Momen di Taman Bersama Nadira

1 0 0
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Di tengah keheningan, kita sering kali menemukan jawaban yang tak terucap."

*
*
*

Bab 24: Momen di Taman Bersama Nadira

Matahari sore menyinari taman sekolah, menciptakan bayangan lembut di bawah pohon-pohon besar. Sakala berjalan perlahan, masih tenggelam dalam pikirannya. Perpisahannya dengan Aurora meninggalkan perasaan hampa yang sulit dijelaskan. Meskipun dia tahu bahwa keputusan itu adalah yang terbaik untuk mereka berdua, rasa bersalah dan kehilangan tetap menghantui hatinya.

Namun, di balik semua itu, ada satu nama yang terus berputar di kepalanya, Nadira.

Sakala tahu bahwa hubungannya dengan Nadira berbeda. Tidak ada ekspektasi berlebihan, tidak ada tuntutan emosi yang menguras. Hanya ada ketenangan, dan sebuah perasaan nyaman yang selalu hadir setiap kali mereka bersama. Bagi Sakala, Nadira adalah tempat di mana dia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa harus berpura-pura, tanpa harus menjaga citra yang selama ini dia pertahankan di depan Aurora.

Ketika Sakala memasuki taman sekolah, dia melihat Nadira duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, tempat yang biasa mereka duduki. Nadira sedang membaca sebuah buku, wajahnya tenang dan fokus. Kehadirannya selalu membawa kedamaian bagi Sakala, seolah-olah semua kekacauan di dalam dirinya bisa mereda hanya dengan melihat Nadira duduk di sana.

Sakala mendekat dengan langkah pelan, dan Nadira mengangkat wajahnya dari buku ketika mendengar suara langkah kaki Sakala. Dia tersenyum tipis, senyuman yang selalu membuat hati Sakala merasa tenang.

"Hai, Sakala," sapa Nadira dengan suara lembut. "Kamu datang tepat waktu."

Sakala tersenyum dan duduk di sampingnya. "Aku nggak tahu kalau kita ada janji."

Nadira tertawa kecil, lalu menutup bukunya. "Aku cuma bercanda. Tapi, aku tahu kamu pasti akan ke sini."

Mereka duduk dalam keheningan sejenak, menikmati suasana tenang di sekitar mereka. Taman itu sepi, hanya ada mereka berdua dan suara angin yang berdesir di antara dedaunan. Keheningan ini, meskipun tidak diisi dengan percakapan, terasa begitu nyaman bagi Sakala. Tidak ada tekanan untuk berbicara, tidak ada kekhawatiran tentang apa yang harus dikatakan. Bersama Nadira, dia merasa tenang—sesuatu yang tidak selalu dia rasakan dengan Aurora.

Setelah beberapa saat, Sakala akhirnya memecah keheningan. "Aku dan Aurora... kami berpisah."

Nadira menoleh, matanya menunjukkan keprihatinan, tetapi dia tidak tampak terkejut. "Aku tahu itu akan terjadi," katanya pelan. "Aku bisa merasakannya sejak lama."

Sakala terdiam, merenungkan kata-kata Nadira. Mungkin Nadira selalu bisa merasakan apa yang terjadi dalam hidupnya, meskipun dia tidak pernah mengatakannya secara langsung. Itu adalah salah satu hal yang membuat Nadira berbeda—dia tidak pernah menuntut atau memaksa, tetapi selalu ada saat dibutuhkan.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Nadira, suaranya lembut namun penuh perhatian.

Sakala menghela napas panjang. "Aku nggak tahu. Aku merasa bersalah karena telah menyakiti Aurora, tapi di saat yang sama... aku merasa ini adalah hal yang benar."

Nadira mengangguk, menunjukkan bahwa dia mengerti. "Kadang, hal yang benar bukanlah hal yang mudah. Tapi itu bukan berarti kamu harus merasa bersalah."

Sakala menatap Nadira, merasa bahwa kata-katanya membawa kedamaian yang selama ini dia cari. "Aku hanya takut bahwa aku membuat keputusan yang salah," lanjut Sakala. "Aku takut bahwa mungkin aku nggak akan pernah menemukan apa yang aku cari."

Nadira tersenyum tipis, lalu menatap langit yang mulai berwarna jingga di ujung cakrawala. "Apa yang kamu cari, Sakala?"

Pertanyaan itu membuat Sakala terdiam. Selama ini, dia selalu merasa bahwa dia mencari cinta sejati, tetapi dia tidak pernah benar-benar tahu apa artinya. Apakah cinta sejati adalah perasaan yang penuh gairah, seperti yang dia rasakan terhadap Aurora di awal hubungan mereka? Ataukah cinta sejati adalah sesuatu yang lebih tenang, seperti apa yang dia rasakan setiap kali bersama Nadira?

"Aku nggak tahu," jawab Sakala jujur. "Aku pikir aku tahu, tapi semakin aku mencari, semakin aku merasa bingung."

Nadira menatapnya dengan tatapan lembut, seolah-olah dia mengerti kebingungan yang dialami Sakala. "Mungkin kamu tidak perlu terlalu keras mencari, Sakala. Terkadang, cinta sejati tidak datang dengan cara yang kita bayangkan. Mungkin itu tidak selalu tentang gairah yang membara, tetapi tentang kehadiran yang konstan, tentang perasaan nyaman yang tidak perlu dipertanyakan."

Kata-kata Nadira itu masuk ke dalam hati Sakala, seperti jawaban yang selama ini dia butuhkan. Selama ini, dia selalu berpikir bahwa cinta harus penuh dengan intensitas, dengan emosi yang meluap-luap. Tetapi mungkin, seperti yang Nadira katakan, cinta sejati tidak selalu begitu. Mungkin cinta sejati adalah tentang kehadiran yang tenang, tentang perasaan yang tumbuh perlahan namun pasti, seperti apa yang dia rasakan bersama Nadira.

Sakala tersenyum kecil, merasa beban di dadanya sedikit berkurang. "Mungkin kamu benar, Nadira. Mungkin aku terlalu banyak menuntut dari cinta."

Nadira tersenyum, senyum yang lembut namun penuh makna. "Kita semua melakukannya, Sakala. Kita semua punya gambaran tentang apa yang seharusnya kita rasakan. Tapi pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang bagaimana kita merasa utuh bersama seseorang, tanpa harus berpura-pura atau menyesuaikan diri dengan harapan orang lain."

Sakala menatap Nadira dalam-dalam, merasakan sesuatu yang lebih kuat tumbuh di dalam hatinya. Mungkin dia sudah tahu sejak awal, tetapi baru sekarang dia benar-benar bisa memahami perasaan itu. Bersama Nadira, dia merasa tenang. Tidak ada ekspektasi yang berlebihan, tidak ada tekanan untuk menjadi seseorang yang berbeda. Hanya ada kehadiran yang menenangkan, yang membuatnya merasa utuh.

"Nadira," kata Sakala pelan, "terima kasih. Kamu selalu ada buat aku."

Nadira tersenyum lembut, lalu menatapnya dengan mata yang penuh ketulusan. "Aku akan selalu ada buat kamu, Sakala. Karena aku peduli sama kamu."

Kata-kata itu sederhana, tetapi penuh dengan makna. Sakala merasakan hatinya bergetar mendengar pernyataan itu. Mungkin ini adalah cinta yang selama ini dia cari—cinta yang tidak perlu diungkapkan dengan kata-kata besar atau tindakan dramatis, tetapi dengan kehadiran yang konstan dan tenang.

Mereka duduk di sana untuk waktu yang lama, berbagi keheningan yang penuh makna. Tidak ada kata-kata yang perlu diucapkan, tidak ada janji yang perlu dibuat. Di tengah keheningan itu, Sakala menemukan kedamaian yang selama ini dia cari.

***

Malam itu, saat Sakala pulang ke rumah, pikirannya dipenuhi oleh Nadira. Selama ini, dia merasa bahwa cinta harus selalu penuh gairah, seperti yang dia rasakan dengan Aurora. Tetapi kini, dia mulai menyadari bahwa mungkin ada bentuk lain dari cinta—cinta yang tumbuh perlahan, yang hadir dengan tenang, tetapi terasa begitu kuat.

Di dalam keheningan malam, Sakala mulai memahami bahwa cinta sejati tidak selalu datang dengan cara yang dia bayangkan. Mungkin cinta sejati adalah tentang menemukan seseorang yang membuatnya merasa tenang, seseorang yang membuatnya merasa utuh tanpa harus berpura-pura menjadi orang lain.

Dan di tengah pencarian itu, Sakala mulai merasa bahwa dia telah menemukan jawabannya—bukan dalam kegembiraan yang meluap-luap, tetapi dalam keheningan yang tenang bersama Nadira.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang