Hazel membuka matanya, memperlihatkan iris matanya yang cokelat dengan gerak gelisah. Ia letih dan lemah. Sejenak ia terdiam, mengedarkan pandangan ke sekitar, berusaha mengenali situasi apa yang tengah ia hadapi.
Uh, ya, Hazel tidak mengingat apa pun. Tepatnya bagaimana ia bisa terbaring dengan tubuh terlampau lemah di ranjang ini. Kepalanya nyeri luar biasa, seakan-akan pikirannya berusaha menghilangkan sesuatu dari dalam otaknya. Lalu memaksanya untuk terlelap.
Saat dunianya silau karena neon yang menyorot di langit-langit ruangan, saat itu pula ia menyadari ada satu orang lain yang bersamanya di sana. Duduk sambil menatapnya dengan cemas. Seorang laki-laki setengah baya. Bibir laki-laki itu seperti mengatakan sesuatu, mungkin kata-kata, yang sayangnya tidak bisa ia dengar karena tiba-tiba semuanya menjadi gelap.
Tidak.
Hazel mencoba membuka matanya lagi, kali ini ia terkejut karena menggerakkan kelopak matanya secara tiba-tiba. Dan lampu di langit-langit membuatnya menyipit karena silau. Ia merasakan sentuhan di tangannya, kemudian sebuah ucapan berlumur nada lega, "Akhirnya lo sadar juga."
Mendengar suara itu membuat Hazel kembali membuka matanya. Samar-sama ia melihat bahwa itu adalah Kiki, dengan satu orang lain bertubuh jangkung yang tengah melipat dada di sebelahnya.
Mata Hazel bergerak tak fokus, ia tak bisa mengeluarkan suara bahkan ketika bibirnya berusaha berkata.
"Udah jangan lo paksain," kata Kiki lagi sembari mengusap-usap lengannya. Lalu Kiki mengalihkan pandangannya pada pemuda jangkung yang sejak tadi diam. "Ren, Kayaknya kita harus panggil dokter deh."
Ren—atau itu yang Hazel tahu—mengembuskan napas. "Ya, udah, biar gue aja," katanya kalem.
Kiki mengangguk. Lalu menoleh lagi ke arah Hazel dengan senyuman tipis.
"Julian," panggil Kiki, seolah orang yang ditanyainya tak sigap melihat ke arahnya.
Saat itu pula Hazel menyadari sesuatu bahwa—
"Lo istirahat, ya, gue sama Rendy bakal nemenin lo di sini."
—sejak kapan namanya berubah menjadi Julian?
***
Ini terjadi lagi. Pasti. Tidak mungkin sekarang Hazel terbaring di rumah sakit dan orang-orang yang menjenguknya memanggilnya Julian. Oh, tidak. Dejavu. Sebelumnya ia pernah mengalami hal yang sama. Kecelakaan, kebingungan, dan orang-orang yang salah menyebutkan namanya.
Kalau begitu, ini artinya—
"Manis, nggak?" Perhatian Hazel teralih saat tangan seorang wanita mengusap jemarinya. Ia bingung untuk berekspresi. Sejak tadi pikirannya melayang-layang tanpa menghayati bagaimana indera pengecapnya merasakan buah apel.
Jadi Hazel hanya mengangguk.
"Kata dokter kalau keadaan kamu membaik, nanti sore udah bisa pulang," kata wanita itu lagi sambil menyuapkan sepotong apel yang sudah dikupas. Hazel lagi-lagi hanya menanggapinya tanpa ekspresi, menatapi jam dinding di depannya yang menunjukkan pukul dua kurang sepuluh menit lagi.
Ketika satu potong apel mampir di bibirnya, Hazel buru-buru menepisnya. Ia tidak merasa lapar lagi. Ia ingat semuanya, bahwa ia kembali ke dalam tubuh Julian, yang bodohnya karena kecelakaan tolol itu lagi. Seperti waktu itu.
"Tadi Karina ke sini." Mata Hazel kembali pada wanita itu—ibunya Julian. Ia terlihat mengelap tangannya pada tisu, sebelum akhirnya menatap Hazel. "Tapi cuma sebentar, soalnya kamu lagi tidur."
"Karina?" tanya Hazel dengan suara yang amat parau. Alisnya mengerut mendengar suara Julian di mulutnya. Ini pertama kalinya ia bicara setelah membuka mata. "Siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
RUN TO HIM [COMPLETE]
RomanceKarena sebuah kecelakaan nahas, Julian Marvel mengalami kesialan karena ruhnya harus bertukar tubuh dengan seorang pemuda tak dikenalnya. Beberapa hari saling mengenal, Julian baru tahu kalau ruh penempat raganya adalah pemuda yang bersekolah di sek...