4

83 21 0
                                    

Malam menyelimuti rumah kecil Aldrian dengan tenang. Setelah harinya disibukan dengan bisikan, diari serta seharian beraktivitas, tubuhnya akhirnya terlelap di kasur yang sederhana di kamar tidurnya. Suasana malam yang hening dan lampu kamar yang temaram membuatnya merasa nyaman dan rileks. Aldrian terseret ke dalam tidur yang dalam dan nyenyak, di mana mimpi-mimpinya mulai membentuk dunia yang berbeda. Aldrian seolah melayang ke dalam sebuah dunia alternatif, dunia yang terasa lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.

Dalam bunga tidurnya, Aldrian kembali berada di rumah yang sama. Namun, rumah ini tampak berbeda dari biasanya. Rumah yang tampaknya begitu sederhana dan usang kini tampak terawat. Setiap ruangan tampak bersih dan rapi. Perabotan yang sederhana namun elegan menghiasi ruangan, menambah kesan hangat dan menyambut. Setiap sudut rumah dipenuhi dengan kehangatan yang tak pernah dirasakannya sebelumnya. Taman di halaman belakang yang dulunya hanya dipenuhi rerumputan liar kini berubah menjadi sebuah taman yang menakjubkan, penuh dengan bunga-bunga warna-warni, tanaman tomat, dan berbagai tanaman hijau lainnya yang tumbuh subur.

Aldrian merasa terpesona dengan pemandangan ini. Dia berjalan menyusuri jalan setapak di taman, merasakan aroma segar dari bunga-bunga yang mekar dan udara yang lembut menyapu wajahnya.

Saat Aldrian memasuki ruang tamu, dia mendapati seorang wanita berdiri di dekat rak buku, tampak sibuk mencoba meraih sebuah buku yang terselip di rak paling atas. Wanita itu cantik dengan gaun putih dan rambut panjang yang terikat rapi dengan pita merah muda. Namun, pemandangan yang lebih menarik adalah betapa aneh dan konyol cara wanita itu berusaha mengambil buku tersebut. Dia berdiri di atas kursi kecil yang hampir tidak stabil, mencoba menjangkau buku dengan ujung jarinya yang hanya beberapa inci dari tujuannya.

Aldrian terdiam sejenak, menyaksikan bagaimana wanita itu berkali-kali berusaha berdiri dengan satu kaki di kursi yang goyah, sambil melompat-lompat kecil untuk meraih buku. Wajahnya dipenuhi konsentrasi, tetapi posisinya yang canggung membuatnya hampir terjungkal.

Ketika wanita itu akhirnya berhasil menjangkau buku tersebut, kakinya tiba-tiba tergelincir dari kursi. Dengan cepat, Aldrian bergerak ke depan dan menangkapnya tepat sebelum dia jatuh ke lantai.

"Apakah kamu baik-baik saja?" Aldrian bertanya sambil menahan tawa.

Wanita itu mengangguk cepat, wajahnya merah padam karena malu. "Uhh, ya, aku baik-baik saja... Aku hanya mencoba mengambil buku ini," jawabnya, menunjukkan buku yang hampir terlepas dari genggamannya

Aldrian tersenyum lebar lalu menurunkan wanita itu. "Kurasa buku itu mencoba melarikan diri. Kamu baik-baik saja, tapi kursi itu jelas tidak."

Wanita itu tertawa canggung. "Ya, sepertinya begitu. Aku mengacau di mimpiku sendiri."

Aldrian terdiam sejenak, "Mimpimu?"

Ia menatap wanita itu penuh keheranan. Apa maksudnya? Sudah jelas ini adalah mimpinya. Begitulah yang dia tahu.

Wanita itu mengangguk sambil masih tersenyum malu, mengusap sedikit kotoran dari gaunnya yang putih. "Ya, mimpiku. Aku sering bermimpi, tapi biasanya aku tidak pernah seceroboh ini sebelumnya," ucapnya sambil menatap Aldrian, baru menyadari kehadirannya lebih dalam.

Aldrian masih terdiam sesaat, mencoba mencerna pernyataan wanita itu. "Tunggu sebentar. Mimpimu?" tanyanya lagi, dengan nada yang lebih serius. "Tapi... ini mimpiku."

Wanita itu tampak kebingungan, lalu menatapnya lebih lama. "Bagaimana mungkin? Aku berada di sini duluan, dan biasanya…" ucapannya terjeda, "....biasanya aku sendiri di sini."

Mereka berdua saling bertatapan untuk beberapa saat. Menyadari sesuatu yang tidak beres. Wanita itu menatap dengan terkejut, sementara Aldrian menatapnya tajam. Semakin lama ia memperhatikan, semakin nyata wanita ini terasa. Ia melangkah mundur sedikit, perasaan aneh merayap di hatinya. Ia baru menyadari semuanya terasa begitu nyata. Cahaya matahari yang menerobos masuk dari jendela, aroma bunga dari taman, dan sentuhan gaun wanita itu saat ia tadi menangkapnya. Namun, bagaimana mungkin?

"Siapa kamu?" Aldrian akhirnya bertanya, meskipun jawabannya sudah terpikirkan dalam benaknya. Ia mungkin tahu siapa wanita ini. Nama itu sudah tertulis di dalam diari yang ia baca siang tadi.

Wanita itu menghela napas panjang, sedikit menunduk sebelum menjawab. "Namaku Kana."

Nama itu meluncur dari bibirnya dengan ringan, namun dampaknya begitu besar bagi Aldrian. Nama itu memenuhi pikirannya sepanjang hari, sejak ia membaca diari itu. Kana, wanita yang diari hidupnya ada di tangannya. Wanita yang seolah berbicara dengan seseorang yang tak pernah sampai surat-suratnya.

Jantungnya berdetak lebih cepat. "Kana?" ulangnya, dengan nada sedikit ragu, meskipun ia sudah memikirkan kemungkinan itu. "K-Kana? Kamu Kana yang sama dari diari itu?"

Kana mengernyitkan dahinya. "Diari? Aku tidak tahu soal diari, tapi… ya, namaku Kana." Ia menatap Aldrian dengan mata lembut, seolah ada sesuatu yang lebih ingin ia tanyakan juga, tetapi tertahan.

Keduanya berdiri dalam keheningan sejenak, merenungkan pertemuan yang aneh ini. Aldrian masih merasa kebingungan, tapi di sisi lain ada kehangatan yang mulai menyusup ke dalam hatinya. Wanita ini, Kana, terasa begitu dekat dan familiar, seolah-olah mereka sudah lama saling mengenal. Meskipun diari itu berisi kisah hidup yang sama sekali asing bagi Aldrian, ada ikatan yang sulit dijelaskan antara dirinya dan Kana.

"Mm.. siapa namamu?" Pertanyaan Kana memecahkan keheningan diantara mereka berdua.

"Aku Aldrian," ucapnya, sebelum kembali bertanya. "Kalau ini mimpimu, mengapa aku ada di sini?" Aldrian merasa bahwa pertanyaan itu lebih penting daripada yang terlihat.

Kana tersenyum kecil sambil menggelengkan kepalanya. "Lucu ya? Bagaimana bisa dua orang berbeda berada di dalam mimpi yang sama? Atau mungkin salah satu dari kita yang sebenarnya hanya ilusi dalam mimpi ini."

Aldrian tertawa kecil, mencoba menetralkan suasana yang mulai terasa semakin aneh. "Kamu sangat yakin ini mimpimu, ya?"

Kana tersenyum kecil, ada canggung di balik tatapannya. "Bukankah kamu juga sama?" Tanyanya, Aldrian hanya tersenyum, lalu Kana melanjutkan. "Sejujurnya, aku sering merasa seperti terjebak dalam mimpi, namun tahu bahwa aku berada di dalamnya. Tapi sekarang, ini terasa berbeda. Aku tidak pernah bertemu orang lain di sini. Aku tidak tahu lagi mana yang benar-benar ilusi."

"Seperti apa biasanya mimpimu?"

Sebelum Kana sempat merespon, pemandangan di sekitar mereka mulai memudar perlahan. Taman yang penuh warna mulai mengabur, dan Aldrian merasakan tubuhnya semakin berat, seolah terseret keluar dari mimpi itu.

Saat ia terbangun, matanya terbuka dengan cepat, dan ia kembali berada di kamarnya yang gelap. Detak jantungnya masih cepat, dan pikirannya masih dipenuhi oleh pertemuannya dengan Kana.

Aldrian duduk di tepi tempat tidur, merenung. Mimpi itu terasa begitu nyata. Kana, rumah—semuanya seolah lebih dari sekadar bunga tidur.




••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Diary's Whisper [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang