Kamis setelah istirahat pertama, Julian baru benar-benar merasa sepi. Di meja guru sudah terselip surat dispensasi dari klub basket tertanda nama Rizky Aksal Kurniawan. Julian menghela napas bosan, kelas kosong karena guru-guru mengadakan rapat. Tiga jam pelajaran Bahasa Indonesia itu harus kosong tanpa guru dan tanpa Kiki.
Hela napas Julian yang kesekian kali itu di dengar oleh Karina—salah satu teman kelompoknya. Jadi sebelum guru bahasanya itu rapat, beliau memberikan tugas berkelompok. Satu kelompok terdiri dari dua siswa. Tugas itu adalah meresensi buku atau novel dan minggu depan sudah harus dipresentasikan di depan kelas.
Karina mengernyitkan dahi melihat Julian tidak fokus. Ia berpikir mungkin saja Julian tidak setuju dengan buku pilihannya.
"Apa menurut lo kita ke perpus lagi aja ya, Jul?" katanya.
Julian langsung menatapnya, berpikir sebenarnya Karina ini cantik; matanya bulat, wajahnya tirus, rambut lurus dengan potongan bob dan poni ratanya. Juga kacamata jengkol di matanya itu membuatnya beberapa kali terlihat cerdas.
"Jul?" Karina melambaikan tangannya di depan wajah Julian.
"Kenapa?"
"Apa kita perlu ke perpus lagi?" ulang Karina—yang sebenarnya lebih suka dipanggil Ririn. Tapi sepertinya Julian tidak tahu soal panggilan itu. "Kayaknya lo nggak suka sama rekomen gue."
Julian mengambil novel tebal bersampul cokelat yang ada di mejanya. Membaca sinopsisnya di bagian belakang. Novel berjudul The Grail Conspiracy itu memang sempat dipilihkan Karina saat salah satu anggota kelompok diperintahkan guru untuk mengambil salah satu buku untuk diresensi di perpustakaan.
"Over all bagus kok sinopsisnya." Julian tersenyum ke arah Karina, senyum yang pertama kali dilihatnya dari pertama kenal cowok itu. "Lo udah baca?"
"Udah. Tapi temanya agak religius sih. Nggak apa-apa, ‘kan?"
"Nggak apa-apa. Kan tugasnya cuma resensi doang," jawab Julian, mengangkat bukunya lagi ke atas. "Gue baca dulu, ya, bentar."
Karina mengangguk pelan, melirik ke arah Julian. Senyum cowok itu tadi membuyarkan atensinya. Astaga, kalau senyum saja bisa semanis itu, kenapa dari dulu ia tak pernah melihatnya? Kenapa Julian selalu terlihat diam seperti patung di kelas selama setengah semester mereka bersama?
Sebenarnya Karina tak mau mengganggu Julian membaca. Tapi jika mereka hanya terdiam berdua di bangku seperti ini, keadaan kelas riuh karena pelajaran kosong, entah kenapa tak membuatnya hilang dari kesunyian. Karena itu, Karina sepertinya harus mencoba mengajak cowok itu mengobrol—mungkin sedikit saja.
"Oh, ya, Jul ..." Begitu dipanggil Julian mendongak menatap Karina. Tatapannya seolah-olah bertanya 'Kenapa?' dan Karina menyadari. "Lo deket banget, ya, sama Rizky?"
"Dia itu sahabat gue," jawab Julian singkat.
"Oh ...."
"Kenapa?" Julian bertanya setelah matanya kembali ke lembar novel.
"Nggak apa-apa sih."
Jujur Karina bingung apa lagi yang harus ia tanyakan. Julian terlihat tak berminat menanggapi ucapannya. Ia takut Julian akan menganggapnya beban yang merepotkan. Memikirkan itu membuat Karina menghela napas.
"Lo suka sama Kiki?"
"E-eh? N-nggak kok!" Karina tergagap sambil menggeleng-geleng cepat. Julian meliriknya dari sudut mata.
"Iya juga nggak apa-apa."
Karina menundukkan kepalanya, entah kenapa perkataan Julian membuatnya merasa sedikit kecewa.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO HIM [COMPLETE]
RomanceKarena sebuah kecelakaan nahas, Julian Marvel mengalami kesialan karena ruhnya harus bertukar tubuh dengan seorang pemuda tak dikenalnya. Beberapa hari saling mengenal, Julian baru tahu kalau ruh penempat raganya adalah pemuda yang bersekolah di sek...