Aldrian terbangun dengan perasaan kosong. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang membuat setiap detik di dunia nyata terasa hambar dan tak berarti. Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, pikirannya sudah melayang jauh, berharap bisa segera kembali bertemu Kana.
Namun, meskipun ia mencoba untuk tidur di siang hari, berbaring dengan nyaman di kasur, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan pikirannya, mimpi itu tak datang. Dia terbaring di sana, dengan bayangan Kana memenuhi benaknya, tetapi tetap tak ada yang terjadi. Matanya tetap terbuka lebar, menatap kosong ke arah langit-langit.
"Damn it," gumamnya frustrasi. Ia menegakkan tubuh, lalu berjalan ke arah meja kecil di sudut kamar. Ponselnya bergetar, menampilkan pesan dari Evan, kakaknya yang menanyakan soal tawaran pekerjaan yang sempat dibahas. Tetapi, Aldrian bahkan tak berniat membalas. Pekerjaan? Dunia nyata ini? Semua terasa tidak relevan lagi.
Alih-alih, pandangannya tertuju pada sebuah benda yang lebih menarik. Diari Kana. Buku tua itu tergeletak di meja, tampak seperti sedang menunggu untuk dibuka. Selama ini, Aldrian berusaha mengabaikan diari itu. Ia sudah cukup tenggelam dalam mimpi dan obsesinya terhadap Kana. Tetapi sekarang, diari itu terasa seperti satu-satunya penghubung dengan Kana yang tersisa selain mimpi.
Perlahan, Aldrian mengambil diari itu dan duduk di kursi. Jarinya menyentuh kulit buku, dengan halaman-halamannya yang rapuh. Dia membuka halaman demi halaman dan mulai membaca lagi, setiap kata terasa akrab namun masih penuh teka-teki. Senyum kecil tersungging di bibirnya. Kana, dalam tulisan tangannya yang indah, bercerita tentang banyak hal sederhana dalam hidupnya, hal-hal yang membuat Aldrian semakin yakin bahwa Kana nyata di sana—di suatu tempat.
Namun, saat membaca lebih dalam, sebuah pemikiran aneh mulai menggelitik benaknya. Rumah dalam mimpinya… rumah itu selalu tampak sempurna. Setiap detailnya rapi, bersih, dan terawat. Berbeda jauh dengan rumah yang ia tinggali saat ini, yang sudah tua, reyot, dan penuh debu. Ada sesuatu yang janggal di sini.
"Kenapa rumah di dalam mimpi selalu begitu sempurna, sangat berbeda dari kenyataannya?" Aldrian mulai bertanya-tanya lagi pada dirinya sendiri. Pikirannya melayang, mencoba mencari penjelasan.
Ia mengingat kembali percakapan dengan Kana dalam mimpinya. Kana pernah berkata bahwa ia tidak tahu soal diari ini, namun diari itu jelas miliknya. Dan yang lebih aneh lagi, buku itu sudah tua—halaman-halamannya menunjukkan tanda-tanda usia yang sudah lama. Jadi, bagaimana mungkin Kana, yang selalu muncul di mimpinya, tidak mengenali diari ini?
Kepalanya mulai terasa pening saat dia merenungkan kemungkinan-kemungkinan yang sebelumnya tak terpikirkan olehnya. "Apa mungkin... ini ada sangkut paut dengan perbedaan waktu?" Aldrian bergumam pelan. Apakah mungkin Kana berasal dari masa lalu di dunia nyatanya? Atau mungkin, yang lebih menakutkan, Kana belum menulis diari itu… karena diari itu akan ditulis di masa depan?
Mimpi itu mungkin terjadi di latar masa lalu. Tapi, bagaimana mungkin? Aldrian mulai merasa dia berada di tengah teka-teki lagi yang tak terpecahkan. Diari ini, rumah tua yang ditinggalinya, dan Kana—semuanya jelas saling terkait, tetapi dalam cara yang sulit untuk dipahami.
Aldrian mencoba mengumpulkan segala pemikirannya, namun semakin dia mencoba, semakin rumit semuanya terasa. Jika memang ada hubungan antara waktu dan mimpi ini, apa artinya bagi dirinya dan Kana? Apakah mereka terperangkap dalam dimensi waktu yang berbeda? Ataukah ini hanya permainan pikirannya sendiri, efek dari obsesinya yang semakin dalam?
Dia menutup diari itu dengan perlahan, rasa kebingungan dan ketidakpastian semakin mencekik. "Aku harus tahu lebih banyak," gumamnya pelan.
Pandangan Aldrian tertuju ke dinding kamar yang mulai pudar, seperti mencerminkan pikirannya yang penuh teka-teki. Mungkinkah jawabannya ada di dunia nyata? Atau mungkinkah dia harus kembali ke dunia mimpinya untuk mencari tahu kebenaran?
Apa pun jawabannya, Aldrian tahu satu hal dengan pasti: ia tidak bisa lagi mengabaikan hubungan aneh antara Kana, diari itu, dan rumah ini. Segalanya terlalu terjalin, terlalu nyata, untuk dianggap hanya sebagai kebetulan.
Aldrian duduk di kursi kayu di dekat jendela, menatap kosong ke arah luar. Cahaya matahari yang lembut menembus tirai tipis, menciptakan bayangan samar di lantai kamar yang dingin. Di luar, dunia berjalan seperti biasa. Angin berbisik pelan di antara dedaunan, suara-suara kendaraan yang samar terdengar dari kejauhan. Tetapi, semuanya terasa jauh bagi Aldrian, dia terjebak di dalam gelembung yang hanya dihuni oleh dirinya dan Kana.
Sesaat, pikirannya kembali melayang ke mimpi-mimpinya. Di sana, Kana selalu tersenyum padanya, tatapan matanya yang lembut dan senyuman manisnya begitu jelas di benaknya, membuat dadanya berdebar. Perasaan itu begitu kuat—perasaan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya terhadap siapa pun. Ada sesuatu yang istimewa tentang Kana, sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Bayangan wajah Kana terus menghantuinya, bahkan di saat-saat seperti ini. Ia ingat saat-saat di dalam mimpinya ketika mereka hanya berdiri bersama, tidak berkata apa-apa. Aldrian menghela napas panjang. Senyuman, tatapan lembut itu, membuat segala sesuatu terasa lebih baik, membuat rasa sakit dan kekosongan dalam dirinya memudar, walau hanya sementara.
Namun, kenyataannya berbeda. Ia kembali sendirian di dunia nyata ini, dengan hanya bayangan dan ingatan tentang Kana yang menemaninya. Betapa ia berharap bisa terus berada di dalam mimpi itu, bersama Kana, di rumah yang selalu tampak sempurna dan penuh kedamaian.
Setiap hal kecil yang ia lakukan—entah itu menyeduh kopi, membaca buku, atau bahkan berjalan di sekitar rumah—selalu membawa pikirannya kembali pada Kana. Ia tak bisa menghilangkan bayangan Kana dari pikirannya, tak peduli sekeras apa pun ia berusaha.
Perasaan ini begitu dalam, begitu kuat, hingga terkadang Aldrian merasa takut. Takut terlalu jauh terperangkap dalam mimpi, dalam perasaan yang mungkin tidak nyata. Meskipun perasaan ini tak masuk akal, itu adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan. Kana adalah sumber kebahagiaan dan rasa damainya, dan tanpa itu, dunia ini kembali terasa begitu hampa.
Aldrian menatap ke luar jendela, membiarkan pikirannya kembali pada senyum Kana. "Apa yang akan kau pikirkan, Kana?" gumamnya pelan, berharap ada jawaban dari angin yang berhembus lembut di luar sana.
Meskipun dia tahu jawabannya tak akan datang, Aldrian tidak bisa menahan diri untuk terus berharap. Harapan bahwa suatu hari, semua teka-teki ini akan terjawab. Dalam kenyataan yang lebih jelas daripada apa pun yang pernah ia alami.
Sambil tersenyum tipis, Aldrian berbisik pada dirinya sendiri, "Aku akan menemukanmu, Kana. Apa pun yang terjadi."
•
•
•
•
KAMU SEDANG MEMBACA
The Diary's Whisper [✓]
RomanceKisah seorang pria muda yang pindah ke rumah tua dan menemukan diari misterius. Terpikat oleh kisah di dalamnya, ia mulai mengalami kejadian aneh dan mendalam, yang mengaburkan batas antara realitas dan ilusi. #nwmprospecmedia2024