33. Still Denials

267 39 19
                                    

Halooooow!

Udah 10 hari lebih aku nggak ngedraft ಥ⁠‿⁠ಥ. Rasanya agak kaku pas ngedraftnyaaa 😔👊

Pencet bintang yang ada di pojok bawah sana yaw!! Yang gak vote nanti pantatnya digigit sama ikan Piranha 😡👊

Enjoy, and happy reading 🕊️























"Apalagi pas liat senyumnya, Rin. Senyumnya tuh kerasa banget tulusnya."—Nathan.


















•••••

Apa rasanya bertengkar dengan sahabat karib kalian? Tentu rasanya tak nyaman bukan? Terlebih rasa canggung yang menghampiri hati tiap kali berpapasan dengan sahabat kalian itu.

Yang pada awalnya selalu bersama bagaikan putih dan kuning telur, kini harus terpisah. Ibaratkan, si kuning dipakai pada adonan roti, sementara si putih dipakai untuk membuat macaron.

Yang semula sedekat nadi, kini harus menjadi Matahari dan Pluto.

Begitupun yang Karin rasakan kini, dirinya yang semula selalu berdua dengan Winda, kini harus kemana-mana sendiri. Rumor dirinya dan Winda bertengkar telah menyebar ke seluruh penjuru sekolah.

Pasalnya, Karin dan Winda dikenal jarang sekali bertengkar. Dan selalu kemana-mana bersama. Dan sekalinya mereka bertengkar, bisa sehebat ini.

Karin yang mulai merasa canggung pada Winda, dan Winda yang memang enggan untuk berbicara dengan Karin.

Gadis kelahiran sebelas April itu menghela napas panjang, ia mengaduk mie ayam miliknya tak minat. Kedua indra penglihatannya menatap ke arah gadis dengan rambut sebahu yang tengah duduk tak jauh dari bangkunya.

Tengah menyantap satu porsi dimsum dengan sebotol air mineral di samping piring itu.

"Winda ngerasa kehilangan gue juga nggak ya?" Hati kecil Karin berucap, apakah gadis yang lebih muda darinya itu kehilangan dirinya?

Karin menunduk, memakan gulungan mie yang ada di garpu miliknya pelan.

Kini giliran Winda yang menatap Karin, di hati kecilnya ia kasihan pada sahabatnya itu. Jujur saja, rasanya aneh sekali jika dia harus terus menghindar dari Karin.

Padahal, awalnya ia dan Karin begitu dekat. Tapi, Karin sudah menghancurkan kepercayaan yang Winda berikan pada gadis itu. Winda juga tak ingin hal ini terjadi, terlebih gadis itu tak lama lagi akan merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas.

Haruskah Winda memaafkan Karin dan kembali seolah ia tak pernah memiliki perasaan apapun pada Nathan?

Winda menghela napas lelah, ia menyuapkan satu buah dimsum itu ke dalam mulutnya. Sebelum selembar uang sepuluh ribu ia letakkan di bawah piring dan segera pergi dari sana.

Tak ingin lagi melihat wajah Karin yang nampak begitu lesu itu.

Gadis kelahiran satu Januari itu memilih membawa kakinya menuju ke perpustakaan, mungkin membaca beberapa buku yang ada di sana dapat membuat pikiran Winda jauh lebih tenang.

Begitu sampai di tempat yang ia tuju, dengan segera para buku yang berjajar rapi di dalam rak buku seolah menyapanya. Membuat senyum manis gadis Januari itu mengembang senang.

HEY, LOOK AT ME! (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang