Bab 8

7K 1.1K 208
                                    

Bitha sedikit menyesal karena dengan lancang mengaku sebagai pacar Galen di depan perempuan bernama Santi. Selama makan, ia berusaha memperhatikan ekspresi laki-laki yang duduk di depannya. Tidak ada kemarahan yang tergambar di sana. Ia bahkan tidak bisa menebak ekspresi Galen saat ini.

"Makanannya ada di meja, bukan di mukaku," ucap Galen tanpa menatap Bitha.

Sontak Bitha terbatuk, merasa malu karena ketahuan memperhatikan Galen. Akhirnya ia menunduk, dan melanjutkan makannya. Dari semua makanan di piring, ia hanya tertarik dengan telur rebus.

"Makannya jangan pilih-pilih."

"Ada yang aku nggak suka."

"Mana yang nggak suka?"

"Semua kecuali telur sama lontong."

Galen berdecak. "Dicoba dulu. Dari tadi kamu cuma makan telurnya aja."

"Aku juga makan lontongnya kok."

"Sayurnya juga dimakan, Bit. Jangan pilih-pilih makanan. Di luar sana masih banyak orang yang nggak beruntung. Belum tentu mereka bisa makan enak kayak kamu."

Bitha cemberut. Mendengar ucapan Galen, ia berasa dinasihati oleh Papinya. Dengan terpaksa ia mencoba sayur yang ada di piringnya. Lontong sayur adalah makanan yang jarang ia makan. Biasanya ia hanya makan lontong sayur di momen lebaran bersama dengan rendang dan makanan lainnya.

"Makannya dikunyah, jangan diemut doang di mulut."

Bitha mengunyah makanannya di mulut sampai habis. "Mas Galen kalo kayak gini persis banget kayak Papi. Komen mulu soal caraku makan."

Galen tidak menanggapi ucapan Bitha. Hanya dalam waktu sekejap, sepiring lontong sayur sudah berpindah ke perutnya. Ketika Galen menyedot es jeruknya, ia melihat Bitha mendorong piring yang masih penuh mendekat ke arahnya.

"Nggak habis."

"Kenapa nggak dihabisin?"

"Kenyang," jawab Bitha. "Tadi udah kebanyakan makan jajan waktu di pasar."

"Terus ini maksudnya apa?" tanya Galen melirik piring Bitha yang sudah ada di dekatnya.

Bitha menampilkan cengiran lebar. "Mubazir kalo dibuang. Boleh nggak Mas Galen bantu aku habisin?"

Galen membuang napas keras. Kemudian ia menyingkirkan piringnya yang sudah kosong, dan menarik piring Bitha mendekat. Tidak perlu berdebat, ia mulai memakan lontong sayur milik Bitha. Di dalam piring Bitha sudah tidak ada telur. Untung saja lontongnya sudah banyak berkurang. Tersisa sayur dan kerupuk yang belum dimakan oleh Bitha.

Ketika Bitha menyedot es jeruknya, ia kaget melihat Galen tidak mengganti sendok sebelum makan lontong sayur miliknya. Sembari menyedot es jeruknya, ia mempehatikan Galen yang sedang makan. Berbeda dengan cara makan Bitha yang lambat, cara makan Galen bisa secepat kilat. Lontong sayur yang tadi masih banyak, sudah habis tak bersisa.

"Kenapa kalo di rumah makannya bisa banyak?" tanya Galen sambil menarik tisu.

"Karena masakan Mas Galen enak."

"Maksudmu, makanan di sini nggak enak?" tanya Galen memelankan suaranya.

Bitha menggeleng. "Sama enaknya, tapi emang bukan tipe masakan kesukaanku. Makannya ada rasa manisnya. Harusnya lontong sayur kan asin."

Galen manggut-manggut. Masakan di warung ini memang cenderung ada rasa manisnya. Untuk sebagian orang yang tidak suka manis, pasti akan terganggu dengan rasa manisnya. "Aku bayar dulu, kamu tunggu di mobil aja."

Bitha mengangguk.

Galen bangun dari kursi plastik yang ia duduki dan berjalan ke rumah. Kebetulan warung ini terletak tepat di depan rumah. Ia mengetuk pintu sampai muncul Santi. "Aku mau bayar," beritahunya. 

Bitha for the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang