"Lo mau ke mana, Jul?" tanya Hazel setelah dirinya selesai membereskan pakaian-pakaian ibunya ke dalam tas besar dan menaruhnya di ranjang rumah sakit. Hari ini ibunya sudah diperbolehkan kembali ke rumah dan bisa mulai berobat jalan.
Julian sudah benar-benar di ambang pintu setelah Hazel menanyakan itu. Matanya yang sayu menatap lagi ke arah Hazel. Ia mengantuk berat karena semalaman ikut menemani Hazel menjaga ibunya.
"Hari ini libur, 'kan?" katanya lagi. "Kalau mau pulang gue anterin aja."
Mendengar penawaran itu Julian menanggapinya dengan senyum. Padahal awalnya ia lumayan gondok karena semalaman Hazel tidur dengan pulas sedangkan dirinya sendirian begadang di kursi. Bukan karena apa-apa sih, tapi semalam itu posisi Hazel tidur membuatnya tidak nyaman. Mereka duduk di kursi yang sama, keras, dan dengan tidak manusiawinya Hazel menjadikan bahunya sebagai sandaran.
Bodohnya Julian tidak menyingkir, kata hatinya berkata lain saat itu. Terlebih saat ia tahu kemarin malam Hazel juga tidak tidur semalaman dan tiba-tiba menangis dalam pelukannya di rumah Hazel sendiri.
Sebenarnya keadaan sempat awkward karena kecanggungan di antara mereka setelah kejadian itu. Tapi, ya, namanya Hazel bagaimanapun juga tidak akan pernah berubah. Sifatnya yang santai dan bersahaja membuat kebekuan itu cair begitu saja.
"Udah lo temenin Bunda aja," jawab Julian akhirnya. Ia tidak merasa aneh ketika menyebut ibunya Hazel dengan sebutan 'bunda'. Ia sudah terbiasa.
"Trus lo? Langsung pulang, 'kan?"
"Gue mau ke gelanggang olahraga, hari ini turnamen basketnya Kiki," ujarnya.
Hazel mengangguk, dan tiba-tiba seseorang menginterupsi kecanggungan itu. Yang ternyata adalah ibunya.
"Zel, katanya ada taksi di depan buat Bunda, kamu yang pesen?" kata ibunya yang berbicara di ambang pintu dekat Julian.
Hazel mendengus malas. "Nggaklah, bukan buat Bunda kali."
"Orang tadi satpam nyebutin nama lengkap Bunda kok," jawab sang ibu lagi kebingungan.
Akhirnya Julian yang merasa bertanggung jawab atas hal itu, langsung angkat bicara, "Julian yang pesenin, Tant."
"Ya ampun, kamu ini ngerepotin." Wajah ibu Hazel terlihat tak enak hati. "Bisa dicancel nggak? Tante jadi nggak enak."
"Eh? Ya nggak bisa. Lagian aku nggak mungkin biarin Tante naik motor Hazel." Julian bingung, lalu menatap Hazel yang berjalan terlebih dulu melewatinya. Ia merasa aneh mengenai wajah Hazel yang tiba-tiba datar dan kesal一berharap bukan karena dirinya. "Bentar deh, aku ke depan dulu."
Tanpa menunggu jawaban dari Hazel maupun ibunya, Julian langsung berlari ke lobi. Sementara Hazel dan ibunya berjalan dalam diam. Jadi posisi mereka kini, Hazel di depan dan ibunya mengekor di belakang. Hazel sama sekali malas untuk membuka percakapan dengan ibunya itu.
"Zel?"
"Hmm?"
"Biaya rumah sakitnya gimana?" tanyanya pelan. Ia memandang bahu anaknya yang selama ini jarang diperhatikannya. Tubuhnya tegap dan rambutnya agak sedikit panjang. Kalau biasanya ia hanya bisa melihat anaknya saat tidur, kini ia bisa melihat anaknya itu ada bersama dalam waktu yang lama.
"Ya, udah dibayarlah, Bun. Kalau nggak, mana mungkin boleh pulang," jawabnya ketus.
Ibunya menghela napas pelan. "Kamu tuh ditanya baik-baik juga. Maksud Bunda gimana kamu bayarnya? Pakai uang apa?"
"Udahlah, Bunda nggak usah tanya-tanya. Yang penting sekarang Bunda pulang trus istirahat," jawab Hazel masih ketus. Ia berbalik sekadar melihat ekspresi ibunya. Dan terkejut saat melihat ibunya hanya terdiam sambil menunduk. "Makanya jangan kerja sampe larut malem lagi. Sakit 'kan jadinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO HIM [COMPLETE]
RomantizmKarena sebuah kecelakaan nahas, Julian Marvel mengalami kesialan karena ruhnya harus bertukar tubuh dengan seorang pemuda tak dikenalnya. Beberapa hari saling mengenal, Julian baru tahu kalau ruh penempat raganya adalah pemuda yang bersekolah di sek...