Pada hari itu juga, saat Junyeong baru saja tiba dan meletakkan tasnya di atas meja, dia hampir pingsan ketika melihat Beomjin bangun dari lantai dua. Matanya yang masih setengah terpejam menatap Junyeong, dan tatapannya perlahan menjadi lebih jelas, membuat Junyeong secara refleks mundur.
“Kau…”
“Maaf, aku tidak tahu ini rumahmu. Aku pikir ini rumah kosong karena tidak ada kunci… Aku akan segera pergi.”
Meskipun dia sudah meraih tali tasnya, mata Junyeong masih terpaku pada Beomjin yang sedang menuruni tangga. Berbagai rumor tentang dia mulai bermunculan di kepalanya.
Beomjin yang menatapnya dengan penuh kewaspadaan tiba-tiba menguap lebar seperti seekor harimau yang mengaum. Suaranya terdengar malas.
“Ini bukan rumahku.”
“Apa?”
“Ini memang rumah kosong. Sudah sebulan tidak ada yang datang ke sini, selain kamu.”
Junyeong tertegun dan mengedipkan mata. Sementara itu, Beomjin dengan tenang mengambil gelas dari laci di bawah wastafel, lalu mengisinya dengan air keran dan meminumnya dalam tegukan besar. Junyeong, yang secara refleks meringkuk dan memeluk bahunya, berbicara dengan suara bergetar.
“Kau, kau ngapain di sini?”
“Tidur.”
“Apa? Tidur?”
“Bukan tidur yang itu, tapi tidur. Kenapa wajahmu memerah?”
“Kapan aku…!”
“Kau datang untuk belajar, kan? Aku akan tidur lebih lama lagi, jadi belajar saja sesukamu.”
Beomjin menggosok matanya, kemudian kembali menaiki tangga dan berbaring di tempat tidur. Sementara itu, Junyeong yang masih bingung perlahan-lahan mengangkat kepalanya. Tidak terdengar suara napas atau dengkuran, jadi dia tidak tahu apa yang sedang dilakukan di atas sana.
Haruskah aku pergi? Seharusnya aku pergi, kan? Siapa yang tahu apa yang mungkin dilakukan oleh orang yang terlihat garang seperti dia.
…Namun.
Tidak ada tempat lain yang sebaik ini. Selain itu, sepertinya Kwon Beomjin juga tidak dalam posisi untuk mengklaim tempat ini sebagai miliknya. Dia hanya menemukan tempat ini sedikit lebih awal dariku.
Junyeong menggenggam tinjunya dengan erat, mengambil napas dalam-dalam, lalu perlahan menaiki tangga satu per satu. Dia hanya berniat memeriksa apakah Beomjin benar-benar tidur.
Tangga itu cukup tinggi dan curam, sehingga dia harus berhati-hati. Dengan membungkuk agar tidak kepentok langit-langit, Junyeong melangkah naik dan menemukan Beomjin sedang berbaring menyamping dengan mata tertutup.
Apa dia benar-benar tidur? Aku tidak bisa menyentuhnya untuk memastikan.
Tidak, lebih dari itu, bagaimana dia tahu kalau aku datang ke sini untuk belajar?
“Ada yang ingin kau katakan?”
Junyeong terkejut mendengar suara tiba-tiba itu dan kehilangan pegangan, hampir jatuh. Tubuhnya yang hampir terjungkal ke belakang tiba-tiba tertarik ke depan.
Jantungnya berdebar kencang seolah hendak melompat keluar. Setelah beberapa saat, Junyeong membuka matanya yang tadi terpejam erat. Dia sadar bahwa dia sedang menindih Beomjin. Pergelangan tangannya yang tertahan terasa perih.
Junyeong mengeluarkan seruan tanpa suara sambil menekan dada Beomjin untuk bangkit. Akibatnya, kepalanya terbentur keras ke langit-langit.
Beomjin terkekeh melihat Junyeong yang merintih kesakitan sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangan.