Pemberontakan Emosional Sakala

2 0 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Ketika hati terlalu penuh dengan perasaan yang tak terungkap, kadang kita memilih melarikan diri daripada menghadapi kenyataan."

*
*
*

Bab 26: Pemberontakan Emosional Sakala

Sakala duduk sendirian di kamarnya, memandangi langit malam yang penuh bintang melalui jendela. Di luar, semuanya tampak tenang—langit yang cerah, udara malam yang sejuk, dan keheningan yang hanya dipecahkan oleh suara angin yang sesekali berdesir di pepohonan. Tapi di dalam hatinya, badai besar sedang berkecamuk.

Sejak pertemuan canggung dengan Aurora di sekolah beberapa hari lalu, Sakala merasa semakin tertekan. Tidak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa bersalah yang terus menghantui hatinya. Aurora adalah gadis yang selalu mencintainya dengan sepenuh hati, dan meskipun mereka sudah berpisah, Sakala tahu bahwa Aurora masih belum benar-benar melupakan perasaan itu. Sementara itu, Nadira, yang selalu memberinya ketenangan, kini semakin mendekati hati Sakala. Namun, semakin dekat dia dengan Nadira, semakin besar rasa bersalahnya terhadap Aurora.

Di satu sisi, Sakala tahu bahwa hubungan dengan Aurora sudah berakhir. Namun di sisi lain, dia merasa bahwa keputusan itu meninggalkan bekas luka yang dalam di hati keduanya. Di saat yang sama, perasaannya terhadap Nadira mulai tumbuh lebih kuat—perasaan yang lebih tenang, namun penuh makna. Sakala merasa terseret di antara dua dunia yang bertentangan: cinta yang dulu penuh gairah dan cinta yang sekarang tumbuh dalam keheningan.

Semakin dia merenungkannya, semakin bingung dan marah dia terhadap dirinya sendiri. Kenapa semuanya harus serumit ini? Kenapa cinta tidak bisa sederhana seperti yang dia harapkan?

Dengan frustrasi, Sakala berdiri dan berjalan bolak-balik di dalam kamarnya. Dia merasakan ketegangan yang menumpuk di dalam dirinya, seperti sebuah tali yang semakin kencang dan siap putus kapan saja. Semua tekanan ini—dari perasaannya terhadap Aurora, Nadira, dan bahkan keluarganya—mulai menghimpitnya.

Malam itu, tanpa pikir panjang, Sakala mengambil jaket dan keluar dari rumah. Dia tidak tahu ke mana dia akan pergi, tetapi dia butuh melarikan diri dari semua kebingungan ini, bahkan untuk sesaat. Udara malam yang dingin langsung menyapu wajahnya ketika dia keluar dari rumah, tetapi itu tidak cukup untuk meredakan gejolak emosi yang ada di dalam dirinya.

Dia berjalan menyusuri jalan-jalan kosong di sekitar rumahnya, langkahnya cepat dan penuh kemarahan yang terpendam. Kepalanya dipenuhi dengan berbagai pikiran yang berputar tanpa henti. Setiap langkahnya terasa seperti sebuah pemberontakan terhadap semua yang terjadi dalam hidupnya—terhadap cinta yang gagal, terhadap kebingungan yang menghancurkan, dan terhadap tekanan yang terus menghimpitnya.

Sakala akhirnya berhenti di sebuah taman kecil di pinggiran kota, tempat dia biasa menghabiskan waktu sendirian. Taman itu gelap, hanya diterangi oleh beberapa lampu jalan yang temaram. Di sini, di tempat sepi ini, Sakala akhirnya merasa bisa berteriak tanpa ada yang mendengarnya.

"Apa yang sebenarnya aku cari?" gumamnya dengan frustrasi, suaranya pecah di antara keheningan malam.

Dia merasa begitu marah—marah karena dia tidak bisa memberikan kebahagiaan untuk Aurora, marah karena dia tidak bisa sepenuhnya jujur kepada Nadira tentang perasaannya, dan marah karena dia sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dari hidup ini.

Sakala duduk di bangku taman, menundukkan kepalanya dan menarik napas panjang. Udara dingin menusuk kulitnya, tetapi rasa sakit di dalam hatinya jauh lebih menyiksa. Dia merasa terjebak di antara dua pilihan yang sama-sama sulit. Haruskah dia terus melangkah maju dengan Nadira dan menerima cinta yang lebih tenang, atau haruskah dia berusaha memperbaiki hubungan yang sudah retak dengan Aurora?

Di saat dia tenggelam dalam pikirannya, suara langkah kaki perlahan terdengar mendekat. Sakala mengangkat kepalanya dan melihat seseorang datang dari arah lain. Untuk sesaat, dia tidak bisa percaya siapa yang dia lihat di depan matanya.

Nadira.

Dia tampak sedikit terkejut melihat Sakala di sana, tetapi kemudian dia berjalan mendekat dengan tenang, seperti biasa. Wajahnya tidak menunjukkan keterkejutan atau kekhawatiran, hanya ketenangan yang selalu ada bersamanya.

"Sakala?" panggil Nadira pelan, suaranya lembut namun penuh perhatian. "Kenapa kamu ada di sini?"

Sakala menatapnya tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat, sebelum akhirnya menghela napas panjang. "Aku... nggak tahu. Aku cuma butuh keluar dari semuanya. Semua ini terasa begitu berat."

Nadira duduk di sampingnya di bangku taman, dan meskipun mereka tidak saling berbicara, kehadiran Nadira membuat Sakala merasa sedikit lebih tenang. Nadira selalu seperti itu—tidak perlu banyak kata untuk membuat segalanya terasa lebih ringan.

"Kamu nggak perlu menjelaskan semuanya sekarang," kata Nadira akhirnya. "Tapi aku bisa merasakan kalau kamu sedang terbebani."

Sakala menatap ke depan, matanya fokus pada lampu jalan yang berkilauan di kejauhan. "Aku merasa seperti semuanya semakin di luar kendali, Nadira. Hubungan aku dengan Aurora... aku pikir berakhirnya hubungan itu akan membuat segalanya lebih mudah. Tapi sekarang, aku malah merasa lebih tertekan. Aku nggak bisa bohong, aku merasa bersalah sama dia. Dan di saat yang sama, aku nggak mau nyakitin kamu juga."

Nadira tersenyum tipis, seolah-olah dia mengerti lebih dari yang Sakala katakan. "Aku nggak pernah merasa kamu menyakitiku, Sakala. Aku tahu kamu sedang dalam proses menemukan jawaban untuk dirimu sendiri. Itu bukan sesuatu yang bisa dipaksa."

Kata-kata Nadira terdengar begitu sederhana, tetapi penuh makna. Meskipun Sakala tahu bahwa Nadira tidak menuntut apa pun darinya, perasaan bersalah dan kebingungan yang dia rasakan tetap ada. Dia merasa seperti dia tidak bisa memberikan apa yang layak didapatkan oleh kedua gadis ini—cinta yang tulus dan penuh keyakinan.

"Aku cuma merasa seperti aku selalu gagal dalam hal cinta," kata Sakala dengan suara rendah. "Aku gagal sama Aurora, dan sekarang aku takut gagal lagi."

Nadira menghela napas lembut, lalu menatap Sakala dengan mata yang penuh pengertian. "Sakala, semua orang punya ketakutan yang sama. Kita semua pernah gagal dalam cinta, tapi itu bukan alasan untuk berhenti mencoba. Yang penting adalah kita tetap jujur pada diri kita sendiri."

Sakala terdiam, merenungkan kata-kata Nadira. Mungkin benar, dia terlalu takut gagal sehingga dia melupakan satu hal penting—kejujuran pada dirinya sendiri. Dia terus mencoba menyenangkan orang lain, mencoba menjaga perasaan semua orang, tetapi dalam proses itu, dia justru kehilangan dirinya sendiri.

Malam semakin larut, tetapi di dalam hati Sakala, ada sesuatu yang mulai berubah. Dia masih belum sepenuhnya yakin dengan apa yang harus dia lakukan selanjutnya, tetapi kehadiran Nadira, dan kata-katanya yang penuh kebijaksanaan, membuatnya merasa sedikit lebih ringan.

"Aku hanya ingin semuanya berjalan baik," kata Sakala pelan. "Aku nggak mau menyakiti siapa pun."

Nadira tersenyum, senyum yang begitu lembut namun penuh ketegasan. "Dan kamu juga nggak perlu merasa terburu-buru, Sakala. Kadang-kadang, proses menemukan cinta sejati memang butuh waktu. Jangan memaksakan dirimu untuk menemukan jawabannya sekarang."

Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, menikmati udara malam yang semakin sejuk. Perlahan, Sakala mulai merasa ketenangan yang sudah lama dia cari. Meskipun jalan ke depan masih penuh ketidakpastian, dia tahu bahwa dengan Nadira di sisinya, dia akan menemukan jawabannya pada waktunya.

Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Sakala mulai belajar untuk melepaskan sebagian dari rasa takut dan keraguan yang telah menghantuinya. Dia tahu bahwa perjalanan mencari cinta sejati tidak akan mudah, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang