Aurora Kembali

4 3 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Cinta masa lalu sering kali datang kembali, bukan untuk tinggal, tapi untuk menguji apa yang sudah kita pelajari."

*
*
*

Bab 31: Aurora Kembali

Hari itu, suasana di sekolah terasa berbeda bagi Sakala. Meskipun dia mulai merasa lebih damai setelah pertemuan terakhir dengan Nadira, ada perasaan aneh yang menghantui langkahnya. Seolah-olah sesuatu akan terjadi, sesuatu yang tidak bisa dia hindari.

Selama ini, Sakala telah berusaha membangun kembali hidupnya setelah berpisah dengan Aurora. Meskipun awalnya berat, dia menemukan kedamaian dalam hubungan barunya dengan Nadira—hubungan yang memberinya ruang untuk tumbuh dan menerima diri sendiri. Namun, meskipun dia telah melangkah maju, bayangan Aurora masih sesekali muncul di pikirannya.

Di tengah-tengah kesibukannya mengerjakan tugas sekolah, ponsel Sakala bergetar di dalam saku. Sebuah pesan masuk. Saat dia melihat layar, hatinya berdetak lebih cepat.

"Sakala, bisakah kita bertemu? Ada hal yang ingin aku bicarakan. – Aurora."

Sakala terdiam, jantungnya berdegup kencang. Sudah berminggu-minggu sejak mereka terakhir berbicara, dan dia pikir segalanya sudah selesai di antara mereka. Tapi sekarang, Aurora ingin bertemu lagi. Apakah ini tentang penutupan yang lebih dalam, atau ada hal lain yang Aurora inginkan?

Banyak pikiran berputar di kepalanya. Dia telah berusaha keras untuk melepaskan Aurora, untuk membiarkan dirinya menemukan cinta yang lebih damai bersama Nadira. Tapi bagian dari dirinya tahu bahwa perasaannya terhadap Aurora tidak sepenuhnya hilang. Ada bagian dari hatinya yang masih peduli, dan itu membuatnya merasa ragu untuk merespons pesan itu.

Namun, Sakala tahu bahwa dia tidak bisa menghindar selamanya. Dia harus menghadapi ini.

***

Di sore hari, Sakala duduk di sebuah kafe kecil dekat sekolah. Tempat itu dipilih oleh Aurora, dan tempat itu juga menyimpan banyak kenangan lama mereka. Sakala merasa gugup, tetapi dia tahu bahwa dia harus tetap tenang. Dalam pikirannya, dia mengulang-ulang apa yang akan dia katakan, tetapi tidak ada kata-kata yang terasa benar.

Tak lama kemudian, Aurora masuk. Penampilannya masih sama seperti yang Sakala ingat—anggun, tetapi ada kelelahan di wajahnya yang tidak bisa disembunyikan. Senyum tipis terbentuk di bibir Aurora saat dia mendekati meja di mana Sakala duduk.

"Hai," sapa Aurora pelan sambil menarik kursi dan duduk di depannya.

"Hai," balas Sakala, suaranya sedikit gemetar.

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, membiarkan suasana kafe yang ramai meredakan ketegangan di antara mereka. Aurora tampak seperti sedang mencari kata-kata yang tepat, sementara Sakala masih belum yakin apa yang harus dia harapkan dari pertemuan ini.

"Aku tahu ini mungkin aneh," kata Aurora akhirnya, menatap Sakala dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Tapi aku merasa ada yang belum selesai di antara kita."

Sakala menelan ludah, merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. "Maksudmu?"

Aurora menghela napas panjang, menundukkan kepalanya sejenak sebelum kembali menatap Sakala. "Aku tahu kita sudah memutuskan untuk berpisah. Dan aku tahu bahwa mungkin ini yang terbaik untuk kita berdua. Tapi aku nggak bisa berhenti memikirkan tentang kita... tentang apa yang pernah kita miliki."

Sakala terdiam. Kata-kata Aurora mengembalikan kenangan-kenangan lama, saat mereka masih bersama—masa-masa ketika cinta mereka begitu penuh gairah, penuh dengan kebahagiaan dan harapan. Tapi dia juga ingat betapa sulitnya mempertahankan perasaan itu, betapa cepatnya segalanya berubah.

"Aku juga memikirkan itu, Aurora," jawab Sakala akhirnya, suaranya pelan. "Tapi aku pikir kita berdua sudah tahu bahwa hubungan kita nggak bisa bertahan."

Aurora menunduk, terlihat seperti sedang berjuang melawan emosinya. "Aku tahu. Tapi kenapa rasanya masih sulit untuk melupakan semua itu?"

Sakala menghela napas panjang. Dia tahu perasaan itu. Dia tahu bagaimana rasanya tidak bisa melupakan seseorang, meskipun kita tahu bahwa hubungan itu tidak akan berhasil. Perasaan cinta terhadap Aurora mungkin tidak hilang sepenuhnya, tetapi dia juga tahu bahwa melanjutkan hubungan itu hanya akan membawa mereka ke jalan buntu.

"Aurora, aku... aku masih peduli sama kamu. Itu nggak akan pernah berubah," kata Sakala dengan tulus. "Tapi aku pikir kita sudah belajar dari hubungan kita. Kita berdua menginginkan sesuatu yang berbeda, dan meskipun sulit, kita harus menerima itu."

Aurora tersenyum pahit, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tahu, Sakala. Aku tahu kita nggak bisa kembali seperti dulu. Tapi bagian dari diriku berharap... mungkin kita bisa memperbaikinya."

Sakala merasakan dadanya sesak mendengar kata-kata itu. Bagian dari dirinya ingin meraih tangan Aurora, ingin menghiburnya dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi dia tahu bahwa itu hanya akan membawa mereka kembali ke siklus yang sama—siklus di mana mereka berusaha memperbaiki sesuatu yang sudah tidak bisa diperbaiki.

"Aurora, aku nggak mau menyakitimu lagi," kata Sakala akhirnya. "Dan aku juga nggak mau menyakiti diriku sendiri. Kita berdua sudah berusaha, dan itu cukup. Mungkin cinta kita... memang bukan untuk bertahan."

Aurora menatapnya dalam-dalam, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku masih cinta sama kamu, Sakala. Tapi aku juga tahu bahwa mungkin cinta itu nggak cukup."

Sakala merasa hatinya hancur mendengar pengakuan itu. Cinta yang dulu begitu kuat kini hanya tinggal kenangan yang menyakitkan. Dia masih peduli pada Aurora, tetapi dia tahu bahwa perasaan itu tidak lagi sama.

Setelah beberapa saat, Aurora mengusap air matanya dan tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di balik senyum itu. "Aku senang kita bisa berbicara lagi, Sakala. Mungkin ini yang aku butuhkan—penutupan."

Sakala mengangguk pelan, merasa bahwa dia juga membutuhkan pertemuan ini untuk menutup babak lama dalam hidupnya. "Aku juga senang kita bisa berbicara lagi, Aurora. Aku berharap kamu akan menemukan kebahagiaan yang kamu cari."

Aurora tersenyum, kali ini dengan lebih banyak ketulusan. "Aku juga berharap kamu menemukan kebahagiaan, Sakala. Kamu layak mendapatkannya."

Mereka duduk dalam keheningan lagi, tetapi kali ini keheningan itu terasa lebih damai. Meskipun masih ada rasa sakit di antara mereka, keduanya tahu bahwa ini adalah langkah terakhir yang mereka butuhkan untuk benar-benar melepaskan satu sama lain.

Ketika akhirnya Aurora berdiri dan berpamitan, Sakala merasakan campuran emosi yang rumit. Ada rasa sedih karena harus benar-benar mengucapkan selamat tinggal, tetapi juga ada rasa lega karena akhirnya dia bisa melanjutkan hidupnya tanpa beban masa lalu yang terus menghantuinya.

Malam itu, saat Sakala berjalan pulang, dia merenungkan apa yang baru saja terjadi. Perasaannya terhadap Aurora, meskipun masih ada, tidak lagi mendominasi hatinya. Dia mulai menyadari bahwa cinta sejati bukan hanya tentang perasaan yang kuat dan mendalam, tetapi tentang keberanian untuk melepaskan ketika hubungan itu tidak lagi berjalan.

Dan dengan Nadira, Sakala merasa bahwa dia sudah menemukan cinta yang lebih stabil, cinta yang memberikan kedamaian yang dia butuhkan. Hubungan mereka mungkin tidak dipenuhi dengan drama atau emosi yang meledak-ledak, tetapi itu adalah cinta yang tumbuh perlahan, dengan penerimaan dan keheningan yang penuh makna.

Sakala menatap langit malam, merasa bahwa dia telah menutup satu babak dalam hidupnya, dan sekarang, dia siap melanjutkan babak baru—babak yang penuh dengan harapan, kedamaian, dan cinta yang lebih matang.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang