Tiga bulan berlalu, Bhagavad dan Handaru semakin mengenal satu sama lain.
Semakin dekat juga? Entah, tergantung perspektif. Handaru menganggap jika mereka semakin dekat. Bhagavad masih dengan sifatnya yang tidak berubah.
Sebenarnya ada yang berubah. Bhagavad kini menjadikan Handaru prioritas. Handaru menyadari itu. Dan ia masih dibuat berada di abu-abu oleh tingkah Bhagavad.
"Udah?" tanya Bhagavad begitu Handaru memasuki mobil. "Gimana kelas hari ini?"
"Ya gitu aja sih. Aku nambah pandangan baru sebelum menjadi istri. Ternyata menjalankan pernikahan sesusah itu."
Bhagavad terkekeh dan mengusak puncak kepala Handaru. "Berarti kita tinggal cari tanggal untuk nikah, ya."
Handaru mengangguk. "Kamu juga kan udah dikejar untuk segera berangkat ke Kanada, kan?"
"Iya," jawab Bhagavad yang mulai menjalankan mobil. "Mau makan dulu? Nanti kita ngobrol dulu."
"Boleh," jawab Handaru. "Aku mau Chinese food deh. Kamu ada makanan khusus yang mau dimakan gak hari ini?"
"Kita makan di Toko Sebelah aja, mau?"
Handaru mengerang semangat. "Mau! Mulut aku langsung merasakan dimsumnya."
"Oke, oke." Bhagavad terkekeh.
Selama perjalanan, Handaru menceritakan kelas terakhir pra-nikah yang diikutinya. Bhagavad sesekali menanggapi. Handaru menceritakan kelas hari ini dengan semangat. Bhagavad juga ada beberapa kali menimpali dengan kelas pra-nikah yang diikutinya.
Bhagavad dan Handaru kini sudah sampai di restoran. Keduanya sudah duduk saling berhadapan dan memesan makanan. Hanya perlu menunggu makanan jadi saja.
"Nanti saya pergi duluan ke Kanada, gak apa-apa, ya? Paling cepet, bulan depan saya harus udah berangkat."
"Gak apa-apa. Aku juga masih banyak banget yang harus diurusin. Aku harus nyelesaiin penelitian dulu baru bisa berangkat dan urusin S2."
"Udah tinggal bikin penulisan akhir, kan?"
Handaru mengangguk. "Makanya aku kecapean banget belakangan ini. Ikut kelas pra-nikah, iya, tes kesehatan, iya, ngerjain penelitian, iya, jadi ahli juga, iya. Hah, ... , capek. Tapi seru."
"Kira-kira, kamu punya waktu luangnya kapan? Paling penting sah dulu di mata agama dan negara. Perayaan bisa kapan-kapan. Toh pernikahan kita gak perlu dirayain, kan?"
Baru saja Handaru merasa senang dengan percakapan bersama Bhagavad. Seketika itu juga disakiti oleh lelaki itu.
"Emang sih, kita nikah gak dilandasin perasaan cinta. Tapi, emangnya gak sepenting itu, ya, Mas?"
Bhagavad menghela napas pelan. "Saya harus buru-buru ke Kanada. Kalau harus ngurusin perayaan juga, kapan saya ke Kanadanya?"
Handaru memaksakan senyumnya. "Maaf karena gak ngertiin kamu. Mending sekarang kita makan. Itu kayanya makanan kita udah jadi deh."
.
.
.Baru seminggu menikah dengan Bhagavad, Handaru sudah ditinggal lelaki itu untuk dinas ke Kanada.
Perlu waktu setidaknya satu bulan untuk mendaftarkan pernikahan mereka. Setelah menikah itu, tidak ada hal spesial. Bhagavad setuju untuk tinggal di rumah Handaru karena perempuan itu yang tidak ingin meninggalkan Ajeng sendiri, masih belum siap untuk meninggalkan sang ibu sendiri.
Kini Handaru kembali menjadi dirinya yang dulu, tanpa lelaki di dekatnya. Tentu saja ada kesedihan yang meliputi Handaru. Dan yang menjadi saksi kesedihan Handaru itu adalah Regita dan Naira. Mereka adalah sahabat Handaru, yang selalu baik hati menjadi teman Handaru sejak masa sekolah menengah atas.
"Mas Bhaga cuman chat gua untuk ngabarin dia udah sampe, dan besok mau beberes. Tapi udah sebulan, dia gak ada chat gua lagi. Ih, suami gua edan, sia."
Regita memutar bola matanya malas. "Ya tanggung sendiri karena nikah gak pake cinta. Pake berharap lagi sama si Gaga."
"Sombong banget sih mentang-mentang nikah pake cinta," balas Handaru dengan kesal.
"Lagian lu kenapa bertaruh sama prinsip lu deh? Kan lu mau nikah cuman sekali seumur hidup, harusnya lu cari jodoh yang bener gak sih, daripada berharap sama Gaga jatuh cinta ke lu?" ujar Naira yang ikut menyudutkan Handaru.
"Ya kan siapa tau setelah kenal lama, jadi ada rasa. Gak ada yang tau, seenggaknya usaha."
"Usaha tapi nyakitin diri dan prinsip sendiri tuh apa deh maksudnya." Regita menggelengkan kepalanya heran, tidak mengerti jalan pikir Handaru.
"Ini lagi musim gugur kan, ya. Nah, mumpung lagi beda dua belas jam, coba ajak dia telpon. Pas dia pagi, lu malem."
"Kenapa harus gua yang malem?" tanya Handaru saat mendengar saran Naira.
"Kalau dia yang malem, dia kecapean habis kerja. Nanti yang ada kalian berantem."
"Gua juga bisa kecapean lho," balas Handaru tidak terima.
"Kan yang mau minta kejelasan itu lu, Daru. Lu yang harus ngalah lah," timpal Regita yang menyetujui ide Naira.
Handaru mendengus keras. "Yaudah, nanti gua cari waktu buat hubungin Mas Bhaga."
.
.
.Sebenarnya, saran dari Naira itu belum dilaksanakan oleh Handaru. Gengsinya masih setinggi langit. Padahal rindu kepada Bhagavad sudah memenuhi dadanya.
Hari ini, Handaru mengambil jatah bekerja dari rumahnya. Perempuan itu tidak memiliki begitu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Lagipula sedang menyiapkan segala keperluan untuk melanjutkan pendidikan.
Namun hari ini, entah mengapa, Handaru merasa jika rasa rindunya sudah meledak. Tanpa memeriksa waktu, Handaru mengirim pesan kepada Bhagavad. Biarlah tidak dibalas langsung, yang penting Handaru sudah jujur pada dirinya sendiri.
Setelah mengatakan itu, Handaru mematikan ponselnya. Benar-benar dimatikan, bukan sekedar dikunci.
Kamar Handaru menjadi saksi bahwa perempuan itu menangis hebat. Handaru menangis begitu histeris. Pertama karena perasaan rindu, kedua karena merasa sakit hati akibat perkataan Bhagavad.
"Gini amat sih sayang sama orang. Mama sama Papa pernah ngerasa sakit kaya gini, gak, ya?"
Handaru terus menangis.
"Maaf kalau jadi pengganggu. Maaf karena gak bisa paham kamu. Tapi emangnya harus kaya gitu, ya, ngomongnya?"
Handaru mengusap dadanya yang terasa sangat sakit dan perih. "Mama, kok sakitnya gini banget sih sayang sama orang?"
☝🏻☝🏻☝🏻swipe up☝🏻☝🏻☝🏻
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Talk ✓
FanfictionMenurut kalian, cinta bisa berbicara gak? WARN! Markhyuck GS