Tekanan Sosial

10 7 3
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Di tengah sorotan, kita sering kali kehilangan arah; apa yang seharusnya menjadi milik hati, kini ditentukan oleh pandangan orang lain."

*
*
*

Bab 15: Tekanan Sosial

Sekolah pagi itu terasa lebih ramai dari biasanya. Suara-suara obrolan terdengar lebih keras, langkah kaki siswa yang bergegas menuju kelas seolah menggema lebih kuat dari hari-hari sebelumnya. Sakala berjalan perlahan di koridor sekolah, tenggelam dalam pikirannya. Sejak percakapan terakhir dengan Aurora, dia merasa seperti ada beban yang sedikit terangkat, namun pada saat yang sama, dia tahu bahwa ini bukan akhir dari perjalanan emosionalnya.

Saat ia memasuki kelas, sorot mata beberapa teman sekelasnya terasa lebih tajam dari biasanya. Sakala mencoba mengabaikannya, namun tak bisa menepis perasaan bahwa ada sesuatu yang berbeda hari ini. Bintang, sahabat setianya, segera mendekati Sakala dengan senyum lebar yang biasanya.

"Hai, Sak! Gue denger kabar kalau lo dan Aurora lagi ada masalah?" tanyanya dengan nada yang seolah tahu lebih dari yang terlihat.

Sakala terkejut mendengar pertanyaan itu. "Apa maksud lo, Bintang?"

Bintang tertawa kecil, seolah tidak menyadari kebingungan yang dirasakan Sakala. "Ya, lo tahu, kabar di sekolah ini cepat menyebar. Banyak yang bilang lo mulai lebih deket sama Nadira, sementara Aurora sekarang... agak menjauh."

Sakala merasa darahnya berdesir. Sudah beberapa hari ini dia berusaha menjauhkan diri dari drama sosial di sekolah, namun rupanya, keputusannya untuk lebih banyak menghabiskan waktu dengan Nadira tidak lepas dari pengamatan teman-temannya.

"Gue nggak tahu kenapa semua orang jadi penasaran sama urusan pribadi gue," jawab Sakala dengan nada datar, meski di dalam hatinya dia mulai merasa terganggu dengan perhatian yang tidak diinginkan ini.

Bintang menepuk bahunya sambil tersenyum. "Ya lo tahu sendiri, Sak, lo itu populer. Cewek-cewek suka sama lo, dan sekarang mereka mulai bertanya-tanya siapa yang beneran lo pilih."

Kata-kata Bintang membuat Sakala terdiam sejenak. Popularitas. Sesuatu yang tidak pernah dia inginkan, tetapi tidak bisa dia hindari sejak pertama kali masuk SMA Araya. Terlepas dari penampilannya yang menarik dan status keluarganya, Sakala selalu merasa tidak nyaman menjadi pusat perhatian. Dan sekarang, kehidupan pribadinya—perasaannya terhadap Aurora dan Nadira—menjadi bahan pembicaraan di sekolah.

"Gue nggak peduli apa yang orang lain pikirkan, Bin," ucap Sakala akhirnya, meskipun dia tahu bahwa itu tidak sepenuhnya benar.

Bintang mengangkat bahu. "Terserah lo, Sak. Tapi lo tahu sendiri, pada akhirnya lo harus milih. Orang-orang akan terus ngomongin ini sampai lo bikin keputusan."

***

Hari itu, di mana pun Sakala berjalan, rasanya ada mata-mata yang mengawasinya. Entah bagaimana, semua orang tampak tertarik dengan hubungan antara dirinya, Aurora, dan Nadira. Di kantin, di lorong, bahkan di lapangan olahraga, Sakala bisa mendengar bisik-bisik di sekitarnya—siswa-siswa yang memperdebatkan siapa yang akan dia pilih. Suara-suara itu, meskipun kecil dan tidak langsung mengganggunya, perlahan-lahan mulai menekan pikiran Sakala.

Ketika waktu istirahat tiba, Sakala memutuskan untuk menghindari keramaian dan pergi ke perpustakaan, tempat di mana dia selalu bisa menemukan ketenangan. Namun, kali ini, perpustakaan pun tidak sepenuhnya memberikan kelegaan yang dia butuhkan. Saat dia berjalan menuju sudut ruangan tempat biasanya dia duduk bersama Nadira, dia mendapati bahwa Nadira sudah duduk di sana, menunggu dengan senyum lembut seperti biasa.

"Hai, Sakala," sapa Nadira pelan, suaranya seperti selalu membawa ketenangan.

Sakala duduk di sampingnya, menghela napas panjang sebelum berbicara. "Hai, Nadira. Hari ini... berat banget."

Nadira menutup bukunya, menatap Sakala dengan penuh perhatian. "Kenapa? Apa yang terjadi?"

Sakala terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. "Orang-orang di sekolah... mereka mulai ngomongin tentang aku, tentang kita... dan tentang Aurora. Mereka ingin tahu siapa yang akan aku pilih."

Nadira terkejut mendengar pengakuan itu, tetapi dia tetap tenang. "Aku nggak tahu kalau mereka sudah sejauh itu membicarakan kita. Maaf kalau ini membuatmu tidak nyaman."

Sakala menggeleng, menatap Nadira dengan rasa bersalah. "Ini bukan salah kamu, Nadira. Aku hanya merasa terjebak. Semakin aku mencoba memahami perasaanku sendiri, semakin banyak tekanan dari luar."

Nadira tersenyum tipis, lalu berkata dengan suara lembut, "Sakala, kamu tidak harus peduli dengan apa yang orang lain pikirkan. Ini hidupmu, dan hanya kamu yang tahu apa yang terbaik untukmu. Jangan biarkan mereka mendikte perasaanmu."

Kata-kata Nadira, seperti biasa, membawa ketenangan dalam hati Sakala. Namun, meskipun dia tahu Nadira benar, perasaan terjebak itu tetap ada. Rasanya seperti dia dihadapkan pada dua jalan yang berbeda—jalan yang penuh dengan gairah dan kebahagiaan bersama Aurora, dan jalan yang tenang namun penuh kedamaian bersama Nadira. Dan di tengah semua itu, orang-orang di sekitar terus mendorongnya untuk segera membuat pilihan.

"Kadang aku merasa nggak sanggup menghadapi semua ini, Nadira," ucap Sakala pelan. "Mereka terus bicara, terus menekan, seolah-olah pilihan ini bisa diambil dengan mudah."

Nadira menatapnya dengan tatapan penuh pengertian, lalu mengangguk pelan. "Aku mengerti, Sakala. Tapi kamu tahu apa yang terbaik buatmu. Kamu tahu siapa yang membuatmu merasa utuh. Jangan biarkan tekanan sosial membuatmu kehilangan arah."

Sakala merasa sedikit lega mendengar kata-kata itu, tetapi dia tahu bahwa beban ini tidak akan hilang begitu saja. Tekanan sosial di sekolah ini, harapan dari orang-orang di sekitarnya, dan kebingungannya sendiri—semuanya bercampur menjadi satu, menciptakan kekacauan dalam pikirannya.

***

Malam itu, di rumah, Sakala merenung panjang. Suara bisikan teman-temannya di sekolah terus terngiang di telinganya. Kata-kata mereka tentang siapa yang akan dia pilih, tentang bagaimana dia harus segera membuat keputusan, semakin membuatnya merasa tertekan. Dia tahu bahwa pada akhirnya, hanya hatinyalah yang bisa menentukan siapa yang dia cintai. Tetapi di tengah tekanan dari lingkungan, dia merasa semakin jauh dari keputusannya sendiri.

Sakala berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar yang gelap. Di luar, suara hujan mulai turun, membawa ketenangan sesaat ke dalam malam yang penuh kegelisahan. Meskipun pikirannya masih berkecamuk, ada satu hal yang mulai jelas bagi Sakala: dia tidak bisa terus membiarkan orang lain mempengaruhi hatinya.

Dia harus mendengarkan dirinya sendiri. Hanya dengan begitu, dia bisa menemukan cinta sejati yang selama ini dia cari.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang