Pertemuan Rahasia dengan Nadira

3 2 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Terkadang, cinta tidak perlu dikejar; ia hadir ketika kita sudah siap untuk menerimanya."

*
*
*

Bab 28: Pertemuan Rahasia dengan Nadira

Malam itu, langit bersih dari awan, memberikan pandangan yang jernih ke bintang-bintang yang tersebar di langit. Sakala berjalan perlahan menuju taman belakang sekolah, tempat yang sering dia kunjungi bersama Nadira. Setelah perpisahannya dengan Aurora, Sakala merasa seperti hidupnya baru saja berubah arah, dan dia membutuhkan waktu untuk merenung.

Langkah kaki Sakala terasa berat, tetapi pikirannya sedikit lebih jernih daripada sebelumnya. Dia masih memikirkan Aurora, tetapi tidak lagi dengan perasaan bersalah yang menghantuinya. Mereka berdua telah membuat keputusan untuk berpisah, dan meskipun sulit, dia tahu bahwa itu adalah langkah yang tepat. Sekarang, dia harus melangkah maju.

Saat dia mendekati taman, Sakala melihat Nadira duduk di bangku di bawah pohon besar yang menjadi tempat favorit mereka. Dia tampak tenang seperti biasa, memandang ke langit seolah sedang merenungkan sesuatu yang mendalam. Nadira selalu begitu—tidak pernah terburu-buru, selalu tenang dan penuh keheningan yang menenangkan.

Sakala berhenti sejenak, menatap Nadira dari kejauhan. Dia merasa ada sesuatu yang berbeda malam itu, seolah-olah perasaan di dalam hatinya mulai berubah, tetapi dia tidak bisa sepenuhnya memahami apa yang sedang terjadi. Mungkinkah ini saatnya dia benar-benar membuka hatinya untuk Nadira?

Dengan langkah pelan, Sakala mendekati Nadira dan duduk di sampingnya. Nadira menoleh dan tersenyum lembut, senyum yang selalu berhasil membuat hati Sakala merasa sedikit lebih ringan.

"Hai," sapa Nadira dengan suara lembut.

"Hai," balas Sakala, suaranya pelan.

Mereka duduk dalam keheningan selama beberapa saat, membiarkan angin malam yang sejuk menyapu wajah mereka. Di sekitar mereka, suara gemerisik daun dan serangga malam menciptakan suasana yang tenang, hampir seperti dunia ini hanya milik mereka berdua.

"Kamu kelihatan lebih tenang," kata Nadira akhirnya, memecah keheningan. "Apa kamu sudah merasa lebih baik setelah semua yang terjadi?"

Sakala menghela napas panjang, lalu menatap tanah di depannya. "Aku merasa lebih baik, tapi... semuanya masih terasa berat. Berpisah dengan Aurora bukan hal yang mudah, meskipun aku tahu itu yang terbaik."

Nadira mengangguk, seolah-olah dia mengerti sepenuhnya apa yang dirasakan Sakala. "Aku tahu. Itu pasti berat untuk kalian berdua. Tapi kadang, keputusan yang sulit adalah yang paling benar."

Sakala terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Nadira. Dia selalu bisa membuat segalanya terdengar begitu sederhana, tetapi penuh makna. Nadira tidak pernah mencoba memaksakan solusi atau menyuruhnya untuk melupakan rasa sakit. Sebaliknya, dia memberikan ruang bagi Sakala untuk merasakan apa yang dia rasakan, dan itu adalah sesuatu yang sangat dia hargai.

"Aku tahu," kata Sakala akhirnya. "Tapi sekarang, aku merasa seperti ada ruang kosong yang sulit dijelaskan. Setelah Aurora pergi, aku merasa lega, tapi juga ada perasaan kehilangan."

Nadira menatapnya dengan penuh perhatian, lalu tersenyum tipis. "Itu wajar, Sakala. Ketika seseorang yang penting dalam hidup kita pergi, kita selalu merasa ada bagian dari diri kita yang hilang. Tapi itu bukan berarti kita tidak bisa menemukan cara untuk mengisi ruang kosong itu."

Sakala menatap Nadira, dan untuk pertama kalinya, dia mulai menyadari betapa besar peran Nadira dalam hidupnya selama ini. Nadira selalu ada—tenang, penuh pengertian, dan tidak pernah menuntut apapun darinya. Sementara hubungan dengan Aurora penuh gairah dan drama, Nadira selalu membawa ketenangan yang sulit ditemukan di tempat lain.

"Nadira," kata Sakala pelan, suaranya sedikit bergetar, "kamu selalu ada buat aku. Aku bahkan nggak tahu harus bilang apa... tapi aku bersyukur kamu selalu di sini."

Nadira tersenyum, senyum yang begitu tulus dan lembut. "Aku di sini bukan karena aku ingin kamu berterima kasih, Sakala. Aku di sini karena aku peduli. Dan aku ingin kamu tahu bahwa apapun yang kamu lalui, aku akan selalu ada di sampingmu."

Kata-kata itu, meskipun sederhana, masuk ke dalam hati Sakala seperti aliran air yang sejuk. Di saat yang sama, dia merasakan sesuatu yang lebih dalam mulai tumbuh dalam dirinya—sesuatu yang lebih dari sekadar rasa nyaman. Perasaan itu begitu halus, begitu tenang, tetapi dia tahu bahwa itu adalah cinta.

Cinta yang berbeda dari yang dia rasakan terhadap Aurora. Cinta ini tidak datang dengan gejolak atau ledakan emosi, tetapi dengan kehadiran yang konstan, dengan ketenangan yang menenangkan. Bersama Nadira, Sakala merasa bahwa dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa perlu berpura-pura atau menyesuaikan diri dengan harapan orang lain.

"Nadira," ucap Sakala akhirnya, setelah keheningan panjang yang penuh makna, "aku rasa... aku mulai menyadari sesuatu."

Nadira menoleh, menatap Sakala dengan mata yang penuh pengertian. "Apa yang kamu sadari, Sakala?"

Sakala menatap ke arah langit, mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan. "Aku selalu berpikir bahwa cinta harus penuh dengan gairah, dengan perasaan yang membara. Tapi sekarang, aku mulai mengerti bahwa cinta itu nggak selalu seperti itu. Cinta sejati mungkin lebih tentang kehadiran, tentang bagaimana seseorang bisa membuat kita merasa utuh hanya dengan berada di samping kita."

Nadira tersenyum lembut, seolah dia sudah tahu apa yang akan dikatakan Sakala. "Cinta datang dalam berbagai bentuk, Sakala. Tidak selalu seperti yang kita bayangkan. Tapi itu bukan berarti cinta itu kurang berarti."

Sakala menatap Nadira, merasakan getaran yang lembut di dalam hatinya. "Aku rasa... aku sudah menemukan cinta itu, Nadira. Aku menemukannya setiap kali aku bersamamu."

Nadira menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca, tetapi senyum di wajahnya tetap tenang. "Sakala, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi aku nggak pernah ingin memaksakan perasaan itu padamu. Aku selalu menunggumu menemukan jawabanmu sendiri."

Kata-kata Nadira membuat hati Sakala bergetar. Dia tahu bahwa Nadira selalu ada, tetapi dia tidak pernah menuntut apapun darinya. Dan sekarang, saat Sakala mulai benar-benar memahami perasaannya, dia merasa bahwa ini adalah cinta sejati yang selama ini dia cari—cinta yang tumbuh dalam ketenangan, cinta yang hadir tanpa paksaan.

Sakala mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Nadira dengan lembut. Sentuhan itu sederhana, tetapi di baliknya ada perasaan yang dalam, yang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata besar. Mereka berdua duduk di sana, di bawah langit malam yang penuh bintang, menikmati keheningan yang menenangkan.

"Terima kasih, Nadira," kata Sakala pelan. "Terima kasih sudah menungguku menemukan jawabanku sendiri."

Nadira tersenyum dan menggenggam tangannya lebih erat. "Aku akan selalu ada di sini, Sakala. Selama kamu membutuhkan."

Malam itu, Sakala merasa bahwa dia telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar jawaban. Dia telah menemukan cinta yang sejati, cinta yang tumbuh perlahan tapi pasti. Dan bersama Nadira, dia merasa bahwa perjalanan pencariannya telah berakhir. Tidak dengan ledakan besar, tetapi dengan keheningan yang indah dan tenang.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang