10

51 14 2
                                    

Hari terus berlalu dengan cara yang hampir sama. Aldrian semakin tenggelam dalam kebersamaan mimpi dengan Kana, hingga rasanya kehidupan sehari-harinya mulai memudar. Ia lebih memilih untuk mengabaikan semua pertanyaan dan misteri tentang rumah tersebut. Segala keraguan dan kecemasan seolah menghilang saat ia tertidur, meninggalkan Aldrian sepenuhnya untuk menikmati setiap detik bersama Kana dalam dunia mimpinya.

Suatu malam, Aldrian terbangun di dalam mimpi seperti biasanya—di ruang tamu rumah yang hangat dan penuh dengan cahaya lembut. Kana sedang sibuk di dapur, tangannya bergerak gesit saat ia mencampur bahan-bahan untuk membuat kue. Bau harum vanila dan cokelat memenuhi udara, menambah kehangatan suasana.

"hey, Aldrian!" seru Kana, memandangnya dengan senyum ceria. "ayo bantu aku membuat kue!"

Aldrian mendekat, matanya bersinar dengan antusias. "tentu! aku senang membantu. apa yang harus aku lakukan?"

Kana menyerahkan apron dan beberapa bahan kepadanya. "tolong campurkan bahan-bahan ini, sementara aku akan menyiapkan adonan."

Mereka mulai bekerja bersama, mengobrol dan bercanda sepanjang proses. Kana menceritakan kisah lucu tentang pengalaman memasaknya di masa lalu, sedangkan Aldrian menanggapi dengan tawa ringan. Keduanya sibuk, namun suasana tetap ceria dan penuh energi.

Saat adonan kue sudah hampir siap, Kana dengan ceria berkata, "Aldrian, ayo kita cicipi sedikit adonan ini."

"cicipi adonan? aku tidak yakin itu enak sebelum dipanggang," jawab Aldrian ragu sambil menggulung lengan bajunya.

Kana dengan nakal menempelkan sendok adonan ke pipi Aldrian, membuatnya kaget. "Kana! kau!"

Kana tertawa dan melemparkan spatula kecil ke arah Aldrian, yang kemudian disambut oleh Aldrian dengan senyum lebar. Tanpa diduga, sebuah kejar-kejaran kecil terjadi di dapur. Kana berlari dengan cepat, Aldrian mengejarnya sambil tertawa. Kue yang mereka buat menjadi tidak terlalu penting dibandingkan dengan kesenangan mereka saat itu.

Kana berlari menuju ruang tamu, diikuti oleh Aldrian yang tetap penuh semangat. Begitu Kana sampai di sofa, ia berhenti sejenak, tetapi Aldrian sudah siap. Dalam sekejap, Aldrian menangkap Kana, memeluknya dengan penuh kehangatan. Keduanya terjatuh ke atas sofa, tertawa bersama dengan bahagia.

Kepala Kana bersandar di dada Aldrian, dan Aldrian merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Mereka saling menatap dengan penuh kegembiraan, tertawa hingga hampir kehabisan napas. Setelah tawa mereda, mereka berbaring di atas sofa, masih berpelukan.

Mereka berdua terdiam sejenak, merasakan kehangatan dan kenyamanan yang luar biasa saat saling berpelukan di atas sofa. Aldrian memandang Kana dengan tatapan lembut, sementara Kana membalas dengan senyuman hangat.

"aldrian," kata Kana dengan suara lembut, "aku merasa sangat bahagia bisa melakukan hal-hal sederhana seperti ini denganmu."

"begitu juga aku," jawab Aldrian, suaranya penuh kehangatan. "ini adalah waktu-waktu yang sangat berharga."

Kana tersenyum, "kadang aku merasa seperti kita sudah bersama untuk waktu yang sangat lama," kata Kana pelan, matanya berkilauan dalam cahaya lembut.

Aldrian mengangguk perlahan, merasakan sentuhan lembut di kulitnya. "aku juga merasa begitu. dan kadang aku sampai lupa jika ini hanya mimpi."

Kana tersenyum, mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut pipi Aldrian. "aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya. rasanya seperti kita saling melengkapi."

Aldrian tersenyum, menyandarkan kepalanya di atas kepala Kana. "aku juga merasakannya. tidak peduli bagaimana kita bertemu atau mengapa kita ada di sini, aku sangat bersyukur untuk setiap momen yang kita habiskan bersama."

Mereka terdiam, menikmati keheningan yang nyaman dan kehangatan di antara mereka. Kana merapatkan tubuhnya lebih dekat ke Aldrian, merasakan denyut jantungnya yang tenang. Aldrian merasakan ketenangan yang mendalam, merasa bahwa semua beban dan pertanyaan yang mengganggu pikirannya selama ini hanyalah kabut yang perlahan menghilang.

Saat mereka saling memandang, ada keintiman yang dalam di dalam tatapan mereka. Kana membenamkan wajahnya di dada Aldrian, sementara Aldrian mengelus lembut rambut Kana.

"kita akan membuat lebih banyak kenangan indah di setiap malam seperti ini," kata Kana dengan suara lembut, mengucapkan janji yang tak terucapkan.

Aldrian mengangguk, membalas pelukan Kana dengan lembut. "ya, kita akan membuatnya."

Keakraban mereka semakin mendalam. Dan seiring waktu yang terus berlalu, malam demi malam terasa seperti mimpi yang tak berakhir. Setiap kali Aldrian menutup mata dan terjatuh dalam tidurnya, ia akan kembali ke dunia itu—dunia di mana ia dan Kana bisa melanjutkan hubungan mereka yang semakin dalam. Kehidupan nyata di luar mimpi mulai kehilangan maknanya. Aktivitas sehari-hari atau berinteraksi dengan orang lain terasa seperti beban yang semakin tak terjangkau. Yang ada di pikiran Aldrian hanya momen saat ia bisa tidur dan kembali ke sisi Kana.

Mimpi menjadi pelarian bagi Aldrian. Dunia nyata di sekitarnya semakin memudar, kehilangan warna dan makna. Setiap detik yang dihabiskannya di luar mimpi terasa seperti beban yang tak tertanggungkan. Semua yang ia inginkan hanyalah kembali ke tempat di mana Kana berada. Dunia yang ia rasa jauh lebih nyata dan berarti daripada dunia yang sebenarnya.

Malam menjadi satu-satunya waktu yang ia nantikan. Ketika matahari mulai terbenam, Aldrian akan menatap jam, menghitung menit hingga ia bisa kembali tenggelam dalam pelukan mimpi. Ketika malam tiba dan ia menutup matanya, seluruh beban hidupnya terangkat. Dalam mimpinya, ia bisa tersenyum, tertawa, dan hidup bersama Kana tanpa gangguan. Dunia mereka adalah dunia yang sempurna, di mana waktu tidak memiliki arti dan hanya kebahagiaan yang ada di dalamnya.

Namun, di balik kebahagiaan itu, tetap ada rasa gelisah yang mulai tumbuh dalam dirinya. Aldrian mulai merasa bahwa hubungan mereka, yang terasa begitu nyata di dalam mimpi, semakin menyulitkannya untuk hidup di dunia nyata. Ia mulai bertanya-tanya: berapa lama lagi ia bisa terus hidup seperti ini? Apakah dunia mimpi ini benar-benar bisa menggantikan kenyataan? Dan, yang paling buruk. Bagaimana jika Kana memang tak nyata?

Meski demikian, setiap kali pikiran itu muncul, Aldrian berusaha menepisnya. Ia memilih untuk mengabaikan semua kekhawatiran, memutuskan bahwa bersama Kana dalam mimpi jauh lebih berharga daripada menghadapi kenyataan yang terasa dingin dan hampa. Kana adalah satu-satunya yang membuatnya merasa hidup kembali—dan Aldrian tidak siap untuk melepaskan perasaan itu, tidak peduli apa yang akan terjadi nanti.




••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Diary's Whisper [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang