17

54 17 3
                                    

Aldrian merasa tubuhnya terasa ringan saat akhirnya ia terlelap, meminum dosis terakhir dari obat tidur yang ia miliki. Dalam sekejap, ia mendapati dirinya berdiri di ruang tamu yang sudah sangat ia kenal. Aroma hangat dari bunga-bunga kering mengalir memenuhi indra penciumannya. Ia menatap sekeliling, mencari sosok yang begitu ia rindukan.

"Kana?" panggil Aldrian, suaranya serak dan penuh harap. Ia berjalan mengitari rumah itu, setiap ruangan, setiap sudut yang pernah mereka bagi bersama. Tapi tidak ada tanda-tanda Kana. Rumah itu kosong, sunyi, hanya tinggal kenangan yang berputar di dinding-dindingnya.

Aldrian kembali ke ruang tamu, tubuhnya lelah, dan jiwanya terasa rapuh. Ia terduduk di lantai, terisak, menutup wajahnya dengan kedua tangan. Kerinduannya pada Kana sudah menjadi hal yang tak tertahankan, dan kenyataan bahwa ia mungkin tidak bisa lagi bertemu dengannya membuat hatinya hancur. Tangisannya pecah, mengisi rumah sunyi itu dengan kepedihan yang tak terungkapkan.

Saat air matanya mulai mereda, Aldrian memperhatikan sebuah lemari kecil di sudut ruangan. Lemari yang dulu tidak pernah ia perhatikan dengan seksama, namun kini terasa seperti memanggilnya. Ia bangkit, berjalan dengan langkah gemetar menuju lemari tersebut. Pintu lemari itu berderit pelan saat dibuka, dan di dalamnya ada sebuah kotak kayu yang sangat familiar.

Kotak kayu itu, Aldrian mengenalinya dengan baik. Itu adalah kotak yang pernah ia lihat di dunia nyatanya, tempatnya menemukan sebuah surat. Dengan tangan gemetar, Aldrian membuka kotak itu perlahan. Di dalamnya hanya ada kertas kosong dan pena tua, seolah sudah menunggunya untuk melakukan sesuatu. Air matanya mengalir deras tanpa bisa ia tahan, menghantam pipinya, menetes di atas kotak kayu tersebut.

Aldrian menghela napas panjang, merasakan perih menyayat di dadanya. Ia tahu apa yang harus ia lakukan. Dengan perlahan, Aldrian mengambil pena dan selembar kertas kosong tersebut. Ia mulai menulis, tiap kata yang tergores mencerminkan perasaannya yang terdalam. Kata-katanya sama persis, seperti yang pernah ia baca sebelumnya.

Kana yang kusayangi,

Kita terpisah oleh sesuatu yang sampai kapanpun tak mengizinkan kita bersatu, hubungan kita tak akan pernah berhasil. Aku berharap kamu menemukan kebahagiaan yang aku tak bisa berikan. Selalu ingat bahwa aku mencintaimu, dan kau akan selalu ada di hatiku.

Ia melipat kertas itu dengan hati-hati, lalu meletakkannya di dalam kotak kayu tersebut. Menutup kotak itu dengan perlahan, Aldrian merasa seperti telah menutup bagian dari hidupnya yang paling berharga. Setelah itu, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan jantungnya yang berdetak kencang.

Ia tersenyum kecut, menyadari bahwa inilah pelepasannya yang terakhir—sebuah kesempatan untuk mengucapkan selamat tinggal sekali lagi, meski begitu berat. Aldrian kemudian menutup matanya, membiarkan kegelapan mengambil alih, perlahan ia menghilang dalam kabut, bersama dengan bayangan Kana yang pernah ada di dalamnya. Ia berharap bahwa ketika ia terbangun, ia akan lebih siap untuk menghadapi kenyataan tanpa Kana.

Setelah Aldrian terbangun di dunia nyata, tubuhnya masih terasa lemas setelah efek obat tidur terakhirnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, matanya memandangi diari Kana yang tergeletak di meja. Dalam hati, ia tahu apa yang harus ia lakukan. Seiring dengan rasa perih yang tak kunjung hilang, ia mengumpulkan keberanian untuk melepaskan, kali ini dengan tindakan yang lebih nyata.

Aldrian mengambil diari itu, memegangnya erat di tangannya. Ia berjalan perlahan menuju halaman belakang rumah, di mana langit sudah mulai memudar menjadi senja. Dengan tangannya yang gemetar, ia meraih korek api yang ada di kantongnya. Ia membuka diari Kana untuk terakhir kalinya, mengingat setiap kata yang pernah tertulis, setiap momen yang pernah ia bagi dengan Kana. Setiap halaman adalah kenangan, tawa, dan air mata. Semua yang ia alami dalam dunia mimpi.

Air matanya kembali mengalir saat ia menyalakan korek api. Ia memandangi nyala api kecil itu, seolah mencari kekuatan untuk benar-benar melepaskan semua ini. Akhirnya, Aldrian menyalakan sudut salah satu halaman di diari tersebut. Api mulai merambat, membakar setiap kenangan yang pernah tertulis di sana.

"Aku mencintaimu, Kana," bisik Aldrian, suaranya hampir tak terdengar di tengah angin yang bertiup. Api semakin membesar, membakar diari itu hingga tak tersisa. Aldrian menatapnya dengan tatapan kosong, menyaksikan lembar demi lembar terbakar dan berubah menjadi abu. Dalam hatinya, ada perasaan hampa, tapi juga sedikit kelegaan. Seperti luka yang terbuka lebar, namun kini perlahan-lahan mulai mengering.

Setelah diari itu terbakar habis, Aldrian terduduk di halaman, merasakan dinginnya rumput di bawah kakinya. Ia tahu bahwa pelepasan ini adalah yang terbaik, tapi kenyataan bahwa ia tidak akan pernah melihat Kana lagi masih menghancurkan hatinya.

Dalam kesunyian itu, Aldrian meraih ponselnya. Dengan tangan gemetar, ia mencari nama kakaknya—Evan. Ia ragu sejenak, menatap layar ponselnya dengan mata yang masih sembab. Tapi, ia tahu bahwa saat ini ia membutuhkan seseorang di sisinya, seseorang yang nyata dan dapat menolongnya keluar dari kegelapan ini.

Evan menjawab panggilan dengan nada yang penuh keheranan. "Aldrian? Ada apa?"

Suara Evan terdengar seperti sinar kecil dalam kegelapan yang membelenggu Aldrian. Dengan suara yang parau dan lirih, Aldrian menjawab, "Kak... aku... aku butuh bantuanmu. Aku... aku gak bisa terus begini lagi."

Di seberang sana, Evan terdiam beberapa saat sebelum menjawab dengan penuh empati dan pengertian, "Aku mengerti, nanti aku akan menemuimu."

Air mata Aldrian kembali mengalir saat mendengar jawaban itu. Ia menutup teleponnya dan menatap langit senja yang mulai berubah menjadi malam. Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah beban yang ia tanggung mulai terangkat. Meskipun rasa kehilangan masih ada, Aldrian tahu bahwa, kini ia harus kembali berjalan—tanpa Kana, tapi tidak sendirian lagi.




••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Diary's Whisper [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang