2

127 26 2
                                    

Pagi itu, matahari terbit dengan malu-malu, menyelinap di antara celah-celah tirai jendela kamar Aldrian. Cahaya lembutnya membelai wajah Aldrian yang masih terlelap di atas kasur. Suasana pagi yang tenang dan damai terasa kontras dengan kegelisahan yang menyelimutinya sepanjang malam.

Ia terbangun beberapa kali, merasa seolah-olah ada yang mengawasi setiap gerakannya dari balik dinding. Suara pelan yang terdengar seperti bisikan beberapa kali hadir, meskipun begitu samar, hampir tidak bisa dipastikan apakah itu nyata atau hanya sekedar ilusi.

Saat Aldrian akhirnya terbangun, ia merasakan kelelahan yang tidak biasa. Pandangannya menyapu sekeliling kamar, mengamati dinding-dinding yang tampak biasa saja. Namun, dalam hati, ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres. Bisikan dari dinding itu, meskipun terdengar samar, tetap terasa nyata dan menghantuinya. Meskipun ia berusaha untuk menganggap itu hanya imajinasinya, ada sesuatu yang mengganggunya seolah-olah suara itu menyimpan sebuah pesan yang belum tersampaikan.

Aldrian beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju jendela. Saat ia membuka tirai, sinar matahari langsung menyilaukan matanya. Ia terdiam sejenak, menghirup udara pagi yang segar, mencoba menenangkan diri. Namun, pikirannya terus saja kembali ke suara misterius yang didengarnya malam itu.

Ia menggelengkan kepalanya berusaha untuk tetap positif. Setelah beberapa saat, Aldrian memutuskan untuk mengalihkan perhatiannya dengan sarapan. Ia menuju dapur, membuka kulkas yang masih kosong, dan hanya menemukan sebotol air mineral yang ia bawa dari tempat tinggalnya sebelumnya. Ia menuangkan air itu ke dalam gelas dan meminumnya perlahan, merasakan dinginnya menyegarkan tenggorokannya.

Sambil menikmati sarapannya yang sederhana, Aldrian mencoba untuk berpikir logis. Rumah ini memang sudah tua, dan mungkin suara yang ia dengar hanyalah hasil dari usia bangunan yang sudah lama tidak dihuni. Dinding yang retak, kayu yang berderak, atau bahkan angin yang berhembus melalui celah-celah bisa saja menghasilkan suara-suara aneh di malam hari.

Setelah selesai sarapan, Aldrian memutuskan untuk mengeksplorasi rumah itu lebih lanjut. Ia memulai dengan ruang tamu, menyusuri dinding-dindingnya dengan teliti. Dinding-dinding itu tampak biasa saja, dengan lapisan cat yang sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. Namun, tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan sesuatu yang aneh atau mencurigakan.

Aldrian kemudian beralih ke dapur, memeriksa lemari-lemari dan rak-rak yang berderit saat dibuka. Ia memeriksa setiap sudut, tapi lagi-lagi tidak menemukan apa pun yang aneh. Perasaannya bercampur antara kecewa dan lega—kecewa karena tidak menemukan penjelasan tentang bisikan dikamarnya, namun juga lega karena mungkin memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Aldrian kini memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan membersihkan rumah. Ia mengambil sapu dan mulai menyapu lantai kayu yang sudah berdebu. Saat Aldrian memasuki kamar tidur utama, perasaannya berubah. Ada sesuatu tentang ruangan ini yang membuatnya merasa tidak nyaman. Ia berhenti sejenak, berdiri di tengah ruangan, dan mendengarkan dengan seksama.

Keheningan yang mendalam menyelimuti kamar itu, hanya suara napasnya sendiri yang terdengar. Namun, di tengah-tengah keheningan itu, bisikan halus itu muncul lagi begitu pelan, samar, tetapi jelas terdengar. Suara itu berasal dari dinding di sebelah tempat tidurnya, dan kali ini, Aldrian yakin bahwa ia tidak sedang berhalusinasi.

Dengan jantung yang berdegup kencang, Aldrian mendekati dinding tempat suara itu berasal. Ia menempelkan telinganya pada permukaan dinding yang dingin, mencoba mendengarkan lebih jelas. Suara bisikan itu tidak terdengar. Ia menghela napas dan tersenyum kecil pada dirinya sendiri, merasa sedikit konyol.

Namun, saat ia hendak menjauh, suara itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas, lebih nyata seperti seseorang sedang berbicara dengan suara yang sangat pelan. Aldrian mundur dengan kaget, jantungnya berdebar kencang. Ia memandangi dinding itu dengan bingung, tidak yakin apa yang sebenarnya sedang terjadi.

"Siapa di sana?" Tanyanya, meskipun tahu bahwa tidak mungkin ada yang menjawab.

Suara itu berhenti seketika, meninggalkan keheningan yang semakin menegangkan. Aldrian merasa cemas, tapi juga semakin penasaran. Aldrian kemudian mengambil langkah yang lebih drastis. Ia memutuskan untuk mengetuk dinding tersebut, berharap mendapatkan respons. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia mengetuk tiga kali pada dinding itu, dan menunggu.

Tidak ada jawaban.

Aldrian menunggu beberapa detik, kemudian mengetuk lagi, kali ini dengan sedikit lebih keras.

Keheningan masih menyelimuti ruangan itu.

Aldrian mulai merasa frustasi. Bisikan itu tadi jelas terdengar, dan sekarang, saat ia mencoba untuk berkomunikasi, suara itu menghilang begitu saja.

Dengan perasaan yang campur aduk, Aldrian memutuskan untuk mencari alat-alat untuk memeriksa lebih lanjut. Ia mencari palu dan pahat yang mungkin ada di ruang bawah tanah, dengan niat untuk membuka dinding dan melihat apa yang sebenarnya tersembunyi di baliknya. Meskipun ia tahu ini mungkin terdengar gila, rasa penasaran dan ketakutan yang tak terjelaskan membuatnya tidak bisa berpikir jernih.

Saat ia kembali ke kamar dengan alat-alat di tangannya, ia berdiri sejenak, dengan rasa cemas sekaligus penasaran yang semakin besar. Aldrian mulai mengikis permukaan dinding dengan hati-hati. Plester yang sudah tua dan rapuh mulai terkikis, menampakkan sesuatu yang tersembunyi di baliknya.

Setelah beberapa saat, Aldrian menemukan sebuah celah kecil di balik dinding itu. Ia memasukkan tangannya ke dalam celah tersebut dan meraba-raba. Tiba-tiba, tangannya menyentuh sesuatu yang keras dan dingin. Sebuah benda yang tampaknya tertinggal di dalam ruang sempit itu.

Dengan hati-hati, ia menarik benda tersebut keluar dari celah. Ternyata, benda itu adalah sebuah buku tua, dengan sampul kulit yang sudah pudar dan rusak.

"Kenapa ada diari disini?" Aldrian memandanginya dengan takjub, tidak percaya bahwa ia telah menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik dinding rumah ini.

Aldrian membuka halaman pertama, menemukan tulisan tangan yang sudah pudar namun masih bisa terbaca. Nama yang tertulis di halaman depan membuatnya tersentak—"Kana."

Aldrian terdiam sejenak, mencerna apa yang baru saja ia temukan. Diari ini mungkin milik seseorang yang dulu tinggal di rumah ini, seseorang bernama Kana. Rasa penasaran dan antusiasme semakin menguasai dirinya.

Dengan hati-hati, Aldrian membuka halaman selanjutnya, mulai membaca cerita yang tersembunyi di dalam diari itu.




••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Diary's Whisper [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang