BAB 6

1.3K 61 1
                                    

Double updateeee
Jangan lupa baca BAB sebelum ini
Jangan sampai ke skip


“Aku boleh ikut duduk di sini nggak?” tanya Rehan, menaruh nampannya di atas meja, meja yang di tempati oleh Tania dan Urfi.

Tania dan Urfi mengangkat kepala, menatap Rehan. “Meja lain banyak yang kosong” ketus Tania.

Rehan mengangguk. “Iya, tapi aku nggak mau makan sendirian. Dan di kantor ini cuman kalian yang aku kenal”

Tanpa menunggu persetujuan terlebih dahulu, Rehan mendudukkan bokongnya di kursi, tepat di depan Urfi. Tania mendengus melihat Rehan yang bersikap sok akrab dengan mereka.

Rehan memperhatikan Urfi, perempuan itu menunduk, menikmati makan siangnya. Mata Rehan berfokus kepada jari manis Urfi yang sudah di isi oleh cincin. “Udah tunangan, Fi?” tanyanya.

“Hah?” Urfi mengangkat kepalanya. Sadar jika Rehan melihat ke arah cincinnya, Urfi menganggukkan kepala. “Udah nikah”

“Oh, udah nikah ternyata” Rehan sedikit kecewa. Dirinya baru bertemu Urfi lagi ketika perempuan itu sudah menjadi istri orang. “Beruntung, ya, orang yang jadi suami kamu, Fi”

Urfi menatap Rehan mengernyit.

“Ya, beruntung, kan. Dia bisa memperistri perempuan sebaik kamu” tambah Rehan.

“Nyesal kan kamu udah selingkuh!” sindir Tania.

Rehan menganggukkan kepalanya. “Iya, menyesal pasti. Aku tahu kalau di masa lalu aku udah salah banget, aku minta maaf, ya, Fi? Aku benaran tulus minta maaf sama kamu, tapi belum ada kesempatan. Aku di blokir sama kamu, Fi, dan untungnya kita bisa ketemu” Rehan tersenyum.

Tania meneguk ludahnya. Dia yang memblokir Rehan dari kehidupan Urfi. Tania pelakunya, dan Tania tidak menyesal melakukan itu. Karena dia, Urfi bisa melupakan Rehan dengan cepat tanpa perlu mengenang masa-masa ketika mereka berpacaran.

“Iya, udah di maafin. Anggap aja dulu kita sama-sama salah. Aku salah karena nggak bisa jadi pacar yang baik buat kamu sampai-sampai kamu cari perempuan lain yang bisa menutupi kekurangan aku”

Rehan menatap Urfi dalam. “Ini yang bikin aku suka sama kamu, Fi. Kamu terlalu baik. Aku yang salah, malah kamu yang merasa bersalah. Andai, ya, kamu belum nikah, aku bakal dekatin kamu lagi, Fi”

Urfi tersenyum tipis. “Aku udah nikah. Kamu jangan coba-coba dekatin aku lagi. Kalau kamu mau jadi teman, masih bisa”

Rehan mangut-mangut. “Iya, mohon bantuannya senior Urfi”

Urfi tertawa kecil. Tidak mau terlalu mengambil pusing masalah di masa lalu, lagi pula Rehan sudah meminta maaf dengannya secara tulus. Jadi, Urfi harus memaafkan, dan melupakan hubungan buruk mereka di masa lalu.

Tania tampak memikirkan sesuatu, kemudian dia mengulum senyum. “Kenapa kamu nggak pepet Urfi aja?”

Rehan terbatuk, wajahnya memerah, minumannya masuk ke dalam saluran yang salah mendengar ucapan Tania. Kemudian, Rehan tergelak. “Lucu banget, Tan. Kamu mau aku di bunuh sama suami Urfi?"

Urfi yang awalnya menatap Tania panik, ikut tergelak. “Iya, Tania lucu banget” Urfi mendekatkan wajahnya ke arah Tania, berbisik. “Jangan bercanda kayak gitu, nanti dia anggap serius”

“Kenapa enggak? Kan, walaupun jadi istri orang masih bisa di rebut. Apalagi kalau suaminya nggak jagain istrinya dengan baik” ucap Tania lagi, membuat Rehan terdiam. Tania tampak serius dengan ucapannya.

Urfi mencubit lengan Tania, membuat perempuan itu mengaduh. “Kamu mau bongkar rumah tangga aku yang retak?” bisiknya dengan mata terus menatap Rehan, berharap Rehan tidak mendengar apa yang dia ucapkan.

Urfi tertawa, tawa yang di buat. “Tania bisa banget bikin suasana tegang”

Rehan ikut tertawa. “Mungkin itu salam sapaan buat nuntasin dendam dia, ya” Rehan menghentikan tawanya ketika Tania masih menatapnya dengan wajah serius. “Lebih baik kamu pukul aku, Tan. Aku ikhlas”

“Kamu mau pukul di mana?” tanya Rehan, berdiri, sedikit mencondongkan badannya mendekat ke arah Tania. “Aku siap di pukul kalau memang kamu masih punya dendam sama aku di...”

BUGH.
Tubuh Rehan terhuyung ke samping ketika Tania melayangkan pukulan tepat di pipinya. Pukulan itu tidak main-main, sudut bibir Rehan sampai mengeluarkan darah. Urfi terlonjak kaget, menutup mulutnya dengan mata melotot. Karyawan lain yang ada di kantin juga mengalihkan pandangan ke arah mereka.

“Rehan!” pekik Urfi, berpindah membantu Rehan untuk duduk kembali di kursi. Urfi menatap wajah Rehan panik, kemudian beralih menatap Tania yang mengangkat bahunya, dengan alis terangkat sebelah.

Rehan memegangi pipinya yang berdenyut. Sepertinya Tania sudah mengumpulkan tenaga, dan menumpahkan dendam yang dia pendam selama bertahun-tahun melalui tonjokannya.

“Kamu yang minta di pukul, kan, Han?” tanya Tania.

Rehan menatap Tania, meringis kesakitan. “Kamu latihan bela diri apa sih, Tan? Sakit banget gila!”

Rehan sama sekali tidak marah dengan Tania yang memukulnya, toh, dia sendiri yang menyuruh Tania untuk memukul. Setidaknya, dendam Tania terbalaskan, dan Rehan juga bisa melepaskan rasa bersalahnya.

“Kamu nggak mau obatin Rehan, Fi? Kasihan banget bibirnya luka itu” Tania menatap Urfi yang masih berdiri di samping Rehan.

“Nggak perlu kayak gini tahu, Tan. Dia udah minta maaf juga” Urfi beralih memegangi pipi Rehan, tapi laki-laki itu malah meringis. “Ini aku harus ngapain?” tanyanya bingung.

Rehan menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, Fi” Dia beralih menatap Tania. “Udah impas, kan, Tan? Nggak ada dendam lagi?”

Tania menganggukkan kepalanya. “Iya, lihat nanti gimana kamu bertindak aja lagi”

“Kita ke klinik aja, deh, Han. Klinik ada di dekat sini” Urfi membantu Rehan berdiri, sedikit memapah tubuh laki-laki itu. Meskipun kesusahan, dia harus bertanggung jawab karena ini ulah sahabatnya.

********

“Tadi kamu lihat Tania nonjok laki-laki di kantin”

“Iya, tadi aku lihat, yang laki-laki sampai tersungkur gitu kan” sahut temannya tergelak.

Gahar sedikit mengernyit mendengar tiga orang karyawan yang berdiri di depannya itu membicarakan Tania. Tania sahabat Urfi?

Saat ini mereka menunggu lift untuk naik ke lantai atas. Gahar berdiri di belakang karyawan yang sepertinya tidak menyadari keberadaannya karena sibuk bergosip.

“Kayaknya Tania pernah belajar taekwondo kali, ya”

“Tinju paling, sampai mulutnya berdarah gitu”

“Tapi, tadi Urfi bawa dia ke klinik”

“Padahal dia udah punya suami, ya, masih aja bantuin laki-laki lain”

“Eh, nanti ada yang dengar, di pecat kamu sama Pak Gahar. Mata tahu Urfi niat bantuin karena kasihan”

Ketiga karyawan itu masuk ke dalam lift saat pintu lift terbuka. Ketika membalikkan badan, mereka terkejut melihat Gahar yang berdiri di depan lift. Mereka berubah gelagapan seperti maling yang tertangkap basah.

“Pak, mau naik?” tanya salah satu dari mereka.

Gahar tidak menjawab, dia memutar badannya, mengurungkan niatnya untuk kembali ke ruangan kerja. Mendengar pembicaraan karyawannya tadi sedikit membuat Gahar risau. Dia ingin memastikan sendiri siapa laki-laki yang di tolong Urfi, dan apakah Urfi baik-baik saja. Sebenarnya, Gahar sedikit cemburu mendengar Urfi menolong laki-laki lain.

Gahar segera masuk ke dalam klinik, di dalam tidak ada Nisa, mungkin dokter itu masih makan siang di luar. Samar-samar Gahar mendengar suara seseorang. Gahar semakin mempercepat langkah kakinya, melihat orang yang berada di dalam klinik.

Gahar mematung melihat pemandangan di depannya, Urfi sedang mengobati luka di bibir laki-laki yang Gahar belum pernah lihat. Bukan itu fokusnya, mata Gahar berfokus ke tangan Urfi yang di pegangi oleh laki-laki lain. Tangan Gahar terkepal kuat, hatinya mendadak panas.

Rehan mendesis. “Pelan-pelan, Fi” tangannya memegangi tangan Urfi.

“Ini udah pelan-pelan, Han” Urfi kembali memberikan obat merah di bibir Rehan yang terluka. “Lagian kamu ngapain minta Tania buat mukul. Udah tahu dia bakal anggap itu serius”

“Ya, aku..” Rehan menghentikan ucapannya saat matanya melihat seseorang berdiri di tidak jauh dari mereka. “Ada orang, Fi”

Urfi menghentikan pergerakan tangannya, mengernyit bingung. Urfi membalikkan badannya, matanya membulat ketika melihat Gahar yang menatap ke arah mereka dengan tatapan tajam, seperti ada busur panah yang siap di lepas ke arah Rehan.

“Gahar” gumam Urfi.

Gahar berdeham, menormalkan ekspresi wajahnya. “Aku dengar ada keributan di kantin. Aku ke sini mau ngecek siapa karyawan yang luka” alibinya. Padahal Gahar ke klinik karena mendengar nama Urfi.

“Oh, ini, yang luka Rehan” Urfi menjauhkan tubuhnya dari Rehan, menggesernya ke samping agar Gahar bisa melihat wajah Rehan dengan jelas.

“Kamu kenal?” tanya Gahar.

Urfi mengangguk. “Dia karyawan baru di Divisi aku”

“Karyawan baru?” ulang Gahar. Urfi langsung membantu karyawan baru, dan membawanya ke klinik dengan kondisi klinik tanpa ada orang lain. Cukup berani Urfi berduaan dengan laki-laki di kantor.

“Kita udah saling kenal dari lama”

Bukan Urfi yang mengatakan itu, tapi Rehan, laki-laki itu menatap Gahar santai. Dia tidak tahu dengan siapa dirinya berbicara karena Rehan masuk ke kantor di interview oleh Bu Betty langsung. Mungkin bisa di bilang keluarganya ada yang mengenal Bu Betty, jadi dia masuk melalui jalur orang dalam.

“Kamu belum pernah cerita kalau kenal sama laki-laki bernama Rehan”

Urfi terdiam beberapa saat. Bagaimana Urfi akan bercerita kalau dia baru bertemu Rehan lagi hari ini? Urfi juga tidak mungkin bercerita karena Gahar tidak lagi menjalin komunikasi yang baik dengannya.

“Kenapa Urfi harus cerita sama kamu, ya? Dia nggak punya kewajiban buat cerita ke orang lain”

Gahar tersenyum miring, berjalan mendekati Urfi. Perlahan tangan Gahar menggenggam tangan Urfi. “Tentu dia harus bercerita karena dia istri Saya”

Rehan terkejut, beralih menatap Urfi. “Benar, Fi?” tanyanya.

Urfi menganggukkan kepalanya, melepaskan tangan Gahar dari tangannya, Urfi kurang nyaman dengan perlakuan Gahar yang tiba-tiba saja menggenggamnya. Gahar tidak perlu melakukan itu jika hanya ingin memberitahu status mereka. “Iya, Han. Dia suami aku”

Gahar melirik Urfi. Kenapa Urfi melepaskan tautan tangan mereka? Apa Urfi tidak ingin Rehan melihat tangan mereka bertaut?

Urfi beralih menatap Gahar. “Kamu bisa balik ke ruangan kamu, Har. Aku mau bantuin ngobatin Rehan dulu”

“Kenapa kamu yang ngobatin?”

“Ya, karena aku kenal sama dia, dan dia teman kerja aku”

“Kan bukan kamu yang lukain dia”

“Apa harus orang yang lukain yang ngobatin?”

Gahar mengangguk. “Harus, dia harus tanggung jawab”

Urfi tertawa singkat. Apa Gahar tidak sadar jika ucapannya itu lebih tepat di katakan kepada Gahar? Apa kabar dengan Gahar yang melukai Urfi? Laki-laki itu tidak berniat mengobati lukanya, bukannya Gahar harus bertanggung jawab. “Kamu lucu, Har”

Kemudian Urfi kembali menghadap ke arah Rehan yang menatap perdebatan sepasang suami istri itu dengan bingung. Bertanya-tanya apa yang sedang terjadi di antara mereka?

Gahar menahan tangan Urfi yang hendak menyentuh pipi Rehan. Urfi menatap Gahar bingung. “Biar aku aja yang ngobatin dia. Aku harus mengobati karyawan aku yang terluka”

******

Mulai ketar-ketir deh Pak Gahar satu ini

Mari, Berbagi Luka (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang