Setelah beberapa hari terlewati sejak kejadian pulang sekolah berboncengan. Hari ini tepat hari Rabu, yang berarti tepat tiga minggu setelah kecelakaan naas yang pernah dialami keduanya. Sekarang Julian menjadi fobia sekali dengan hari itu. Walaupun ia bersikeras melupakannya, entah kenapa kejadian itu seolah memproyektorinya terus menerus. Apalagi Hazel akhir-akhir ini nekat menyambangi kelasnya pada saat istirahat maupun pulang sekolah.
Julian menghela napas. Hari ini ia bersembunyi lagi dari Hazel. Ia memilih mojok di tribun yang mengarah langsung ke lapangan, di mana Kiki—wakapten basket yang juga sahabatnya—tengah berpanas-panas menggiring bola berwarna bata tersebut.
Turnamen olahraga antar sekolah akan diadakan tiga hari dari sekarang. Itu berarti Jumat besok. Kiki pasti sedang sibuk-sibuknya dengan jabatan wakil kapten serta posisi Point Guard di timnya. Andai Julian tahu, kalau misalnya Hazel juga ikut turnamen itu, bukan tak mungkin ia akan bertemu dengan cowok itu di lapangan. Hazel 'kan salah satu anggota klub futsal.
Akan tetapi beberapa hari sembunyi ke tribun dengan alasan menemani Kiki, ia sama sekali tak pernah menemukan sosok Hazel yang bergelut dengan bola hitam putih milik sekolahnya. Anak itu pasti tidak serius dengan ekskul futsal.
Kiki terlihat berpeluh di lapangan, permainan mendadak berhenti ketika Kiki ngomel-ngomel karena dribble-nya direbut tim lawan. Suara nyaring Kiki bahkan sampai ke bangku penonton. Anak itu benar-benar tidak berubah. Selalu temperamen di segala hal. Ngomong-ngomong anggota basket banyak juga, pikir Julian. Seluruh anggota bahkan dijadikan dua tim untuk semi latihan. Lalu masih ada sisa beberapa orang di posisi cadangan.
Beberapa menit kemudian Kiki menghampiri Julian dengan handuk dan satu botol mineral yang tinggal separuh. Napasnya terengah.
"Pulang, yuk!" katanya.
"Lho emang udahan?" tanya Julian bingung karena permainan baru berjalan kurang dari satu jam.
"Capek gue. Udah izin kok sama kapten."
Mata Julian mengikuti arah pandang Kiki yang melihat ke arah bangku cadangan pemain, di mana seorang cowok dengan nomor punggung empat tengah ngobrol dengan timnya."Lo kenapa?" tanya Julian ketika Kiki menopang dagunya.
"Nggak apa-apa. Capek aja," jawabnya dengan napas masih agak putus.
Julian memasukkan komiknya dalam tas. Sebenarnya ia bukan penggemar komik, itu kepunyaan Kiki, dan Kiki yang memaksanya membaca komik-komik itu.
"Lo mau mandi dulu nggak?" tanya Julian sambil berdiri mengikuti Kiki.
Kiki menggeleng dan berjalan terlebih dulu. Lalu melambai ke teman-teman basketnya. Kali ini ia tak membawa motornya, jadi mereka terpaksa naik angkot bersama. Julian bilang ingin mampir ke rumah Kiki dulu sekadar tidur-tiduran. Jadi mereka memutuskan untuk ke rumah Kiki. Keduanya langsung masuk ke kamar dan menyalakan kipas listrik. Gerah sekali.
"Nyokap gue nggak ada," ujar Kiki tanpa ditanya. Julian mengangguk dan membiarkan dirinya berselonjor di atas kasur, memejamkan mata, sementara Kiki langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Badannya lengket ditambah debu-debu yang menempel sepanjang jalan.
Beberapa menit kemudian Julian tersentak ketika sebuah handuk jatuh ke wajahnya. Kiki tertawa, mengambil handuknya dan menjemurnya di jemuran kecil di depan pintu kamar. Lalu ia masuk lagi dan duduk di samping Julian.
"Kan udah gue bilang tadi, idupin aja laptop gue," katanya sambil mengacak-acak rambutnya yang basah. Julian mencium bau mentol di rambut itu.
"Gue ngantuk." Setelah mengatakan itu, Julian langsung menguap lebar. Merebahkan badan lagi. Kiki hanya geleng-geleng.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO HIM [COMPLETE]
RomanceKarena sebuah kecelakaan nahas, Julian Marvel mengalami kesialan karena ruhnya harus bertukar tubuh dengan seorang pemuda tak dikenalnya. Beberapa hari saling mengenal, Julian baru tahu kalau ruh penempat raganya adalah pemuda yang bersekolah di sek...