Pertemuan Rahasia dengan Nadira

17 8 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Terkadang, kejujuran yang paling sulit adalah kejujuran kepada diri sendiri."

*
*
*

Bab 10: Pertemuan Rahasia dengan Nadira

Sore itu, Sakala berjalan dengan langkah tenang menuju taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa lain. Tempat ini dikelilingi oleh pohon-pohon besar yang memberikan suasana sejuk dan tenang, jauh dari keramaian SMA Araya. Sakala tahu bahwa Nadira sering menghabiskan waktu di sini, menikmati kedamaian setelah hari-hari yang penuh dengan pelajaran.

Sejak percakapan mereka di perpustakaan beberapa hari lalu, Sakala merasa lebih dekat dengan Nadira. Meskipun dia belum sepenuhnya menemukan jawabannya tentang apa yang dia rasakan, perasaan nyaman dan aman saat berada di dekat Nadira semakin jelas. Di sisi lain, percakapannya dengan Aurora juga membuatnya menyadari bahwa tidak perlu terburu-buru dalam menentukan arah hubungan mereka.

Saat Sakala memasuki taman itu, dia melihat Nadira sudah duduk di bangku kayu yang tersembunyi di bawah pohon besar, dengan sebuah buku terbuka di tangannya. Cahaya matahari yang menyusup di antara dedaunan memberikan bayangan lembut di wajah Nadira, membuatnya tampak lebih damai daripada biasanya.

Nadira menoleh dan tersenyum ketika dia melihat Sakala mendekat. "Hai, Sakala. Kamu datang lagi."

Sakala membalas senyum itu sambil duduk di sampingnya. "Aku butuh tempat yang tenang. Dan aku tahu di sini pasti tempat yang tepat."

Nadira menutup bukunya, lalu menatap Sakala dengan tatapan tenang yang selalu membuatnya merasa bahwa semuanya akan baik-baik saja. "Kamu kelihatan lebih tenang dari terakhir kali kita bicara. Ada yang berubah?"

Sakala menatap tanah sejenak sebelum menjawab, suaranya pelan namun penuh kejujuran. "Aku masih belum menemukan semua jawabanku. Tapi aku mulai merasa lebih bisa menerima kebingunganku. Mungkin aku memang butuh waktu, seperti yang kamu bilang."

Nadira tersenyum tipis, tetapi senyum itu penuh dengan pemahaman. "Ya, kadang-kadang kita memang butuh waktu untuk memahami perasaan kita. Dan tidak apa-apa untuk merasa bingung, Sakala. Itu bagian dari proses."

Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, membiarkan angin sore yang lembut menyapu wajah mereka. Bagi Sakala, kehadiran Nadira selalu membawa kedamaian yang sulit dijelaskan. Meski mereka tidak selalu berbicara panjang lebar, keheningan bersama Nadira justru terasa nyaman. Seolah-olah mereka tidak membutuhkan kata-kata untuk saling memahami.

"Aku senang kita bisa bertemu di tempat ini," kata Sakala tiba-tiba, memecah keheningan. "Rasanya, di sini aku bisa berpikir lebih jernih. Jauh dari semua tekanan yang ada di sekolah, di rumah..."

Nadira menoleh, matanya penuh perhatian. "Apakah di rumah masih banyak tekanan?"

Sakala mengangguk. "Ya. Ayahku... dia terus menekanku soal masa depan. Tentang bagaimana aku harus melanjutkan apa yang dia mulai. Kadang aku merasa seperti hidupku bukan milikku sendiri."

Nadira mendengarkan dengan sabar, tidak memotong pembicaraan. "Itu pasti sulit," ujarnya pelan, suaranya penuh simpati. "Aku tahu bagaimana rasanya ketika orang lain memiliki harapan besar terhadapmu. Dan rasanya, seolah-olah kamu tidak punya pilihan."

Sakala terkejut mendengar pengakuan itu. Nadira selalu terlihat tenang dan bijaksana, seolah dia tidak pernah terpengaruh oleh tekanan luar. Tetapi kata-kata itu menunjukkan bahwa mungkin dia juga menyimpan beban yang tidak pernah diungkapkannya.

"Jadi, kamu juga merasa seperti itu?" tanya Sakala.

Nadira tersenyum tipis, tetapi kali ini ada sedikit kesedihan di balik senyumnya. "Ya, meskipun mungkin tidak seberat yang kamu alami. Aku dibesarkan dalam keluarga yang selalu mendorongku untuk menjadi yang terbaik, terutama dalam hal akademis. Kadang-kadang aku merasa seperti harus selalu sempurna di mata mereka. Tidak boleh ada kesalahan."

Sakala merasakan simpati yang mendalam terhadap Nadira. Dia tahu bagaimana rasanya dibebani harapan besar, dan mendengar bahwa Nadira merasakan hal yang sama membuatnya semakin menghargai gadis itu. Nadira tidak hanya memahami perasaannya, tetapi dia juga berbagi pengalaman yang mirip, meskipun dari sudut yang berbeda.

"Kamu tidak harus selalu sempurna, Nadira," kata Sakala pelan, menatap gadis itu dengan penuh empati. "Kamu sudah lebih dari cukup. Dan aku yakin keluargamu juga bangga padamu, meskipun mereka mungkin tidak selalu menunjukkan itu."

Nadira menatap Sakala, matanya berkilat lembut, seolah kata-kata itu benar-benar menyentuh hatinya. "Terima kasih, Sakala. Kata-katamu berarti banyak buatku."

Mereka berdua terdiam lagi, tetapi kali ini keheningan itu terasa lebih hangat. Sakala merasa ada kedekatan yang semakin tumbuh di antara mereka, sebuah kedekatan yang tidak selalu butuh kata-kata. Bersama Nadira, dia merasa bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus berpura-pura atau memenuhi harapan orang lain.

Namun, di balik kedamaian itu, Sakala juga menyadari bahwa semakin dia dekat dengan Nadira, semakin sulit baginya untuk memisahkan perasaan nyaman dan rasa cinta. Apakah apa yang dia rasakan terhadap Nadira adalah cinta sejati, atau hanya rasa tenang yang ia dapatkan dari kehadiran seseorang yang memahami dirinya? Pertanyaan ini terus berputar di benaknya, meskipun dia tahu bahwa jawabannya mungkin tidak akan datang dengan cepat.

Saat langit mulai berubah warna menjadi jingga, menandakan sore yang mulai beranjak malam, Nadira berdiri dari bangku kayu. "Aku harus pulang sekarang," katanya pelan. "Tapi aku senang kita bisa mengobrol lagi, Sakala. Seperti biasa, aku merasa lebih baik setelah berbicara denganmu."

Sakala tersenyum, meskipun hatinya masih diliputi kebingungan. "Aku juga, Nadira. Terima kasih karena selalu ada."

Nadira tersenyum lembut, lalu melangkah pergi, meninggalkan Sakala yang duduk sendirian di bangku taman. Ketika dia menghilang di balik pepohonan, Sakala merenung dalam diam. Dia menyadari bahwa meskipun Nadira membuatnya merasa tenang, ada perasaan lain yang tumbuh di dalam dirinya—perasaan yang mungkin lebih dari sekadar kenyamanan.

Tapi di sisi lain, ada Aurora. Aurora dengan keceriaannya yang selalu membuat hari-hari Sakala lebih hidup. Aurora yang penuh gairah, yang membuat Sakala merasakan emosi yang berbeda setiap kali mereka bersama. Di antara Nadira yang menenangkan dan Aurora yang penuh energi, Sakala merasa semakin sulit untuk menemukan jawabannya.

***

Malam itu, saat Sakala berbaring di tempat tidurnya, pikirannya terus melayang antara dua gadis yang begitu berbeda, tetapi sama-sama penting dalam hidupnya. Nadira adalah tempatnya menemukan ketenangan dan kedamaian, sedangkan Aurora adalah sumber kebahagiaannya yang penuh gairah. Keduanya menawarkan sesuatu yang berbeda, tetapi apakah salah satu dari mereka adalah cinta sejati yang selama ini dia cari?

Sakala memejamkan matanya, mencoba meredakan pikiran-pikiran yang terus berputar. Mungkin, seperti yang sering dikatakan Nadira, dia tidak perlu terburu-buru menemukan jawabannya. Mungkin dia hanya perlu waktu untuk merasakan semuanya.

Namun, satu hal yang pasti: perjalanannya untuk menemukan cinta sejati masih panjang, dan dia tahu bahwa keputusan yang akan dia buat akan mengubah segalanya.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang