Masalah dengan Orang Tua

29 20 2
                                    

HAPPY READING

NOVEL INI DIBUAT KARNA KEGABUTAN SEMATA, HARAP DIMAKLUMI ADA TYPO ATAUPUN KESALAHAN MENULIS LAINNYA

"Keluarga adalah tempat kita berasal, tetapi belum tentu tempat kita menemukan diri kita."

*
*
*

Bab 7: Masalah dengan Orang Tua

Hari-hari di SMA Araya terus berjalan, tetapi bagi Sakala, beban yang ia rasakan semakin bertambah. Tidak hanya soal perasaan yang mulai rumit terhadap Aurora dan Nadira, tetapi juga tekanan dari keluarganya yang semakin terasa. Di rumah, suasana selalu tegang. Meskipun rumah mereka besar dan penuh dengan segala kemewahan, kehangatan keluarga tampaknya semakin menghilang.

Suatu malam, setelah pulang dari sekolah, Sakala duduk sendirian di ruang tamu yang luas. Rumah itu sepi seperti biasa. Ayahnya, Mahendra Mahesa, jarang sekali berada di rumah karena urusan bisnis yang terus menyibukkan. Sementara ibunya, Lydia Sarasvati, meski sering berada di rumah, lebih banyak tenggelam dalam dunianya sendiri—dunia seni yang selalu dia cintai. Keduanya hidup di dunia yang berbeda, dan Sakala, meskipun sering menjadi pusat perhatian karena status keluarganya, merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.

Malam itu, Sakala hanya duduk diam, memikirkan apa yang terjadi akhir-akhir ini. Masalah di sekolah mulai membebani pikirannya. Karin semakin mendekatinya, sementara Aurora, yang dulunya penuh semangat, sekarang tampak semakin menjauh. Nadira, di sisi lain, selalu ada dengan ketenangannya, tetapi Sakala merasa semakin terjebak dalam dilema yang sulit ia pahami. Dan di tengah semua itu, ia harus menghadapi kenyataan bahwa keluarganya semakin tidak harmonis.

Saat sedang tenggelam dalam pikirannya, pintu depan terdengar terbuka, dan langkah berat ayahnya terdengar mendekat. Mahendra masuk ke ruang tamu dengan wajah lelah, tetapi seperti biasa, tatapannya dingin dan penuh ketegasan.

"Sakala," panggil Mahendra dengan nada rendah, tetapi tegas.

Sakala menoleh dan berdiri dari sofa. "Ya, Ayah?"

Mahendra berjalan mendekat, lalu duduk di kursi di hadapan Sakala. "Bagaimana sekolah?"

Sakala hanya mengangguk. "Baik-baik saja."

Mahendra menatapnya dengan sorot mata yang penuh harapan, tetapi di balik itu, ada tekanan yang selalu terasa. "Kamu harus mulai memikirkan masa depanmu, Sakala. Ayah sudah bekerja keras untuk membangun ini semua, dan pada waktunya, kamu akan meneruskan apa yang Ayah mulai."

Kata-kata itu, meskipun sudah sering ia dengar, selalu terasa berat bagi Sakala. Sejak kecil, ia selalu tahu bahwa ada harapan besar yang diletakkan di pundaknya. Menjadi anak satu-satunya dalam keluarga besar Mahesa berarti dia harus menjaga dan melanjutkan warisan ayahnya. Tetapi semakin dewasa, Sakala mulai merasakan bahwa mungkin apa yang diinginkan ayahnya bukanlah yang diinginkan olehnya.

"Aku tahu, Ayah," jawab Sakala pelan, berusaha menghindari konfrontasi. "Aku hanya butuh waktu untuk memahami semuanya."

Mahendra mengangguk, tetapi sorot matanya masih penuh ketegangan. "Jangan buang waktumu, Sakala. Dunia ini tidak akan menunggu. Ayah sudah membuka jalan untukmu, dan sekarang terserah kamu untuk melanjutkannya. Jangan kecewakan kami."

Kata-kata itu seperti pisau yang menancap di hati Sakala. Di satu sisi, dia mengerti harapan ayahnya, tetapi di sisi lain, dia tidak yakin apakah itu yang benar-benar ia inginkan. Selama ini, hidupnya selalu diatur dan diarahkan, dan meskipun ia berusaha untuk menjadi anak yang patuh, ada bagian dari dirinya yang ingin bebas—bebas dari harapan-harapan besar yang selalu dibebankan padanya.

Di Antara Hujan dan Matahari Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang