Aldrian kembali tenggelam dalam dunia mimpi yang baginya semakin terasa nyata. Saat kelopak matanya perlahan menutup, ia merasakan kelembutan angin yang selalu menyambutnya setiap kali ia tiba di sana-dunia tempat Kana menantinya. Dunia di mana segalanya terasa damai, meski masih di kelilingi misteri yang aneh.
Ia berdiri di ruang tamu rumah Kana, yang dipenuhi oleh cahaya redup lilin-lilin kecil di setiap sudut. Di tengah ruangan, sebuah piringan hitam berputar di atas gramofon tua, melantunkan musik lembut yang meresap ke dalam hatinya. Kana sedang duduk di sofa, memandang Aldrian dengan senyuman yang mampu menghilangkan semua kecemasan di hatinya lagi.
"Aldrian sini," ujar Kana dengan suara lembut, melambai ke arahnya.
Aldrian tersenyum dan berjalan mendekat. Meski banyak hal yang masih membingungkannya-tentang keterhubungan dimensi, diari misterius, dan realitas dunia ini-di momen ini, hanya Kana yang ada di pikirannya. Semua kebingungannya terasa menguap ketika ia kembali bersama Kana.
"Malam ini kita tidak perlu memikirkan apa pun," ujar Aldrian pelan, mengambil tempat di samping Kana. "Hanya menikmati waktu bersama."
Kana tersenyum lembut dan mengangguk. "Aku setuju. Mari kita lupakan semuanya lagi untuk sementara waktu."
Aldrian menatap dalam ke mata Kana, lalu berdiri, mengulurkan tangan ke arahnya. "Mau berdansa denganku?"
Tanpa kata-kata, Kana menerima uluran tangannya. Mereka berdiri bersama di tengah ruangan, dikelilingi oleh nyala lilin yang bergetar seiring dengan alunan musik dari piringan hitam. Irama musik yang klasik dan tenang mengalun, mengisi ruangan dengan kehangatan.
Aldrian melingkarkan tangannya di pinggang Kana, sementara Kana meletakkan kedua tangannya di bahu Aldrian. Keduanya bergerak perlahan, mengikuti irama musik yang memabukkan. Tak ada langkah yang tergesa, hanya tarian yang penuh kelembutan. Setiap gerakan mereka seolah-olah telah diatur oleh perasaan mereka yang semakin terhubung, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional.
"Kana," Aldrian berbisik di telinga gadis itu, "Aku tidak tahu bagaimana dunia ini bekerja. Aku tidak tahu mengapa kita bisa bertemu di sini atau bagaimana semua ini bisa terjadi. Tapi... di sini bersamamu, rasanya semua pertanyaan itu tidak lagi penting."
Kana memejamkan matanya, membiarkan dirinya tenggelam dalam dekapan Aldrian. "Aku merasakan hal yang sama. Setiap kali kita bersama, aku ingin dunia ini menjadi tempat di mana kita bisa tinggal selamanya. Tanpa perlu kembali ke dunia nyata."
Mereka terus berputar dalam pelukan satu sama lain, perlahan-lahan mengikuti irama musik yang semakin lembut. Dunia di sekitar mereka, yang misterius dan penuh teka-teki, sekarang hanya latar belakang dari kisah cinta mereka. Aldrian merasakan hati Kana berdebar-debar di dadanya, sama seperti yang ia rasakan.
"Aku tidak peduli meski ini hanya mimpi," Aldrian menghela napas, suaranya dipenuhi oleh ketenangan yang baru ia temukan. "Aku hanya berharap, tidak harus bangun dan kembali ke dunia yang penuh masalah."
Kana menatap Aldrian, pandangannya lembut namun tajam. "Kamu tidak boleh berkata seperti itu, kamu juga punya kehidupan di luar sana."
Aldrian menatapnya dalam-dalam, sedikit tertegun mendengar perkataan Kana. Akan tetapi, di balik senyum Kana, ia melihat sesuatu yang lain. Sebuah keheningan yang dalam, Kana sendiri sebenarnya memikirkan hal yang sama.
Mereka terus berdansa, dan meski rasa stres serta kebingungan masih berputar di pikiran Aldrian, malam itu hanya tentang mereka. Tidak ada misteri yang harus dipecahkan, tidak ada pertanyaan yang harus dijawab. Hanya Aldrian, Kana, dan musik yang mengalun lembut, seolah-olah dunia itu memang hanya milik mereka.
Saat musik mencapai nada akhir, Kana mendekatkan wajahnya ke wajah Aldrian, dan mereka berhenti menari. "Terima kasih," bisik Kana, "karena selalu ada untukku."
Aldrian tersenyum, merasakan kelembutan dari bibir Kana yang kemudian menyentuh pipinya. Keduanya tak bergerak, hanya menikmati kehangatan tubuh masing-masing. Aldrian memejamkan matanya, merasakan jantung Kana yang berdegup pelan namun mantap di dadanya.
"Kau tahu," bisik Aldrian dengan suara lembut, "Aku benar-benar bisa berada di sini selamanya. Di sini, bersamamu."
Kana tersenyum kecil, menarik wajahnya sedikit menjauh untuk melihat mata Aldrian. "Kalau begitu, mungkin kita harus benar-benar mencari cara agar bisa terus bersama, di sini, atau di mana pun."
Aldrian tertawa pelan, lalu menunduk, menyentuh keningnya pada kening Kana. "Kau benar-benar manis. Aku beruntung bisa memilikimu."
Kana mengangkat tangannya, mengusap pipi Aldrian dengan jari-jarinya yang halus. Sentuhannya terasa begitu nyata, begitu lembut, seperti embusan angin di pagi hari. "Aldrian, mungkin kita hanya punya mimpi ini, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku selalu ada untukmu. Di setiap mimpi, di setiap malam."
Aldrian memegang tangan Kana yang masih berada di pipinya, lalu mengecupnya perlahan. "Setiap detik bersamamu adalah yang paling nyata yang pernah kurasakan."
Kana tertawa kecil, lalu menggigit bibirnya sebelum menyandarkan kepalanya di dada Aldrian. "Setiap kali bersamamu, aku selalu bisa jadi diriku sendiri."
Aldrian mengusap rambut Kana dengan lembut, jemarinya menjelajahi helaian demi helaian rambut yang terasa lembut seperti sutra. Ia menikmati keintiman ini, momen di mana mereka bisa bebas tanpa beban, tanpa harus memikirkan teka-teki dunia yang mereka huni.
Malam itu, meski mereka tidak menemukan jawaban apapun, Aldrian tahu bahwa mereka memiliki sesuatu yang lebih berharga-momen-momen seperti ini, yang akan selalu ia ingat, bahkan setelah ia terbangun dari mimpinya.
•
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary's Whisper [✓]
RomanceKisah seorang pria muda yang pindah ke rumah tua dan menemukan diari misterius. Terpikat oleh kisah di dalamnya, ia mulai mengalami kejadian aneh dan mendalam, yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. #nwmprospecmedia2024