Bab 1

9K 932 50
                                    

Kaki seorang perempuan yang memakai high heels menapak di sebuah rumah mewah. Rumah modern dengan perpaduan warna abu-abu, putih, cokelat, krem dan hitam. Semua warna-warna netral tersebut diaplikasikan pada seluruh bagian, mulai dari dinding, lantai, plafon, hingga perabotan rumah. Karena pemilihan warna yang netral, memberikan kesan ruangan yang lebih luas. Semua didesain secara sempurna oleh arsitek dan desain interior yang sudah dibayar mahal untuk membangun sebuah rumah mewah dari pasangan dokter dan pengusaha.

Hari ini suasana hatinya sedang baik karena satu jam yang lalu ia baru mendarat dari perjalanan jauh. Semoga tidak ada yang merusak suasana hatinya sampai beberapa hari ke depan.

Baru juga beberapa langkah, terdengar suara berat memanggil namanya. Sepertinya Tuhan tidak mengabulkan keinginannya.

"Bitha."

Perempuan dengan nama Bitha sontak menoleh dengan memasang senyum semanis mungkin. "Iya, Papi?" jawabnya dengan lembut.

"Kamu dari mana?"

"Dari belanja, Papi." Bitha masih mempertahankan senyum di wajahnya.

"Belanja di mana?"

"Belanja di--"

"Jangan coba-coba bohong, karena kamu tau itu akan percuma," potong Papi dengan nada tegas.

Bitha menghela napas keras. Hilang sudah senyum manis di wajahnya. "Fine. Aku habis jalan-jalan sama Salsa. Tiga hari yang lalu dia ngajak aku ke Korea karena dia lagi galau dan butuh healing."

"Kenapa nggak bilang kalo mau pergi sama Salsa?"

"Papi sama Mami lagi nggak ada di rumah. Terus aku harus izin ke siapa? Bi Atun?"

"Kita bukan hidup di zaman batu yang nggak ada hp untuk komunikasi," jawab Papi dengan sarkas.

"Seharusnya tanpa aku kasih tau, Papi tau kalo aku lagi di Korea. Karena selama ini Mas Eran selalu ngikutin aku," sahut Bitha dengan wajah kesal. Pengawal yang dipekerjakan oleh orang tuanya selalu mengikutinya kemana pun dia pergi. Meski selalu mengikutinya, tapi Bitha tidak bisa menemukan keberadaan Eran. Laki-laki itu pintar menjaga jarak aman dan bersembunyi agar tidak diketahui olehnya. Pantas saja bayaran Eran sangat mahal, bisa mencapai dua digit tiap bulannya.

"Bitha...."

"Oh God, Papi. Mau sampai kapan aku harus wajib lapor terus ke Mami dan Papi?"

"Sebelum kamu menikah, tugas Papi dan Mami adalah jagain kamu," sahut Papi santai. "Kami tidak pernah ngelarang kamu pergi, tapi usahain untuk tetap izin walaupun ujung-ujungnya Papi akan tau semuanya dari Eran," lanjutnya dengan penuh penekanan.

"Hmmm...."

"Yaudah, sana ganti baju dulu. Habis itu turun lagi buat temanin Papi makan siang."

"Iya," sahut Bitha pasrah. Kemudian ia berjalan sambil mendorong kopernya menuju lift untuk naik lantai dua.

Karena lelah Bitha menghempaskan tubuhnya ke tengah kasur. Kopernya ia letakkan begitu saja tanpa ada niatan untuk membongkarnya.

Hidup Bitha bagai putri dalam dongeng. Banyak orang yang iri dengannya. Ia memiliki kulit putih porcelain, rambut lurus, wajah kecil dan tubuh langsing. Bitha memiliki wajah glass skin, wajah yang diidam-idamkan setiap perempuan.

Di setiap kelebihan, tentu diikuti dengan kekurangan. Bitha merasa kurang tinggi diantara teman-teman yang lain. Tubuhnya yang mungil selalu terlihat berbeda. Tingginya hanya 155 cm. Tidak heran kalau ia suka mengenakan high heels untuk menambah tinggi badannya.

Bitha for the BeastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang