift ke atas, Shafira menatapnya dengan bingung.

"Ke atas dulu yuk, Mbak. Temani aku menemui Bram. Sepertinya aku perlu supporter," ujar Rayya sambil tersenyum kikuk, mencoba menyembunyikan kegugupannya.

Shafira menatap Rayya dengan penuh perhatian. Dia tidak menyangka bahwa sosok yang biasanya begitu independen dan penuh percaya diri seperti Rayya bisa terlihat begitu murung dan tak berdaya seperti ini. Sejak awal program MT, Rayya memang selalu menjadi bintang di antara peserta lainnya. Setiap kali diberikan tugas presentasi kelompok, tim Rayya selalu memilihnya sebagai presenter, karena kepiawaiannya dalam menyampaikan informasi dengan begitu apik dan mudah dipahami. Melihatnya kini, Shafira tahu bahwa Rayya benar-benar sedang dalam tekanan yang besar.

TWENTY-FIVE VS THIRTY Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang