Pengakuan Aurora

9 5 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Ketika cinta terungkap, pilihan menjadi jelas; bukan karena sederhana, tapi karena hati tidak bisa lagi menunggu."

*
*
*

Bab 16: Pengakuan Aurora

Hari itu, langit tampak mendung, seolah-olah meresapi suasana hati yang dirasakan Sakala. Suasana di SMA Araya terasa lebih tegang daripada biasanya, terutama bagi Sakala yang sejak pagi sudah merasakan tekanan semakin kuat di dalam dadanya. Pikirannya terus berputar sejak percakapannya dengan Nadira kemarin, namun ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang terus membayanginya—Aurora.

Selama beberapa hari terakhir, Aurora terlihat lebih tenang. Tidak ada tuntutan, tidak ada pertanyaan, hanya jarak yang semakin jelas di antara mereka. Namun, Sakala tahu bahwa di balik keheningan itu, ada perasaan yang tidak terucapkan, perasaan yang terus mengganjal.

Saat waktu istirahat tiba, Sakala berjalan sendirian ke taman belakang sekolah. Di tempat itu, di mana dia biasa bertemu Aurora dan Nadira, dia berharap bisa menemukan sedikit ketenangan. Tapi kali ini, suasana di sana terasa berbeda. Di bawah pohon besar yang teduh, Aurora sudah menunggunya. Wajahnya yang biasanya ceria terlihat serius, dan Sakala tahu bahwa kali ini, tidak akan ada percakapan ringan.

Aurora menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. "Sakala, aku butuh bicara sama kamu. Ini penting."

Sakala mengangguk, duduk di samping Aurora di bangku kayu yang biasa mereka tempati. Meskipun perasaan canggung mulai merayap, dia berusaha tenang. "Apa yang mau kamu bicarakan, Aurora?"

Aurora menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. "Aku nggak mau bertele-tele lagi, Sakala. Aku tahu selama ini kamu bingung, dan aku juga berusaha untuk memberimu ruang. Tapi aku nggak bisa terus-terusan begini, pura-pura kalau semuanya baik-baik saja."

Sakala terdiam, mendengarkan dengan hati yang berdebar. Dia tahu bahwa momen ini pasti akan datang, tetapi mendengarnya langsung dari Aurora membuat segalanya terasa lebih nyata.

"Aku suka sama kamu, Sakala," kata Aurora, suaranya terdengar tegas namun juga rapuh. "Aku sudah lama menyukaimu, dan aku pikir kamu juga merasakan hal yang sama. Tapi sekarang, aku tidak yakin lagi. Kamu semakin sering bersama Nadira, dan aku nggak tahu apakah kamu masih punya perasaan yang sama buat aku."

Perasaan bersalah yang sudah lama terpendam dalam hati Sakala kini muncul ke permukaan. Dia menatap Aurora, yang matanya kini tampak sedikit berkaca-kaca. Dia tahu bahwa Aurora pantas mendapatkan jawaban yang jujur, namun memberikan jawaban itu bukanlah hal yang mudah.

"Aurora..." Sakala mencoba mencari kata-kata yang tepat, namun semuanya terasa tidak cukup.

Aurora menunduk sejenak, sebelum kembali menatap Sakala. "Aku nggak mau menyudutkan kamu, Sakala. Aku hanya ingin tahu satu hal. Apakah kamu masih punya perasaan untukku, atau apakah Nadira sudah menggantikan tempat itu di hatimu?"

Pertanyaan itu menghantam Sakala seperti badai yang datang tiba-tiba. Di satu sisi, dia tahu bahwa perasaannya terhadap Aurora tidak pernah hilang. Aurora selalu membawa kebahagiaan dan keceriaan dalam hidupnya—sesuatu yang sulit dia temukan di tempat lain. Namun, di sisi lain, ada Nadira. Nadira yang membawa kedamaian dan ketenangan, hal yang selama ini dia rasakan sebagai sesuatu yang sangat berarti.

Sakala menghela napas panjang, mencoba menenangkan debaran di dadanya. "Aku nggak pernah berhenti peduli sama kamu, Aurora," jawabnya dengan suara rendah. "Tapi aku juga nggak bisa bohong kalau aku merasa nyaman dengan Nadira. Aku sendiri belum yakin apa yang aku rasakan sebenarnya. Aku merasa terjebak di antara dua perasaan yang berbeda."

Aurora terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Sakala. Matanya yang penuh harapan kini tampak sedikit memudar, meskipun dia berusaha untuk tetap kuat. "Jadi, kamu masih belum tahu siapa yang kamu pilih?"

Sakala menunduk, merasa bersalah. "Belum, Aurora. Aku masih mencoba memahami perasaanku sendiri. Aku nggak mau membuat keputusan yang tergesa-gesa dan menyakiti salah satu dari kalian."

Aurora tersenyum pahit, menatap langit yang mulai gelap. "Aku mengerti, Sakala. Tapi aku nggak bisa terus menunggu. Aku butuh jawaban, dan aku tahu kamu juga butuh waktu. Tapi sekarang aku sadar, mungkin kita memang tidak seharusnya bersama."

Kata-kata Aurora itu membuat hati Sakala terasa berat. Meskipun dia tahu bahwa Aurora tidak bermaksud menyakitinya, perasaan itu tetap ada—perasaan bahwa mereka sedang berjalan ke arah yang berbeda, meskipun mereka pernah saling mendekat.

"Aku nggak mau menyakitimu, Aurora," kata Sakala dengan penuh ketulusan.

Aurora tersenyum lagi, kali ini dengan lebih lembut. "Aku tahu, Sakala. Aku juga nggak mau menyakitimu. Tapi terkadang, cinta itu bukan soal menunggu. Terkadang, cinta adalah tentang membiarkan orang yang kita sayangi menemukan kebahagiaannya, bahkan jika itu berarti kita harus melepasnya."

Sakala terdiam, tidak mampu berkata apa-apa. Dia merasakan air mata mulai menggenang di sudut matanya, meskipun dia berusaha menahannya.

Aurora berdiri perlahan dari bangku, menatap Sakala dengan pandangan yang dalam namun penuh pengertian. "Aku harap kamu bisa menemukan apa yang kamu cari, Sakala. Dan apapun yang terjadi, aku akan selalu menghargai apa yang kita punya."

Sakala mengangguk, tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Dia hanya bisa menatap Aurora yang perlahan-lahan berjalan pergi, meninggalkan taman dengan langkah yang penuh keteguhan, meskipun dia tahu betapa beratnya bagi Aurora untuk mengatakan semua itu.

***

Malam itu, Sakala merenung panjang di kamarnya. Suara-suara dari percakapannya dengan Aurora terus terngiang di kepalanya. Kata-kata Aurora tentang cinta dan tentang melepaskan membuat hatinya semakin gelisah. Dia tahu bahwa perasaan Aurora untuknya sangat kuat, dan dia merasa bersalah karena tidak bisa memberikan jawaban yang pasti.

Namun, di balik semua itu, Sakala juga tahu bahwa percakapan dengan Aurora adalah sesuatu yang penting. Itu memberinya kejelasan bahwa cinta sejati bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang kejujuran, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang yang kita sayangi.

Di saat yang sama, perasaannya terhadap Nadira semakin dalam. Meskipun Nadira tidak pernah mendesaknya untuk membuat pilihan, Sakala tahu bahwa dia tidak bisa terus membiarkan semuanya menggantung seperti ini. Dia harus menghadapi kenyataan, meskipun itu berarti harus membuat keputusan yang sulit.

Sakala menarik napas panjang, menatap langit-langit kamarnya yang gelap. Dia tidak tahu bagaimana perjalanan ini akan berakhir, tetapi dia tahu bahwa dia harus mulai mendengarkan hatinya sendiri. Dan meskipun jawabannya belum sepenuhnya jelas, satu hal yang dia yakini: cinta sejati adalah tentang menerima dan melepaskan, tentang menemukan kedamaian di tengah-tengah ketidakpastian.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang