HAPPY READING
NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA
"Di dunia yang penuh sorotan, keaslian hati sering kali tersembunyi di balik topeng sempurna."
*
*
*Bab 3: Kehidupan Sekolah yang Berbeda
Keesokan harinya, sinar matahari pagi yang lembut menyinari halaman SMA Araya. Sakala berjalan dengan tenang, mengenakan seragam yang rapi, tetapi pikirannya melayang jauh dari hiruk-pikuk di sekitarnya. Hari pertama di sekolah baru telah berlalu, namun jejaknya masih terasa kuat. Pertemuan dengan Aurora di perpustakaan kemarin telah membuka pandangan baru tentang sekolah ini. Ada sisi lain dari SMA Araya yang tidak hanya berisi kemewahan dan sorotan status sosial, tetapi juga jiwa-jiwa yang penuh pertanyaan seperti dirinya.
Saat Sakala melewati lorong menuju kelas, ia menyadari satu hal: semakin lama ia berada di sini, semakin banyak tatapan yang tertuju padanya. Bisik-bisik tentang siapa dirinya, dari mana dia berasal, dan tentunya tentang kekayaan keluarganya semakin terdengar. Bagi sebagian besar siswa, Sakala adalah sosok baru yang penuh misteri, dan itu membuatnya semakin menjadi pusat perhatian. Di satu sisi, ia tidak menyukai perhatian berlebihan itu, tetapi di sisi lain, ia menyadari bahwa ini adalah konsekuensi dari statusnya.
Ketika Sakala memasuki kelas, dia melihat bahwa hampir semua tempat duduk sudah terisi. Teman-teman sekelasnya sedang sibuk berbincang atau mempersiapkan diri untuk pelajaran pertama. Sebagian dari mereka, seperti biasa, melirik ke arah Sakala saat dia berjalan ke bangkunya di dekat jendela. Namun, ada satu wajah yang sudah dikenal dan selalu membawa sedikit kehangatan dalam suasana yang penuh formalitas ini: Bintang Anargya Wicaksana.
Bintang tersenyum lebar saat melihat Sakala mendekat. "Pagi, Sakala! Gimana? Udah mulai terbiasa sama sekolah ini?" tanya Bintang dengan nada ramah.
Sakala mengangguk sambil tersenyum tipis. "Lumayan. Setidaknya aku mulai tahu di mana letak perpustakaan."
Bintang tertawa. "Ah, perpustakaan, ya? Tempat favorit lo, nih?"
Sakala tersenyum kecil. "Bisa dibilang begitu. Di sana rasanya lebih... tenang."
"Yah, lo memang beda dari kebanyakan anak di sini," komentar Bintang sambil menepuk pundak Sakala dengan ringan. "Kebanyakan orang di sini lebih suka nongkrong di kantin atau lapangan olahraga. Tapi gue paham. Perpustakaan kadang emang bisa jadi tempat pelarian yang bagus."
Sakala mengangguk pelan. Dia menghargai sikap Bintang yang ramah dan tidak menghakimi. Meskipun mereka baru bertemu kemarin, Bintang sudah menunjukkan bahwa dia bukan tipe orang yang suka ikut-ikutan tren sosial di sekolah ini. Dia lebih memilih menjadi dirinya sendiri, sesuatu yang sangat dihargai Sakala.
Pelajaran hari itu berlangsung seperti biasa. Guru-guru di SMA Araya terkenal tegas namun profesional. Setiap materi dijelaskan dengan baik, dan para siswa diharapkan untuk berpartisipasi aktif. Meskipun begitu, Sakala masih merasa sedikit terasing. Ada jarak antara dirinya dan teman-temannya, terutama karena mereka sering berbicara tentang hal-hal yang tidak menarik minatnya—mobil mewah, liburan mahal, atau pesta-pesta yang diadakan di rumah besar mereka.
Setelah beberapa jam, bel tanda waktu istirahat berbunyi. Sakala berencana untuk kembali ke perpustakaan, namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya.
"Sakala!"
Suara itu terdengar cerah, dan ketika Sakala menoleh, dia melihat Aurora sedang berdiri di ujung lorong, tersenyum kepadanya. Gadis itu berjalan mendekat, rambut hitamnya bergoyang lembut di bahunya, dan wajahnya yang cerah menyiratkan kehangatan yang membuat suasana di sekitarnya terasa lebih ringan.
"Pagi," sapa Aurora sambil tersenyum lebar. "Kamu mau ke perpustakaan lagi?"
Sakala mengangguk. "Iya, aku berencana ke sana. Bagaimana denganmu?"
Aurora mengangkat bahu dengan santai. "Aku juga. Aku butuh suasana yang tenang untuk membaca sebelum pelajaran berikutnya. Boleh aku ikut?"
Sakala mengangguk, sedikit terkejut tapi senang. "Tentu saja."
Mereka berjalan berdampingan menuju perpustakaan. Meskipun suasana di sekitar mereka dipenuhi dengan suara canda tawa siswa lain, percakapan antara Sakala dan Aurora terasa lebih intim dan tenang. Mereka berbicara tentang buku, film, dan hal-hal sederhana yang menjadi minat keduanya. Sakala merasa nyaman berbicara dengan Aurora, meskipun baru beberapa kali bertemu. Aurora memiliki cara bicara yang lembut dan penuh pemahaman, sesuatu yang jarang ia temukan di tempat ini.
Sesampainya di perpustakaan, mereka duduk di meja yang sama seperti kemarin. Aurora membuka buku yang dia bawa, sementara Sakala membuka "The Great Gatsby" yang kembali dipinjamnya. Mereka berdua tenggelam dalam dunia masing-masing, tapi keheningan di antara mereka terasa menyenangkan. Seolah-olah kehadiran Aurora memberi keseimbangan bagi Sakala.
Setelah beberapa menit, Aurora menutup bukunya dan menatap Sakala dengan penasaran. "Kamu sepertinya selalu menyendiri, ya?"
Sakala mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. "Kenapa kamu berpikir begitu?"
Aurora tersenyum, tetapi kali ini ada kehangatan yang lebih dalam di balik senyumnya. "Aku hanya memperhatikan. Setiap kali aku melihatmu, kamu selalu sendirian, atau kalau tidak, kamu memilih tempat yang lebih tenang seperti perpustakaan ini."
Sakala merenung sejenak sebelum menjawab. "Aku merasa lebih nyaman di tempat yang tenang. Keramaian kadang terlalu... berlebihan bagiku."
Aurora mengangguk, seolah memahami perasaannya. "Aku juga merasakannya kadang-kadang. Di sekolah ini, banyak orang yang terjebak dalam kehidupan sosial yang sibuk. Mereka selalu ingin menjadi yang terbaik, yang paling populer, tapi kadang aku merasa itu semua tidak benar-benar penting."
Sakala terdiam sejenak, memikirkan kata-kata Aurora. "Kamu benar. Aku juga merasa begitu. Banyak orang di sini seolah-olah hidup dalam gelembung—segala sesuatu hanya tentang bagaimana mereka dilihat oleh orang lain."
Aurora menatap Sakala dengan penuh minat. "Itu salah satu alasan kenapa aku suka perpustakaan. Di sini, aku bisa menemukan diriku sendiri tanpa harus peduli dengan apa yang orang lain pikirkan."
Sakala tersenyum kecil. "Aku setuju. Tempat ini memang memberi kedamaian tersendiri."
Mereka kembali tenggelam dalam buku masing-masing, tetapi kali ini, percakapan singkat itu meninggalkan kesan mendalam bagi Sakala. Aurora bukanlah seperti kebanyakan siswa di SMA Araya. Meskipun berasal dari keluarga yang juga terpandang, dia tidak terjebak dalam kehidupan sosial yang penuh tekanan. Dia tampaknya memahami arti dari ketenangan dan kedalaman, sesuatu yang jarang ditemukan di lingkungan ini.
Waktu istirahat berakhir, dan mereka berdua kembali ke kelas masing-masing. Sepanjang pelajaran selanjutnya, pikiran Sakala terus melayang ke percakapan mereka di perpustakaan. Aurora telah memberikan sudut pandang baru baginya—tentang bagaimana menghadapi kehidupan di SMA Araya tanpa harus terjebak dalam tekanan sosial. Dia merasa semakin tertarik dengan kepribadian Aurora yang tenang namun penuh dengan kebijaksanaan.
Di akhir hari, setelah semua pelajaran selesai, Sakala berjalan keluar dari kelas dengan perasaan campur aduk. Seiring dengan berjalannya waktu, dia mulai menyadari bahwa kehidupannya di SMA Araya mungkin tidak akan seburuk yang dia bayangkan sebelumnya. Ada beberapa orang, seperti Bintang dan Aurora, yang bisa membuat hari-harinya terasa lebih ringan dan bermakna.
Namun, di balik semua itu, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam dirinya—sebuah rasa penasaran yang mendalam. Apakah Aurora merasakan hal yang sama seperti dirinya? Apakah percakapan mereka di perpustakaan tadi hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar? Sakala belum memiliki jawabannya, tetapi dia tahu bahwa perjalanannya di SMA Araya baru saja dimulai. Dan mungkin, di tempat ini, dia akan menemukan sesuatu yang selama ini dia cari—cinta sejati, atau mungkin, sesuatu yang lebih dari itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Di Antara Hujan dan Matahari
ParanormalSakala Khafi Mahesa menjalani kehidupan sempurna di SMA elit, tetapi di balik pesonanya, ia menyimpan kebingungan tentang cinta sejati. Terjebak antara Aurora yang penuh gairah dan Nadira yang menenangkan, Sakala mendapati dirinya di persimpangan ja...