5

140 29 4
                                    

Aldrian masih duduk di tepi tempat tidurnya, berusaha mencerna mimpinya. Udara dingin pagi mulai merayap melalui celah jendela yang sedikit terbuka, tetapi keringat dingin tetap membasahi pelipisnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, begitu hidup. Terlalu hidup untuk dianggap sebagai ilusi tidur biasa. Kana, wanita yang menghiasi diari, kini muncul dalam mimpinya, berbicara dengannya. Bukan lagi sekadar tulisan di atas kertas, tapi sebagai sosok nyata dengan suara dan tawa yang bisa ia dengar.

"Kana..." gumam Aldrian pelan, memanggil namanya seperti mantra yang menggelayut di pikirannya. Ia mengusap wajahnya, mencoba menenangkan diri. "siapa sebenarnya kamu?"

Matanya beralih ke meja kecil di sebelah tempat tidur, tempat ia meletakkan diari milik Kana. Diari itu tampak sama seperti sebelumnya—tertutup rapat, menantinya untuk membuka kembali lembar-lembar rahasianya. Aldrian merasakan dorongan yang kuat untuk segera melanjutkan membaca.

Dengan cepat, ia meraih diari itu dan duduk di kursi di samping jendela, membiarkan sinar pagi yang redup menyinari halamannya. Jari-jarinya dengan hati-hati membalik halaman demi halaman, hingga ia kembali pada tulisan Kana yang penuh emosi dan kerinduan.

"Semakin lama, aku merasa semakin terjebak dalam perasaan ini. Bagaimana bisa seseorang yang begitu penting bagiku pergi begitu saja?"

Semakin ia membaca, semakin kuat perasaannya bahwa ada hubungan aneh antara dirinya dan Kana—hubungan yang sulit dijelaskan. Apakah ini hanya ilusi yang diciptakan oleh pikirannya sendiri? Atau apakah Kana memang sosok nyata yang bisa ia temui dalam mimpi? Diari itu hanya menambah kebingungan, menghadirkan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.

Pikirannya terpecah saat suara pintu depan berderit pelan. Aldrian mengerutkan kening dan berdiri perlahan.

Aldrian menghela napas dalam-dalam sebelum melangkah ke arah ruang tamu, perasaan tak nyaman semakin merayap. Suara derit pintu depan membuat detak jantungnya sedikit lebih cepat, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Saat tiba di ruang tamu, ia terkejut melihat sosok pria berdiri di ambang pintu, wajahnya tampak akrab namun penuh dengan kerutan serius. Kakaknya, Evan, berdiri di ambang pintu dengan ekspresi heran dan cemas, tangannya masih memegang knop pintu. Sosok Evan yang tinggi dengan tubuh kekar membuat Aldrian selalu merasa seperti "adik kecil," meskipun usia mereka tidak terlalu jauh.

"Dri, kenapa pintunya nggak dikunci?" suara pria itu memecah kesunyian, nadanya terdengar tajam namun tak bisa menutupi kekhawatiran yang tersembunyi.

Aldrian tertegun sejenak sebelum akhirnya menjawab. "aku… mungkin lupa menguncinya. kenapa kamu ada di sini, kak?"

Evan melangkah masuk, menutup pintu dengan perlahan di belakangnya. Pria itu tampak ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya berjalan mendekati Aldrian. "aku lagi lewat sini, dan aku pikir sebaiknya mampir untuk ngecek keadaanmu. ibu khawatir sama kamu."

Aldrian menghela napas, sedikit mengalihkan pandangannya. Hubungannya dengan Evan memang tidak pernah seakrab dulu. Semenjak ayah mereka meninggal, mereka menjadi lebih jauh, terpisah oleh perbedaan cara mereka menghadapi kehilangan. Aldrian memilih menjauh, sementara Evan mencoba tetap bertahan dalam kehidupan keluarga yang semakin hampa.

"ibu selalu khawatir, kan?" jawab Aldrian akhirnya, suaranya pelan, namun dengan sedikit nada defensif. "aku baik-baik saja di sini."

Evan menatap adiknya dengan tatapan yang sulit ditebak. "dia khawatir sama kamu. kamu udah nggak pernah pulang, dan jarang kasih kabar… kita semua bertanya-tanya apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini."

Aldrian mendesah lagi, menghindari tatapan Evan. Ia tidak tahu harus menjelaskan apa. Ia ingin sekali bercerita. Namun, bagaimana ia bisa mengungkapkan mimpinya, diari Kana, dan semua keanehan yang ia rasakan sejak pindah ke rumah ini? Rasanya sulit untuk membicarakannya tanpa terdengar gila.

"aku cuma… butuh waktu sendirian," kata Aldrian akhirnya. "ada banyak hal yang harus kupikirkan."

Evan mengangguk pelan, meski wajahnya tetap menyiratkan kekhawatiran. Setelah beberapa saat hening, Evan memecah kebekuan dengan pernyataan yang tak terduga. "sebenarnya, aku datang ke sini nggak cuma buat ngecek keadaanmu. aku juga ingin menawarkan sesuatu."

Aldrian mengangkat alis, penasaran. "menawarkan apa?"

Evan duduk di salah satu kursi di ruang tamu yang usang, lalu menatap Aldrian dengan serius. "ada pekerjaan di kantor yang mungkin kamu tertarik. Bukan sesuatu yang besar, tapi setidaknya kamu nggak akan terjebak di sini terus sendirian."

Aldrian mengerutkan kening, merasa sedikit canggung dengan tawaran itu. "kantor?" Ia mengingat bahwa Evan bekerja di sebuah perusahaan konsultan besar di kota. Meski mereka tidak dekat, Aldrian tahu pekerjaan Evan cukup stabil dan mapan.

"ya," jawab Evan. "kamu bisa mulai kapan pun. gaji lumayan, dan setidaknya kamu nggak mengurung diri terus. ibu akan lebih lega kalau kamu bisa punya rutinitas lagi."

Aldrian terdiam sejenak, merenung. Ada sesuatu dalam tawaran itu yang menggoda. Kemungkinan untuk pindah dari sini, kembali ke kehidupan normal, jauh dari keanehan yang menghinggapi rumah ini dan mimpinya tentang Kana. Dia juga mungkin bisa memperbaiki kehidupannya yang berantakan. Berhenti terpuruk tentang kematian ayahnya.

Namun, di saat yang sama, ia merasa terikat dengan tempat ini. Diari Kana dan misteri yang melingkupinya saat ini terasa begitu dekat dan memikat, seolah-olah ada sesuatu yang harus ia selesaikan sebelum pergi.

"aku nggak tahu, kak," kata Aldrian pelan. "aku belum yakin apakah aku mau kembali bekerja… setidaknya, untuk sekarang."

Evan tampak kecewa, tapi tidak terkejut. Dia menatap adiknya dalam diam, mencoba membaca pikiran Aldrian. "kamu nggak harus ambil keputusan sekarang," kata Evan akhirnya. "tapi pikirkan baik-baik. Ibu benar-benar khawatir, dan aku… yah, aku juga nggak mau kamu tersesat terlalu jauh."

Aldrian merasakan sedikit beban di hatinya mendengar kata-kata Evan. Meskipun hubungan mereka tidak dekat lagi, ada sesuatu yang tulus dalam cara Evan berbicara. Namun, sebelum ia sempat membalas, Evan berdiri dan mengusap tengkuknya dengan canggung.

"yah, sepertinya aku harus balik sekarang," kata Evan, suaranya lebih pelan. "kalau kamu berubah pikiran soal pekerjaan, kamu tahu cara menghubungiku."

Aldrian mengangguk, tidak ingin memperpanjang percakapan. Saat Evan berjalan menuju pintu, dia tiba-tiba berhenti dan menoleh sebentar. "dan Aldrian… jaga diri, ya?"

Tanpa menunggu jawaban, Evan keluar dan menutup pintu dengan pelan di belakangnya, meninggalkan Aldrian sendirian lagi di dalam rumah yang sunyi.

Aldrian berdiri di tempatnya, menghela napas panjang. Suara derit pintu depan tadi masih terngiang di telinganya, sama seperti kata-kata Evan yang menggantung di udara. Di satu sisi, tawaran Evan terasa seperti jalan keluar dari kesendirian dan keanehan yang melingkupinya. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang menahannya di sini—ia masih ingin tetap seperti ini.




••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Diary's Whisper [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang