“Ingatanmu masih ada? Ibuku pernah bekerja di motel. Ketika dia pingsan, uang di rekening tabunganku hanya 190 ribu won. Entah kapan aku membukanya, rekening itu atas namaku. Kadang aku berpikir, betapa bodohnya aku terjebak dalam utang yang berkali-kali lipat dari itu.”
“……Yoon Junyoung.”
“Aku tahu. Ini adalah harga dari ketakutanku. Meskipun ibuku seperti itu, aku merasa sangat takut jika dia menghilang.”
Merasa tidak ada satu orang pun di dunia yang tahu siapa aku, bagaimana aku lahir, dan bagaimana aku hidup terasa seperti terjebak dalam lumpur. Seakan-akan jika aku menghilang, tidak ada yang akan tahu, dan tidak ada yang akan peduli.
Menjaga ibuku tetap hidup adalah seperti memiliki keinginan untuk hidupku sendiri. Begitulah rasanya bagi Junyoung.
Sungguh, karena sakit, aku jadi mengucapkan kata-kata aneh. Jika terus begini, aku mungkin akan menangis. Senang sekali bisa bertemu seseorang untuk berbicara tentang ibuku, Yoon Junyoung.
Dengan nada sinis terhadap dirinya sendiri, Junyoung terus menggoyangkan infusnya ketika tiba-tiba dia mendengar Beomjin berdiri.
Beomjin yang menundukkan tubuhnya mengambil tangan Junyoung dan memasukkannya ke dalam selimut. Suara hangatnya seakan menyentuh wajahnya, membuat Junyoung berkedip. Suara Beomjin yang menyenangkan terdengar lembut di telinganya.
“Tidurlah.”
“Mau kemana?”
“Aku tidak pergi ke mana-mana.”
Beomjin menarik selimutnya hingga ke dagu, kemudian duduk kembali di kursi. Saat terus menatapnya, Beomjin menyuruhnya dengan desahan pendek.
“Tutup matamu. Kau harus tidur agar aku bisa tidur.”
Ini benar-benar terdengar seperti Kwon Beomjin. Baik Kwon Beomjin yang sekarang, maupun Kwon Beomjin yang aku kenal.
Sebuah sensasi aneh melintasi dada Junyoung, dan dia menutup matanya dengan patuh. Apakah ini hanya ilusi? Seolah ada tatapan yang terasa di pipi dan sekitar matanya. Tatapan yang lembut seolah sedang mengelusnya.
Dia merasa seperti seorang anak kecil. Seperti seorang anak kecil yang tahu bahwa apapun yang diucapkan akan diterima dengan baik oleh pelindungnya yang selalu ada di sampingnya. Seperti anak kecil yang terbiasa bergantung pada kekuatan itu.
Kwon Beomjin.
Jangan tolak aku.
Jika kita bertemu seperti ini dan kau melepaskanku, aku akan sangat menyesal.
“Jadi, bagaimana dengan Kim Yongjae….”
“Aku bilang tidur.”
Begitu Junyoung membuka mulutnya, Beomjin langsung mendengus. Dari suaranya, jelas terlihat kesabaran Beomjin sudah mencapai batasnya. Junyoung menahan tawa dan mengerahkan kekuatan pada mata yang terpejam. Dengan perasaan bebas namun bergetar, serta campuran emosi yang menyentuh, dia segera terlelap.
* * *
Entah sudah berapa lama sejak napas teratur itu mereda.
Beomjin perlahan membuka matanya. Dia melihat Junyoung yang tertidur pulas, masih menghadap ke arahnya.
Wajahnya masih terlihat tidak baik. Jika diingat-ingat, Junyoung memang memiliki sisi keras kepala yang terus bertahan hingga batasnya. Dia tipe orang yang lebih suka berlari meskipun jantungnya terasa akan meledak, daripada berhenti sejenak dan menunggu kesempatan berikutnya.
Tanpa memperhatikan kesehatan dirinya.
Beomjin menatap bibirnya yang memudar dan pecah tanpa suara, lalu bangkit dan kembali ke sisi tempat tidur yang berlawanan. Junyoung bergerak sedikit, dan ponsel yang disembunyikannya di bawah bokongnya terlihat keluar sedikit.