Julian menatap langit-langit ruangan dengan mata yang berat. Saat ini ia tidak berada di rumahnya, dan ia sangat bersyukur. Julian tidak bisa memikirkan tempat singgah lain sampai Adam menolongnya siang tadi dari amukan Hazel. Ya—amukan Hazel.
Gila, ya.
Kakak kelas yang disukainya itu benar-benar membuat Julian lumpuh bicara. Kemarahan yang dilontarkan bertubi-tubi dengan sangat tidak santainya membuatnya takut. Dengan sangat pasrah, ia menelan semua itu bulat-bulat hingga dadanya sakit. Ini pertama kalinya bagi Julian melihat Hazel murka, dan itu karena dirinya. Karena kecerobohannya.
Suara pintu yang terbuka membuat Julian menoleh, ia berjengit dan mengusir air mata yang tanpa sadar menggenang di pelupuknya. Ia bingung harus berekspresi seperti apa ketika ranjang yang ditidurinya berderit karena orang yang baru saja masuk itu duduk di sana.
"Gih, makan dulu," suruhnya.
"Hm."
"Baguslah. Lo udah dapet balasan yang setimpal."
Tubuhnya tersentak saat Adam menyentuh tangannya. Saat melihat Adam membuat rasa bersalahnya terus muncul. Semua kejadian ini berhubungan dengan apa yang terjadi siang tadi. Ia tak pantas menerima uluran tangan siapa pun kali ini. Ia sudah keterlaluan.
"Jangan sok peduli."
Seluruh tubuhnya sangat ngilu begitu Julian memaksa untuk duduk. Tangannya meraba kantung seragamnya namun tak menemukan benda yang dicarinya.
"Di mana HP gue?" tanyanya pada Adam.
Adam segera mengambil tas 'Hazel' dan menemukan ponselnya ada di sana. Dengan lancangnya menekan power button di bagian atas hingga ponselnya terbuka, lalu berdecak. Hazel tidak pernah berubah, ponsel itu seharusnya menjadi barang pribadi, tapi anak itu tidak pernah mengamankannya dengan sandi. Adam sudah cukup hafal bagaimana teman-temannya yang jahil. Mereka bisa sangat menyebalkan jika sudah membajak akun sosial milik yang lain.
"Dari tadi bunyi terus, kayaknya ada yang nelpon." Adam melihat ke layar.
Julian mengambil alih ponsel itu. Dari sekian banyak kontak yang ada di phone book, justru nomor tidak dikenal yang menelponnya. Tak butuh waktu berpikir untuk mengenali pemilik nomor itu—jelas sekali kalau itu adalah Kiki. Ia sudah hafal nomornya meskipun Kiki punya nomor ponsel dua sekalipun.
"Gue mau pulang," putus Julian.
"Nggak!"
Julian mengerutkan dahi.
"Lihat keadaan lo sendiri, Mas Playboy. Kacau, lusuh, bonyok—kayak orang mau mati."
Nyatanya pernyataan ketus itu tidak membuat Julian tersinggung. Perasaannya sudah terlanjur penuh dengan rasa sakit yang diberikan Hazel.
"Sampe kapan lo mau nyiksa diri sendiri? Lo nggak lagi ngode untuk narik simpati anak kelas dua itu, 'kan?"
Julian terkejut—entah dari mana Adam tahu kalau ia dan 'Julian' terlihat sangat dekat. Apakah Julian terlihat seperti sedang memberi sinyal atau semacamnya?
Alih-alih menjawab, Julian mendesah. "Kenapa lo nolongin gue?"
"Pertanyaan bego."

KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO HIM [COMPLETE]
RomanceKarena sebuah kecelakaan nahas, Julian Marvel mengalami kesialan karena ruhnya harus bertukar tubuh dengan seorang pemuda tak dikenalnya. Beberapa hari saling mengenal, Julian baru tahu kalau ruh penempat raganya adalah pemuda yang bersekolah di sek...