Episode 1

54 9 2
                                    

GENRE : FANTASI | PETUALANGAN

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------


NAMAKU ARLO, seorang murid SMA kelas sebelas yang berumur enam belas tahun

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

NAMAKU ARLO, seorang murid SMA kelas sebelas yang berumur enam belas tahun. Banyak orang mengatakan bahwa wajahku selalu ceria dan menawan, ditandai dengan senyuman lebar yang tulus. Ketika aku tersenyum, mataku seolah bersinar penuh keceriaan, memancarkan semangat yang selalu ingin kutunjukkan. Memang, aku bertekad untuk menjadi orang yang selalu ceria dan gampang tersenyum.

Rambutku, yang berwarna hitam legam. Aku menyukai gaya rambut yang berantakan; helai-helai rambutku yang bergelombang jatuh dengan lembut, beberapa di antaranya menyentuh dahi. Bagiku, rambut panjang yang tampak acak ini terlihat keren.

Di sekolah, aku hanya seorang murid biasa. Namun, orang-orang sering memanggilku "si sok sibuk." Sejak kelas sepuluh, aku terlibat dalam berbagai ekstrakurikuler, mulai dari anggota futsal, karate, hingga seni musik. Kini, di kelas sebelas, aku dipercaya menjadi wakil ketua OSIS. Semua kegiatan ini bukanlah beban bagiku. Sebaliknya, kegiatan ini menambah semangatku, menjadikan setiap hariku lebih menyenangkan di tengah hidup yang kadang menyebalkan.

Aku memiliki kemampuan yang mudah untuk akrab dengan orang lain, berinteraksi dengan teman-teman baru, para guru, bahkan Brandalan yang ditakuti di sekolah. Tidak jarang, aku mengajak mereka untuk berteman. Anehnya, semakin aktif aku bergaul, semakin banyak energi yang mengalir dalam diriku. Pandanganku selalu sederhana, jika orang menyukai apa pun yang kulakukan, maka aku persilakan mereka untuk berteman denganku. Namun, jika mereka tidak menyukai tindakanku, lebih baik mereka menjauh. Itulah prinsip yang selalu kupegang teguh.

Hari itu, bel istirahat berbunyi dan suasana sekolahku dipenuhi oleh keramaian. Seperti biasa, aku menikmati momen santai ini dengan berkumpul bersama teman-teman. Namun, tiba-tiba teriakan di lapangan menarik perhatian kami. Suara ramai membahana, dan rasa ingin tahuku bertambah seiring langkahku menuju kerumunan yang mengelilingi dua sosok.

Saat aku menjangkau tempat itu, aku terkejut melihat temanku, Rian dan Dika, terlibat dalam perkelahian. Rian berdiri dengan wajah merah membara, seolah seluruh amarahnya terakumulasi menjadi satu. Dika di sisi lain tampak terpukul, matanya menunjukkan kebingungan yang dalam. Aku langsung merasakan rasa cemas menyelimuti hatiku.

"Hey, kenapa kalian berdua berkelahi?" Suaraku menggema di antara suara gaduh. Aku harus meredakan situasi ini secepat mungkin.

Semua mata tertuju padaku. Kerumunan terdiam, memberi ruang untukku mendekati mereka. Perlahan, aku menaruh tangan di bahu Rian, mencoba menenangkan emosinya. "Rian, kita bisa selesaikan ini dengan cara yang lebih baik, kan? Apa yang sebenarnya terjadi?"

Dia menggigit bibirnya, masih marah. "Dika bilang dia nggak percaya sama aku ! Dia pikir aku nggak becus di tim futsal!"

Dika langsung membela diri, "Bukan begitu bro! Aku kecewa karena kita kalah kemarin dan aku Cuma mau ngomongin strategi kita! Ini semua Cuma salah paham! Lagian, kamu main jelek banget kemarin, Rian. Aku Cuma mau kita lebih baik ke depannya".

Memang benar, kemarin tim futsal kami kalah dalam kompetisi antar sekolah, sebagai ketua tim, Dika merasa bertanggung jawab penuh atas kekalahan itu. Dia ingin memberikan evaluasi atas permainan Rian, yang memang kurang maksimal. Namun, Rian tidak bisa menerima kritik itu, dan itulah yang memicu ketegangan di antara mereka.

Seolah terbangun dari amarah yang menyelimuti mereka, aku menarik napas panjang. "Dengar, kita semua pernah ngalamin masa-masa sulit. Berantem nggak bakal nyelesain apa-apa. Gimana kalau kita duduk dan ngobrolin ini dengan kepala dingin?" Suasana di sekitar kami langsung hening, seolah menunggu jawaban dari kedua sahabatku. Aku berharap kata-kataku bisa meredakan ketegangan mereka.

Mereka mengangguk setuju, dan aku bisa melihat kemarahan di wajah mereka perlahan memudar, meskipun masih ada ketidakpastian di mata mereka. Dengan cukup banyak orang yang mengikuti kami dari belakang, aku memutuskan untuk membawa mereka ke sudut lapangan yang lebih tenang. Beberapa teman sekelas lainnya mungkin merasa penasaran, ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Di sudut lapangan yang sepi, kami duduk bersama. Aku berharap suasana yang lebih tenang ini bisa membantu kami menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. "Oke, sekarang kita bisa bicara baik-baik," kataku, mencoba memulai percakapan dengan nada yang lebih damai.

Setelah kami berada di tempat yang lebih nyaman, aku mengajak mereka untuk mulai berbicara. Aku berusaha menyampaikan betapa pentingnya persahabatan dan komunikasi. "Kalian berdua adalah sahabat terbaik yang aku punya. Kita nggak boleh membiarkan kesalahpahaman ini merusak hubungan kita, apalagi dalam tim yang kita bangun bersama."

Aku menatap mereka dengan penuh harap, berharap kata-kataku bisa menyentuh hati mereka. "Kita semua punya tujuan yang sama, yaitu membuat tim kita lebih baik. Jadi, mari kita selesaikan ini dengan kepala dingin dan hati yang terbuka," lanjutku.

Seiring diskusi berlangsung, Rian dan Dika akhirnya mulai merasa lebih tenang. Mereka mulai berbagi pikiran dan perasaan satu sama lain. Aku bisa melihat momen ketika mereka menyadari betapa bodohnya mereka berkelahi untuk hal yang sepele. Perlahan, senyum kembali menghiasi wajah mereka.

"Aku minta maaf, Dika," kata Rian dengan suara yang lebih lembut. "Aku juga, Rian," balas Dika, matanya menunjukkan ketulusan. Mereka saling memaafkan dan bersatu kembali, berjanji untuk lebih terbuka dan saling mendukung.

"Terima kasih, Arlo!" seru Rian sambil tersenyum lebar, matanya kembali berbinar. Dika juga mengangguk setuju, senyumnya tulus. Semua orang di sekitar kami mulai kembali ke kelas, suasana hati mereka lebih ringan dari sebelumnya.

Akumelihat ke arah mereka berdua, merasa lega dan bangga. Pertemanan kami telahmelewati ujian ini, dan aku tahu, dengan komunikasi yang lebih baik, kami akanmenjadi tim yang lebih kuat. Hari itu, aku belajar bahwa kadang-kadang, sedikitkesabaran dan pengertian bisa menyelesaikan masalah yang tampaknya besar.

-Knight in the fungus world-

|JANGAN LUPA VOTE DAN KOMEN|

MOHON UNTUK MEMBERIKAN KRITIK DAN SARAN TERHADAP TULISAN SAYA.

Knights in the fungus worldTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang