Sejak membaca halaman terakhir dan menemukan lukisan wajahnya di sana, sesuatu dalam diri Aldrian berubah. Sebuah kenyataan yang sulit diterima semakin jelas. Mereka terhubung, tetapi terpisah oleh batasan yang tak dapat dijembatani. Dunia Kana dan dunianya hanya bersinggungan dalam mimpi, dan hubungan mereka bergantung pada ruang yang rapuh itu.
Semakin hari, Aldrian mulai merasakan bagaimana keputusasaan merambat dalam dirinya. Setiap kali ia terbangun, rasa kehampaan semakin mengikat, membuat hari-harinya terasa makin suram. Sementara dalam mimpi, Kana selalu tersenyum, mencoba menenangkan rasa cemasnya. Tapi senyum Kana pun mulai memudar, ada bayangan kesedihan yang selalu terlihat di matanya. Mereka berdua sadar, seberapa kuat pun mereka menginginkan kebersamaan ini, waktu tak pernah berada di pihak mereka.
Suatu malam, dalam mimpinya, Aldrian dan Kana duduk di teras rumah. Bintang-bintang bersinar di atas mereka, mengiringi percakapan berat yang tak bisa lagi dihindari. Aldrian memegang tangan Kana, jemarinya menggenggam erat takut kehilangan kehangatan itu.
"Kana, aku ingin kita bisa terus begini, tapi..." Aldrian menggantungkan kalimatnya, suaranya bergetar. Ia menunduk, menahan air mata yang hampir tumpah. Kata-katanya terhenti oleh perasaan yang menyesakkan dadanya.
Kana tersenyum, meskipun kesedihan tampak jelas di wajahnya. "Aku tahu, Aldrian. Dunia kita berbeda. Kita hanya bisa bertemu di sini, dalam mimpi."
Aldrian mengangguk, hatinya seperti ditusuk ribuan jarum. Ia tahu Kana benar, dan tak ada yang bisa mereka lakukan. Setiap kali ia mencoba membayangkan membawa Kana ke dunia nyata, semua terasa mustahil. Bahkan mimpi pun mulai terasa seperti tempat yang semakin sulit dijangkau.
Mereka tidak mengatakan apa-apa lagi. Angin malam berhembus lembut, membawa aroma bunga yang entah datang dari mana. Di balik keheningan itu, kesadaran menyakitkan mulai menghantui keduanya. Bahwa mungkin saat-saat seperti ini akan segera berakhir.
Aldrian menatap Kana dalam-dalam, kedua mata mereka dipenuhi oleh campuran rasa cinta dan kesedihan yang mendalam. Bintang-bintang di langit menyaksikan kesedihan mereka tanpa bisa memberikan jawaban.
"Kana…" Aldrian berbisik, suaranya serak. Ia menarik Kana lebih dekat, menangkup wajahnya dengan lembut. Ia bisa merasakan kulit Kana yang hangat di bawah telapak tangannya, begitu nyata, begitu berharga. Aldrian tahu bahwa mungkin ini akan menjadi salah satu momen terakhir mereka bersama.
Air mata mulai mengalir di pipi Kana, tetapi ia tetap tersenyum, senyum yang penuh cinta namun menyiratkan duka yang tak tertahankan. "Aku sangat mencintaimu," bisik Kana, suaranya hampir tak terdengar, terputus-putus oleh emosi yang menggetarkan dadanya.
Aldrian menunduk perlahan, menghapus jarak di antara mereka. Bibir mereka bersatu dalam ciuman yang dalam dan penuh kerinduan. Ciuman itu tidak hanya mengandung cinta yang kuat, tetapi juga rasa kehilangan yang begitu menyakitkan. Mereka berusaha mengabadikan setiap detik yang tersisa dalam kehangatan satu sama lain, berharap dengan ciuman itu mereka bisa melawan waktu dan realitas yang memisahkan mereka.
Aldrian merasakan air mata Kana membasahi pipinya, dan ia sendiri pun tak bisa menahan tangisnya. Semakin dalam mereka saling mencium, semakin besar rasa sakit yang mereka rasakan.
Ketika mereka akhirnya berpisah, mata Kana yang berkaca-kaca menatap Aldrian dengan penuh keikhlasan, mengatakan semua yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Aldrian menggenggam tangan Kana erat, tidak ingin melepasnya, meski ia tahu bahwa pagi yang kejam akan segera tiba dan memisahkan mereka lagi.
"Jangan lupakan aku," kata Kana dengan suara yang hampir berbisik, suaranya terdengar patah.
Aldrian menatapnya dengan perasaan yang begitu hancur. "Aku akan selalu mencintaimu," bisiknya. Kata-kata itu sederhana, tetapi mengandung seluruh rasa cinta, kesedihan, dan penyesalan yang tak pernah bisa ia ungkapkan.
Dan pada saat itu, mereka hanya bisa menatap satu sama lain dalam diam, membiarkan keheningan berbicara untuk mereka. Sebab kata-kata tidak pernah cukup untuk mengungkapkan rasa cinta yang begitu besar, dan kesadaran bahwa cinta itu terperangkap di antara dunia yang tidak pernah bisa bersatu.
Aldrian menatap Kana dalam-dalam, mencoba mengingat setiap detail wajahnya—matanya, senyumnya, dan rasa hangat yang selalu ia rasakan saat bersama Kana. Ia tahu, ketika ia terbangun nanti, semuanya akan lenyap, hanya menyisakan kenangan yang pahit.
Dan ketika malam itu berakhir, Aldrian terbangun dengan air mata yang mengalir di pipinya, menyadari bahwa mimpi itu mungkin tidak akan pernah datang lagi.
Aldrian mulai menghabiskan banyak waktu duduk di dekat jendela rumah tua itu, memandangi langit yang terus berubah dari pagi hingga malam tanpa henti. Ia tidak bisa lagi merasakan kehangatan dari sinar matahari yang masuk ke dalam ruangan, tidak mendengar suara burung yang biasanya menenangkan.
Semua terasa hampa, semua terasa sunyi. Satu-satunya hal yang bisa membuatnya merasa dekat dengan Kana hanyalah diari itu. Benda terakhir yang menghubungkannya dengan mimpi yang perlahan memudar.
Terkadang Aldrian membolak-balik halaman diari itu, membaca tulisan Kana yang terasa begitu hidup. Setiap kata yang tertulis di sana membuatnya teringat kembali pada senyum Kana, tawa lembutnya, dan kehangatan yang mereka bagi dalam mimpi. Tapi semakin ia membaca, semakin besar rasa sakit yang menyeruak di hatinya. Semua itu hanyalah kenangan dari dunia yang tak bisa ia raih, dan semakin ia tenggelam di dalamnya, semakin ia merasa terputus dari kenyataan.
Makan menjadi sesuatu yang sulit bagi Aldrian. Ia tidak lagi memiliki selera makan, semua makanan terasa hambar. Tubuhnya mulai melemah, matanya semakin cekung, dan wajahnya terlihat pucat. Kakaknya, Evan, beberapa kali mencoba menghubunginya, tetapi Aldrian terlalu terpuruk untuk menjawab telepon atau membalas pesan. Tak ada yang penting lagi, selain Kana. Tapi, bahkan Kana pun semakin jauh, hanya meninggalkan kekosongan yang tak terisi di dalam dirinya.
Pada malam-malam tertentu, Aldrian mencoba tidur lebih lama, berharap mimpi itu kembali. Ia bahkan mengonsumsi pil tidur dalam dosis yang lebih besar dari seharusnya, dengan harapan dapat kembali bertemu Kana. Tetapi, semakin ia memaksa, semakin mimpi itu tidak datang. Setiap terbangun dari tidurnya yang tidak lelap, ia merasakan kekecewaan mendalam, menyadari bahwa mimpinya bersama Kana mungkin benar-benar telah berakhir.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Hari-hari berlalu tanpa ada tujuan, hanya menyisakan kesedihan dan perasaan terputus dari dunia di sekitarnya. Aldrian tidak lagi merasakan dirinya sebagai bagian dari kenyataan. Ia merindukan Kana dengan sangat mendalam, tetapi tak ada lagi yang bisa ia lakukan. Diari itu, rumah tua yang penuh kenangan, dan mimpi yang tidak lagi datang hanya meninggalkan kekosongan yang tak terelakkan. Hidup tanpa Kana bukanlah hidup yang layak dijalani.
•
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary's Whisper [✓]
RomanceKisah seorang pria muda yang pindah ke rumah tua dan menemukan diari misterius. Terpikat oleh kisah di dalamnya, ia mulai mengalami kejadian aneh dan mendalam, yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. #nwmprospecmedia2024