Pesta di Rumah Sakala

30 20 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Kemewahan dapat menyembunyikan kesepian, tapi tidak pernah bisa menggantikannya."

*
*
*

Bab 5: Pesta di Rumah Sakala

Suara deru mobil terdengar saat Sakala berdiri di halaman depan rumahnya, memandang taman yang indah dan tertata rapi. Hari itu, rumah keluarga Mahesa dipenuhi oleh hiruk-pikuk persiapan pesta besar yang diadakan oleh ayahnya, Mahendra Mahesa, untuk merayakan kesuksesan salah satu proyek besar perusahaannya. Seluruh halaman depan dihiasi lampu-lampu mewah, sementara para pelayan sibuk mengatur meja dan dekorasi elegan.

Di tengah suasana penuh persiapan itu, Sakala merasakan perasaan asing—seolah-olah dia bukan bagian dari semua ini. Rumah keluarganya, meskipun penuh kemewahan dan fasilitas mewah, selalu terasa kosong baginya. Meskipun sering digunakan untuk mengadakan acara besar, jarang sekali rumah ini dipenuhi oleh kehangatan atau kebersamaan yang sejati. Lebih sering, ia digunakan sebagai simbol status, sesuatu yang harus ditunjukkan kepada dunia luar sebagai bukti kekuatan dan kekayaan keluarga Mahesa.

Sakala tidak menyukai pesta besar seperti ini, terutama yang diadakan oleh ayahnya. Biasanya, acara-acara semacam ini dipenuhi oleh tamu-tamu dari kalangan bisnis dan sosialita, orang-orang yang berbicara tentang uang, kekuasaan, dan prestise. Namun, hari ini berbeda. Mahendra memutuskan untuk mengundang beberapa teman Sakala dari SMA Araya, meskipun Sakala sendiri tidak pernah meminta itu.

"Ini kesempatan bagus untukmu bergaul dengan teman-teman barumu," ucap Mahendra singkat ketika Sakala protes soal undangan itu. "Kamu harus membangun jaringan sejak dini. Masa depanmu tidak hanya bergantung pada nilai akademis, tetapi juga pada siapa yang kamu kenal."

Kata-kata ayahnya berulang kali terngiang di kepala Sakala saat ia berdiri di sana, menyaksikan tamu-tamu mulai berdatangan. Ayahnya memang pandai merencanakan segalanya—terutama dalam hal memajukan karirnya sendiri. Sakala paham bahwa ia diharapkan untuk mengikuti jejak ayahnya, tetapi semakin lama ia berada dalam lingkungan ini, semakin ia merasa terasing.

Beberapa mobil berhenti di depan pintu gerbang, dan Sakala melihat beberapa wajah familiar keluar dari dalamnya. Bintang adalah yang pertama mendekat, mengenakan kemeja kasual dan senyum lebar di wajahnya.

"Sakala! Pesta besar, ya?" seru Bintang sambil melangkah cepat mendekatinya. "Rumah lo gila! Gue belum pernah ke tempat sekeren ini."

Sakala tertawa kecil, meski hatinya tidak terlalu antusias. "Iya, ini acara ayahku. Gue juga nggak terlalu suka acara seperti ini, sih."

Bintang menepuk bahu Sakala. "Santai aja. Kita di sini buat menikmati makanan gratis dan ngobrol, bukan buat mikirin soal bisnis."

Sakala tersenyum lebih tulus kali ini. Di tengah gemerlap dan suasana formal ini, kehadiran Bintang memberikan sedikit kenyamanan. Setidaknya dia punya teman yang bisa membuat suasana tidak terlalu canggung.

Tak lama setelah itu, datanglah Aurora, dengan senyum khasnya yang ceria. Dia mengenakan gaun sederhana namun anggun, membuatnya tampak lebih dewasa dari usianya. Sakala tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum melihatnya. Aurora adalah salah satu dari sedikit orang yang bisa membuat Sakala merasa tenang di tengah segala kemewahan yang sering membuatnya merasa terasing.

"Hai, Sakala!" sapa Aurora sambil menghampiri mereka. "Pesta besar, ya? Aku nggak menyangka rumahmu sebesar ini."

Sakala menggaruk kepalanya yang tidak gatal, merasa sedikit tidak nyaman dengan pujian semacam itu. "Ya, begitulah. Ayahku yang urus semuanya."

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang