Malam itu, Aldrian merasa lebih bersemangat dari biasanya. Hari-harinya yang dihabiskan dalam kebosanan kini menjadi tak lebih dari sekadar penghalang sementara sebelum ia bisa bertemu Kana. Ia mempersiapkan dirinya untuk tidur dengan teliti, seperti seorang pria yang akan menghadiri pertemuan penting. Ia memastikan kamar tidur dalam keadaan sunyi, lampu dipadamkan, dan tirai ditutup rapat. Saat ia berbaring di atas kasur, pikirannya sudah jauh terbang, membayangkan apa yang akan terjadi dalam mimpi kali ini.
Setelah beberapa menit, kegelapan mulai menyelimuti kesadarannya, dan dunia yang akrab itu kembali terbuka. Ia terbangun di dalam mimpi, di tempat yang sama seperti biasa. Ruang tamu yang hangat, dengan cahaya lampu yang lembut mengisi ruangan. Tetapi, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Hatinya terasa lebih ringan, dan ada rasa kehangatan yang tak bisa dijelaskan yang membuncah dalam dirinya.
Di dapur, Kana sedang berdiri dengan apron yang ia kenakan, sibuk menyiapkan minuman hangat. Begitu melihat Aldrian, ia menyambutnya dengan senyuman manis, seperti biasa. "Aldrian, ayo minum teh dulu sebelum kita ngobrol," katanya, suaranya lembut dan penuh perhatian.
Aldrian tersenyum. Ia berjalan mendekati Kana, tetapi kali ini, tanpa alasan yang jelas, ada perasaan baru yang tumbuh dalam dirinya. Rasanya seperti rindu yang menggelegak di dalam dadanya. Bukan rindu yang terbentuk dari jarak atau waktu, tetapi rindu yang muncul dari kedekatan. Keinginan untuk lebih dekat lagi. Ia tak tahu mengapa, tetapi ia ingin lebih dari sekadar berbicara dengan Kana. Ia ingin merasakannya, memeluknya, menegaskan bahwa semua ini nyata, atau setidaknya nyata dalam dunianya.
Tanpa disadari, Aldrian menghampiri Kana dari belakang dan memeluknya perlahan. Aroma tubuhnya begitu menenangkan, membawa kedamaian yang selalu ia rindukan. Kana terdiam sejenak, tampak terkejut, tetapi kemudian tersenyum, menoleh sedikit ke arah Aldrian, tatapan lembutnya bertemu dengan mata Aldrian yang teduh.
"Aldrian?" Kana berkata pelan, seolah mempertanyakan tindakan tiba-tiba itu, tetapi tanpa perlawanan sedikit pun.
"Maaf... aku hanya merasa, aku ingin merasakan ini lebih lama. Aku ingin memelukmu, Kana," jawab Aldrian dengan suara pelan namun penuh perasaan.
Kana tidak menolak. Sebaliknya, ia meletakkan cangkir teh yang dipegangnya, lalu berbalik, membalas pelukan Aldrian. Mereka berdiri, menikmati keintiman itu. Aldrian merasa bahwa seluruh dunia di sekitarnya lenyap. Hanya ada mereka berdua, di ruangan itu, dalam pelukan yang hangat dan damai.
Aldrian merasakan detak jantungnya berdegup kencang, seolah mencoba menyesuaikan irama dengan denyut jantung Kana. Pelukan itu terasa seperti pelabuhan yang aman, tempat di mana semua ketakutan dan keraguan seolah menghilang. Ia membenamkan wajahnya di leher Kana, menghirup aromanya yang manis dan menenangkan.
Kana menyandarkan kepalanya di bahu Aldrian, dan mereka berdiri dalam keheningan, menikmati kehangatan satu sama lain. Waktu seakan berhenti, dan dunia luar tak lagi ada. Hanya ada kedamaian yang mengelilingi mereka. Aldrian merasakan bahwa momen ini adalah sesuatu yang lebih dari sekadar mimpi. Ini adalah pernyataan dari perasaannya yang mendalam terhadap Kana.
Setelah beberapa saat, Kana mengangkat wajahnya, menatap Aldrian dengan matanya yang berkilau. "Kau tidak perlu meminta maaf. Kau boleh memelukku seperti ini," katanya lembut.
Jawaban Kana membuat Aldrian merasakan kelegaan yang mendalam. Ia membiarkan pelukan itu menguatkan rasa keterhubungan mereka, seolah semua kata yang tidak terucap sudah diungkapkan dalam keintiman ini.
"Kana," ucap Aldrian, menarik sedikit tubuh Kana untuk menatap wajahnya. "Apa yang terjadi di antara kita ini… aku tidak ingin ini berakhir. Setiap momen bersamamu adalah sesuatu yang sudah menjadi berharga bagiku. Aku... aku ingin lebih dari sekedar bermimpi."
Wajah Kana tampak terkejut sejenak, tetapi kemudian senyumnya melebar. "Apa yang kau maksud?"
Aldrian menghela napas dalam-dalam, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Aku ingin kita saling mengenal lebih baik. Tidak hanya dalam mimpi, tetapi di luar itu juga. Aku ingin merasakan setiap detik bersamamu, meskipun kita tidak bisa mengubah kenyataan."
Kana terdiam, sepertinya memikirkan kata-katanya. Aldrian merasakan jantungnya berdebar, khawatir akan reaksi Kana tentang harapannya. Tetapi, saat Kana akhirnya berbicara, suaranya terdengar penuh kehangatan.
"Aku ingin itu juga," jawab Kana, suaranya lirih. Kana mengulurkan tangan untuk menyentuh pipi Aldrian dengan lembut. "Aku juga ingin menjelajahi perasaan ini lebih jauh." Dalam momen itu, Aldrian merasakan sebuah ikatan yang kuat dan nyata.
Namun, Aldrian tak berkata apa-apa lagi. Ia tahu, meskipun mimpi ini terasa sangat nyata, ada batas yang tak bisa ia lewati. Akan tetapi, meski begitu, ia tak ingin melepaskan apa yang telah mereka miliki bersama. Mungkin ia akan sekali lagi mencari tahu kebenaran.
Mereka berdua menghabiskan malam itu dengan lebih banyak pelukan dan canda. Aldrian merasakan betapa dalam perasaannya terhadap Kana. Ia tak ingin melepaskannya, tak peduli meski harus mengorbankan kehidupannya di dunia nyata. Dan semakin malam berlalu, semakin kuat ikatan itu terasa.
Ketika Aldrian akhirnya terbangun di pagi hari, ia merasakan rasa kehilangan yang lebih besar dari sebelumnya. Mimpi dengan Kana semakin menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya, dan kenyataan di luar mimpi semakin memudar, kehilangan daya tariknya. Satu hal yang ia tahu pasti. Ia akan terus kembali, malam demi malam, ke dunia di mana ia dan Kana bisa bersama.
•
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary's Whisper [✓]
RomanceKisah seorang pria muda yang pindah ke rumah tua dan menemukan diari misterius. Terpikat oleh kisah di dalamnya, ia mulai mengalami kejadian aneh dan mendalam, yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. #nwmprospecmedia2024