15

77 17 1
                                    

Aldrian duduk di kursi kayu di ruang tengah yang sepi, diari Kana tergeletak di atas meja di depannya. Lampu redup menerangi ruangan dengan sinar kuning pucat yang menciptakan bayangan samar di dinding. Matanya menelusuri halaman-halaman diari itu lagi, mencari sesuatu yang mungkin terlewatkan sebelumnya. Meskipun ia selalu meyakinkan Kana dan dirinya sendiri bahwa ia tidak peduli apakah Kana nyata atau hanya bayangan dari alam bawah sadarnya, rasa ingin tahunya tentang "bagaimana" semua ini bisa terjadi terus mengganggunya.

Setiap malam, mimpi-mimpi itu terasa begitu nyata. Sentuhan tangan Kana, suara lembutnya, bahkan aroma khas tubuhnya, semuanya seolah membuktikan bahwa ada lebih dari sekadar ilusi dalam hubungan mereka.

Aldrian membuka halaman terakhir dari diari, berharap menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi dari pandangannya. Dan di sana, di antara coretan tulisan tangan Kana yang lembut, ada sesuatu. Sebuah gambar kecil di pojok halaman, hampir tertutupi oleh kata-kata di sekitarnya.

Matanya terbelalak. Itu adalah gambar seorang pria—sosok yang jelas sekali adalah dirinya. Wajah itu, dengan rahang yang kokoh dan mata yang dalam, tak diragukan lagi milik Aldrian. Jantungnya berdebar kencang. Diari ini bukan hanya sekadar catatan Kana tentang perasaannya, tetapi juga menyimpan petunjuk tentang hubungan mereka yang lebih kompleks daripada yang pernah ia bayangkan.

Aldrian bergegas menutup diari itu, punggungnya bersandar pada kursi. Kepalanya berdenyut memikirkan kemungkinan yang semakin masuk akal, pikirannya tentang diari ini yang ditulis di masa depan oleh Kana di dalam mimpi, mungkin benar adanya.

Saat malam tiba, Aldrian memasuki mimpinya dengan perasaan yang penuh campuran antara kecemasan dan tekad. Saat ia membuka pintu rumah dalam mimpinya, Kana sudah menunggunya di sana, duduk di sofa dengan senyuman manis yang biasa menghiasi wajahnya. Tapi kali ini, Aldrian tahu ia harus memberitahunya tentang apa yang telah ia temukan.

"Kana," panggilnya dengan suara yang tenang tapi serius.

Kana menoleh, masih dengan senyuman itu. "Ada apa? Kau terlihat lebih serius malam ini."

Aldrian mendekat, lalu duduk di sampingnya. Ia meraih tangan Kana dan menggenggamnya erat. "Aku menemukan sesuatu di dalam diari. Sebuah lukisan."

Kana mengerutkan kening. "Lukisan? Tentang apa?"

"Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya," Aldrian menarik napas dalam-dalam, "tapi itu... gambar wajahku. Wajahku ada di sana, di dalam diari itu. Kau mungkin melukisnya di masa depan."

Mata Kana melebar, bingung, "tunggu, apa maksudmu? Aku tak mengerti."

Aldrian mengangguk. "Aku tahu ini terdengar gila, tapi mungkin hubungan kita melibatkan elemen waktu dan dimensi. Seolah-olah kita terhubung di masa depan, di masa lalu, dan di mimpi ini. Ini bukan hanya tentang kita berdua di sini dan sekarang. Ada sesuatu yang lebih besar, Kana."

Kana menatap Aldrian dengan tatapan kosong, mencoba mencerna semua yang baru saja didengarnya. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia tidak melepaskan genggaman Aldrian. "Jadi, apa yang kau katakan... kita tidak hanya berada di dimensi yang berbeda, tapi juga waktu yang berbeda? Mimpi ini... mungkin berlatar di masa lalu di duniamu?"

"Bisa jadi begitu," kata Aldrian pelan. "Diari itu mencatat hal-hal yang belum terjadi pada kita. Setiap kali aku membaca diari, rasanya seperti aku sedang melihat ke masa depan kita."

Kana terdiam sejenak, menatap dalam ke mata Aldrian. Kemudian, ia menarik napas panjang dan menghela nafas. "Jika benar begitu, berarti kita terjebak dalam batasan waktu dan dimensi. Apa yang kita alami di sini hanya sementara, bukan?"

Aldrian menunduk, merasakan beban kenyataan itu menghantamnya. "Mungkin kita hanya bisa bersama dalam mimpi ini, Kana. Mungkin di dunia nyata... kita tidak bisa bertemu seperti ini."

Mata Kana mulai berair, dan ia menggigit bibirnya untuk menahan emosi. "Aku tidak ingin hanya berada di sini bersamamu. Aku ingin kita bisa bersama di dunia nyata, di mana aku bisa menyentuhmu tanpa batasan, tanpa harus menunggu malam datang untuk bertemu denganmu."

Aldrian memeluk Kana erat, merasakan kesedihan yang sama merayapi dirinya. "Aku juga ingin itu, Kana. Tapi kita harus menerima kenyataan bahwa mungkin hanya ini satu-satunya cara kita bisa bersama."

Kana terisak pelan di bahunya, tapi ia tidak melepaskan pelukan itu, "tapi bagaimana jika kita bisa menemukan cara? Bagaimana jika ada cara untuk melintasi dimensi dan waktu ini?"

Aldrian menggeleng, meskipun ia berharap ada solusi yang nyata. "Aku belum tahu, tapi yang jelas, kita harus mengerti batasan-batasan ini. Mungkin... kita tidak ditakdirkan untuk bersama di dunia nyata, tapi hanya di mimpi ini."

Mereka terus berpelukan dalam diam, tidak ada kata-kata yang mampu menenangkan perasaan mereka. Aldrian mengusap punggung Kana dengan lembut, mencoba menenangkan getaran tubuhnya yang gemetar karena tangis yang tertahan.

"Aku takut, Aldrian," bisik Kana dengan suara yang hampir tak terdengar. "Takut suatu hari kau tidak lagi muncul di sini. Takut jika kita tak akan bisa bertemu lagi."

Aldrian menelan ludahnya, hatinya terasa berat. Kata-kata Kana menggema di dalam dirinya, mengingatkan betapa rapuhnya ikatan yang mereka miliki. Mimpi ini adalah satu-satunya tempat di mana mereka bisa bersama, dan itu pun hanya sementara. Seiring waktu, mimpi ini bisa saja hilang, dan mereka akan terpisah selamanya.

"Aku juga takut," jawab Aldrian lirih. "Tapi selama kita masih bisa bertemu di sini, aku akan datang setiap malam. Aku tidak akan pernah meninggalkanmu."

Namun di dalam hati, Aldrian tahu bahwa ia tidak bisa menjanjikan hal itu. Tidak ada yang tahu sampai kapan mimpi ini akan bertahan. Dan di balik setiap malam yang mereka habiskan bersama, ada ketakutan bahwa suatu saat, ketika ia terbangun, Kana tidak akan ada lagi.

Mereka berdua kembali terdiam, menikmati kehangatan tubuh masing-masing meskipun kesedihan mulai mengisi hati mereka. Aldrian tahu, semakin mereka mendalami misteri ini, semakin banyak jawaban yang mereka temukan, tetapi juga semakin banyak batasan yang mereka sadari. Meski begitu, selama mereka masih bisa bersama, meski hanya dalam mimpi, Aldrian tidak akan melepaskan Kana.




••••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Diary's Whisper [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang